Mohon tunggu...
Pangrango
Pangrango Mohon Tunggu... Penulis - Ibu Rumah Tangga

Happy Gardening || Happy Reading || Happy Writing || Happy Knitting^^

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mendadak Orangutan

7 Oktober 2022   14:37 Diperbarui: 7 Oktober 2022   15:04 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Kompas/Lukas Adi Prasetya

Pencekalan terhadap peneliti, menurut saya pribadi justru malah meninggalkan kesan negatif dan tidak elegan. Penasaran, saya mencoba menghubungi kawan semasa kuliah yang kebetulan menaruh minat khusus terhadap orangutan.

Katanya lebih keras lagi, respon pemerintah itu tidak mutu atau tidak berkualitas. Sebab, kadangkala memang kebijakan pemerintah yang membuat jumlah orangutan terus turun. Namun, ia juga mengingatkan kalau tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah tetapi harus dilihat Non Governmental Organization (NGO)-nya juga.

Lalu, saya menghubungi kawan saya yang lain, ia tak mengikuti isu orangutan secara khusus. Katanya, respon pemerintah itu 'kocak' dan malah menimbulkan kesan 'tertentu'. Namun, seperti teman sebelumnya, ia juga harus mempertimbangkan peran pemerintah yang kadang masih ditekan pihak asing untuk memperbaiki hutan sementara mereka (negara maju) sudah merusak hutannya terlebih dahulu. Akibatnya ada rasa sentimen terhadap peneliti asing.

Menjaga hutan memang penting tetapi ada rakyat yang harus ditentramkan perutnya. Adakalanya, pihak asing yang sudah hidup enak malah memperkeruh keadaan. Pemerintah ingin menumbuhkan citra positif buat menarik simpati masyarakat agar mau bekerjasama melestarikan hutan dengan cara masing-masing.

Ini seperti yang tertulis dalam respon KLHK, bahwa pernyataan Menteri LHK saat Hari Orangutan dalam rangka membangun optimisme konservasi jangka panjang di Indonesia. Tidak mengacu pada data populasi orangutan secara nasional maupun global.

Namun, terlepas apa yang melatarbelakangi maksud dan tujuan KLHK, saya setuju dengan peneliti dalam negeri yang berpendapat bahwa data harus dilawan dengan data. Riset dengan riset.

Terlebih, saat ini ada kesan negatif terhadap KLHK seperti yang saya baca dalam "Peneliti Bongkar 'Seleksi' Karya Ilmiah KLHK, Sensor Fakta Gaya Baru?" yang diterbitkan CNN Indonesia Rabu 28 September 2022. Dalam artikel tersebut malah mengungkapkan indikasi anti-sains berupa sensor karya ilmiah untuk tema-tema tertentu oleh KLHK. Di antaranya peneliti harus menyetorkan manuskrip sebelum terbit dan terdapat penyaringan istilah sensitif seperti 'perambahan' dan 'deforestasi'.

Dengan kata lain ada pembatasan pada penelitian yang dianggap mendiskreditkan pemerintah. Alhasil, peneliti tidak bebas dan takut membuat karya ilmiah. Padahal penyaringan penelitian harus dilakukan secara ilmiah.

Sikap anti-sains pemerintah tersebut justru dinilai membahayakan lingkungan karena dapat memperparah kondisi habitat flora, fauna, sampai manusia ditambah sekarang ada krisis iklim yang mengancam banyak spesies makhluk hidup. sehingga, fakta tidak bisa ditutupi pada suatu penelitian atau karya ilmiah. Namun, penelitian harusnya menjadi acuan mengambil kebijakan dalam memperbaiki kondisi lingkungan.

Apalagi muncul anggapan 'pro peneliti asing' dan ditekankan ke nasionalisme itu distraksi. Beberapa peneliti merasa bukan itu intinya. Jika ada kecurigaan pencurian keanekaragaman hayati, ada penangkalnya yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Sistem Nasional Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dibawah kendali BRIN.

Diselesaikan Sesuai Prinsip Ilmiah dalam Forum Ilmiah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun