Dia diam.
"Aku itu patah hati, kamu ga peka banget sih." Gaya bicaranya tanpa aku duga kembali seperti biasa.
"Patah hati? Sama siapa?" terlalu banyak cowok yang diceritakannya, aku tidak hafal nama-namanya. Kecuali lelaki di depan yang sudah rapi dengan baju koko hijau muda dan pecinya.
"Dia," tunjuk Lika.
Kenapa hatiku pun seakan tertimpa berton-ton bongkahan es? Apa urusanku juga jika dia sudah punya pacar atau malah sudah beristri. Salat magribku tak khusyuk.
Aku ingin segera bergegas meninggalkan mushola.
"Nanti tarawihnya jamaah lagi ya?" Antara aku dan Lika tak ada yang menjawab, kami malah berpandangan. Rais berlalu menyusul dan merangkul pundak kawannya.
 "Kayaknya aku bakal ngikutin prinsip yang suka kamu katakan itu deh, Bi. Kenal sebentar langsung dilamar. Daripada naksir-naksir gak jelas kaya gini bikin capek hati."
Aku bingung harus menjawab apa. Rasanya ada bibit yang hendak menjebol kedalaman hatiku namun langsung layu bahkan sebelum berkembang. Namun, masih saja ada hasrat untuk melihat bibit itu dari belakang.
"Punggung yang menyebalkan!"
--