Sarung Kotak-Kotak (Bagian 1)Â
Semenjak kejadian salah sarung, bisa dikatakan aku semakin akrab dengan Rais. Santri lulusan pesantren yang mencoba peruntungan di ibu kota. Itu pun jika saling bertegur sapa, sedikit ngobrol, dan tersenyum saat ketemu di garasi masuk kriteria akrab.
Kedekatan ini kontras dengan pertemananku dengan Lika. Tak ada lagi kaum rebahan yang meneriaki saat aku pulang kerja. Meski aku tahu, dia ada di dalam kamarnya.Â
Entah ada apa gerangan dengan cewek super cerewet yang suka ikut nyelonong masuk kamar saat aku baru pulang. Sekedar untuk berbagi cerita tentang gebetannya yang akhir-akhir ini berubah hanya menjadi satu nama "RAIS".
Aku melewati kamarnya, melirik sekilas, dan segera turun untuk memasukkan motor matic hadiah ibuku. Bukan hadiah sebenarnya tapi hukuman. Si cantik warna beige ini menggantikan si ijo, motor bergigi yang bisa ku gas poll hingga kecepatan 120 km/jam. Sementara si cantik ini diajak di angka 100 saja sudah megap-megap.
Rais dalam posisi memunggungiku, ada di situ sedang mengambil jemuran. Punggung yang sangat familiar akhir-akhir ini saat aku ke garasi.
"Mengapa hampir seluruh sarung yang kamu kenakan bermotif kotak-kotak," tanyaku membuka obrolan. Dari yang warnanya serupa dengan sarung hadiah THR-ku, sarung kotak-kotak perpaduan turunan coklat yang ia kenakan saat pertama kami berjumpa, kadang dominan biru, dan kombinasi warna merah maroon, putih dengan sedikit garis hitam ... yang jujur aku paling suka saat ia pakai yang satu ini.
Ia berbalik diikuti sembari tertawa. Aku merapatkan gigi dan mungkin terlihat kernyitan di bagian atas T wajahku.
"Jangan bilang kamu, fans berat si baju kotak-kotak." sembari mendorong motor masuk garasi dengan sedikit bantuannya.
Tawanya semakin keras saja.
"Si baju kotak-kotak?" Aku yakin dia hanya pura-pura tidak tahu. Seantero negeri ini juga tahu siapa yang aku maksud. Motif hoki yang mengantarkannya menjadi orang nomor satu di negeri ini.