"Sampeyan ki ono-ono wae."Â
"Jangan-jangan biar irit celana, ya?"
Kali ini aku suka sekali tertawanya. Otot-otot di bagian mukanya ikut tertarik. Matanya menyipit dan air matanya keluar.
"Ini yang lebih mendekati betul," katanya sembari meletakkan jemurannya yang sudah kering di sandaran kursi.Â
Tapi, aku tak percaya. Tangannya lantas mengisyaratkan aku duduk di kursi sebelahnya. Sebuah meja bundar setinggi setengah meter membatasi kami. Aku agak canggung tapi entah mengapa aku menurut saja.
"Ini namanya branding, Cah Ayu." Ya, ampun... tak ada yang pernah memanggilku begitu. Seolah seluruh kalimatku tercekat di tenggorokan. Aku hanya bisa diam. Selain sebutan Cah Ayu, aku tahu ia sedang serius. Aku hanya bisa menanggapinya dengan mengayun-ayun punggungku maju mundur sembari mengusap lutut. Sesekali mencuri menatapnya tapi tak berani menubruk matanya langsung. Jika tadi aku sang penguasa, kini akulah sang pecundang.
"Ini ciri kalau aku adalah seorang santri." Lanjutnya.
"Meskipun aku sudah lulus, balik lagi inilah branding yang ingin aku ciptakan. Aku ingin orang mengenalku sebagai santri salahsatunya ya dengan mengenakan sarung, ya kecuali saat ke kantor."
"Ohya, tahu gak motif kotak-kotak itu ada artinya, loh. Gini nih, coba lihat titik putih ini," ucapnya sambil menunju titik berwarna putih di setiap sudut kotak paling luar dari gradasi warna merah. "Ketika kita jalan kemananpun akan menemukan warna yang berbeda. Artinya, dimanapun kita akan selalu menemukan perbedaan. Nah, tinggal bagaimana kita menyikapinya? Seperti bangsa ini yang lahir di atas perbedaan seperti itulah sebaiknya kita memandang perbedaan. Keberagaman itu indah bukan?"
"Seperti aku dan kamu, kita berasal dari daerah yang berbeda tapi saling terbuka supaya bisa saling mengenal."
Aku menjadi pendengar yang baik petang itu. Tak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulutku untuk menandinginya. Untunglah azan magrib menjadi penyelamat dari kekikukanku sendiri.