Mohon tunggu...
Rimayanti Z
Rimayanti Z Mohon Tunggu... widyaiswara - Praktisi Pendidikan

Pengajar walau bukan guru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dikeroyok Muhammadiyah, NU, dan PGRI dalam POP Efektifkah Cara Nadiem Berkelit?

27 Juli 2020   22:33 Diperbarui: 28 Juli 2020   08:50 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak gampang mengelola pendidikan di negeri ini. Namun bukan berarti tidak bisa. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang diserahi mandat untuk dapat mencerdaskan anak bangsa memang selalu menjadi sorotan terkait mutu pendidikan di negeri ini.

Tak pelak kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan selaku pimpinan tertinggi di Kementerian dengan logo tutwuri handayani ini selalu ramai diperbincangkan.

Sebut saja kritikan dan kecaman yang dikeluarkan berbagai pihak pada saat kebijakan penambahaan tahun ajaran dikeluarkan oleh Daoed Joesuf pada tahun 1979 yang lalu.

Walaupun Daoed Joesoef beralasan penambahan tahun ajaran tersebut dilakukan agar liburan panjang tidak jatuh pada bulan Desember. Pada saat itu musim hujan sedang hebat-hebatnya sehingga liburan anak-anak tidak efektif. Alasan yang lebih penting lagi  tahun ajaran baru yang jatuh pada bulan Januari tidak efektif untuk perencanaan anggaran karena tidak sesuai dengan tahun anggaran pada waktu itu yang dimulai pertengahan tahun. Namun agaknya hal tersebut tidak cukup untuk dapat membuat keberterimaan Daoed di tengah khalayak.

Minimal hal tersebut dibuktikan dengan periode kepemimpinan Daoed yang hanya 1  , di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Nama Departemen yang mengurus pendidikan kala itu.

Pada era berikutnya barangkali masih segar dalam ingatan kita pada saat Bapak M. Noeh menelurkan Kurikulum 2013 terhadap beberapa sekolah yang dijadikan pilot projeck pada tahun 2013 silam. Perubahan yang dilakukan pada kurikulum 2013 menuai kritikan tajam, walaupun pada akhirnya tetap dilaksanakan dengan beberapa perubahan dan perbaikan hingga sekarang.

Apa yang dilakukan Anis Baswedan dalam lebih kurang satu tahun kepemimpinannya di Kemendikbud tidak kalah menuai kritikan. Pelaksanaan program di Kemendikbud dengan melibatkan lebih banyak LSM dari Indonesia mengajar mendapatkan penolakan dari beberapa pihak.

Kemendikbud memang selalu berusaha melakukan inovasi dan perubahan demi peningkatan hasil belajar siswa.. Salah satu dasarnya  adalah rendahnya Hasil dari Programme for International Student Assessment (PISA) yang dirilis oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Karena itu peningkatan hasil belajar siswa menjadi suatu yang mutlak harus dilakukan oleh Kemendikbud melalui program-programnya.

Hal ini harus dimulai dengan upaya peningkatan kompetensi guru. Untuk itu maka Kemdikbud di bawah Nadiem Makarim melaksanakan Program Guru Penggerak.

Program ini di Gadang-gadang dapat menciptakan pembelajaran yang berpusat pada murid dan menggerakkan ekosistem pendidikan yang lebih baik. Karena menggali praktek baik dari guru dalam melaksanakan pembelajaran untuk diimbaskan pada ekosistim pendidikan yang lebih luas.

Pelaksanaan PGP ini dilaksanakan melalui Program Organisasi Penggerak (POP). Kemdikbud akan mengeluarkan dana dampingan kepada POP untuk melaksanakan PGP.

Organisasi Penggerak sendiri dibagi oleh Nadim menjadi tiga katergori. Kategori gajah yang akan menerima dana dampingan sebesar 20 M, Kategori macan dengan dana dampingan 5 M, serta kategori kijang yang akan menerima dana dampingan sebesar 1 M.

Proses seleksi terhadap POP yang akan menerima dana telah dilakukan. Yang dimulai dengan pengajuan proposal oleh POP calon penerima dana kepada tim seleksi organisasi penggerak.Hasil seleksipun telah diumumkan. Sehingga organisasi yang lulus seleksi dari ketiga kategori telah diketahui publik secara luas.

Disinilah permasalahan mulai timbul. Ketika terdapat organisasi yang di anggap belum cukup berpengalaman dalam mengelola peningkatan kompetensi guru terdapat dalam daftar organisasi yang lulus untuk menerima aliran dana.

Protespun di lancarkan kepada pihak Kemendikbud. Tidak tanggung-tanggung, tak kurang organisasi pendidikan besar sekelas Lembaga Pendidikan Maarif NU, dan Muhammadiyah, serta Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyatakan mundur dari keikutsertaan pada POP.

Sontak kalangan dunia pendidikan bergejolak. Berbagai tanggapan berdatangan terhadap pelaksanaan program ini. Bagaimana tidak, jika Muhammadiyah dan LP Maarif NU saja menyatakan mundur apakah  program ini akan dapat berjalan dengan mulus? Belum lagi penolakan yang dinyatakan oleh PGRI.

Kita semua tahu betapa panjangnya catatan sejarah tentang kontribusi Muhammadiyah dalam memajukan pendidikan di Indonesia. Sama halnya dengan pengabdian dalam pendidikan yang telah dilakukan oleh LP Maarif NU. Termasuk juga dalam hal peningkatan Kompetensi guru.

Dalam kesempatan yang berbeda, wakil ketua  Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah dan LP Maarif NU sebagaimana yang dikutip dari Solopos.com dan Tribunnews.com sama-sama menyatakan bahwa selama ini mereka telah melakukan peningkatan kompetensi guru, walau tanpa dana dukungan dari pemerintah.

Bahkan pimpinan Maarif NU Arifin Junaidi menyatakan bahwa Maarif NU telah melakukan program sejenis POP sejak lama. Pengunduran diri Maarif NU menuruf Arifin bukan karena masalah dana atau iri kepada organasasi lain penerima POP tapi untuk memberikan kesempatan kepada organisasi lain yang membutuhkan dana. Dengan pernyataan ini apakah berarti menunjukkan ketersinggungan Maarif NU dan Muhammadiyah terhadap pola pengelolaan POP oleh Kemdikbud?

Kita tahu bahwa Muhammadiyah dan NU selalu mewarnai kebijakan yang ada pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selama ini. Bahkan jabatan Menteri Pendidikan Nasional di emban secara bergantian oleh kalangan NU dan Muhammadiyah, walaupun tidak dinyatakan secara tertulis. Inikah yang terlupakan oleh Nadiem?

Pelibatan dua organisasi besar dalam dunia pendidikan Indonesia dalam POP. Apakah Muhammadiyah dan NU tidak dibawa serta dalam perancangan awal POP dan hanya disuguhi barang jadi dalam program ini sehingga membuat ketersinggungan?

Akan halnya PGRI sebagai organisasi yang mewadahi guru juga melakukan hal yang sama. Walaupun alasan hengkangnya PGRI dari POP lebih kepada kebermanfaatan dan efisiensi dari program ini.

PGRI menilai POP tidak maksimal karena dilaksanakan dalam waktu yang singkat. PGRI lebih menyarankan dana Kemdikbud di prioritaskan guna ketersediaan sarana untuk menunjang keterlaksanaan pembelajaran jarak jauh dalam masa pandemi di daerah.

Bagaimanapun PGRI adalah organisasi yang membawahi para guru. Bagaimana mungkin POP dengan  sasaran utama adalah guru dapat terlaksana dengan baik jika para guru sendiri sudah melakukan penolakan terhadap program ini.

Diperlukan beberapa tindakan cepat Nadiem untuk menyikapi hal ini jika ingin program POP dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Karena pada dasarnya baik NU maupun Muhammadiyah mengakui POP adalah program yang baik untuk dilaksanakan dalam peningkatan kompetensi guru yang berujung kepada peningkatan hasil belajar siswa.

Agaknya Nadiem sudah menangkap hal ini. Setidaknya beliau telah mengeluarkan pernyataan akan mengevaluasi ulang pelaksanaan POP. Evaluasi yang dilakukan guna penyempurnaan POP menurut Nadiem dilakukan setelah pemerintah menerima masukan dari berbagai pihak. Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit pihak mana saja yang memberikan masukan sehingga merubah proses pelaksanaan POP secara siginifikan. Setidaknya perubahan dari jadwal pelaksanaan.

Lebih lanjut Nadiem menyatakan Kemendikbud akan makin melibatkan peran organisasi-organisasi yang telah mempunyai andil dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Nadiem juga menambahkan bahwa pendidikan Indonesia tidak mungkin seperti sekarang ini tanpa peran organisasi yang sudah mempunyai sejarah panjang di dunia pendidikan.

Apakah  ini berarti Nadiem bermaksud menyatakan bahwa Muhammadiyah dan NU akan dilibatkan secara langsung dalam proses evaluasi ulang POP disamping organisasi pendidikan lainnya? Nampaknya demikian.

Dengan cara ini  Nadiem berusaha merangkul kembali ke tiga organisasi tersebut agar terlibat dalam pelaksanaan POP. Proses evaluasi yang dilakukan menurut Nadiem menyangkut tata laksana POP.

Proses Evaluasi sendiri menurut Nadiem dirancang dalam hal verifikasi kredibilitas organisasi peserta program. Aspek yang dievaluasi termasuk rekam jejak integritas organisasi.

Secara tegas Nadiem menyatakan tidak akan menghentikan POP. Proses evaluasi hanya akan menunda pelaksanaan POP. Nadiem juga menyatakan kepada organisasi penggerak untuk tidak khawatir akan keberlanjutan POP.

Jika demikian adanya apakah ini berarti proses evaluasi tidak akan mengeliminir organisasi penggerak yang telah terseleksi sebelumnya? Walaupun hasil evaluasi menunjukkan kredibilitas organisasi peserta program serta rekam jejak integritas organisasi tidak begitu baik?

Pernyataan ini jelas menimbulkan tanda tanya lanjutan bagi semua pihak. Lazimnya proses evaluasi tentunya menghasilkan sejumlah data tertentu untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan dan rekomendasi. Rekomendasi dalam bentuk layak atau tidaknya organisasi tersebut menjalankan POP.

Harapannya hasil verifikasi yang dilakukan dapat menjawab pertanyaan dan keraguan yang dilontarkan oleh Muhammadiyah dan Lembaga Pendidikan Maarif NU.

Hasil evaluasi dan verifikasi mestinya juga dapat dijadikan Nadiem sebagai sumber data untuk menjawab ketidak setujuan PGRI turut serta dalam program ini. Ini memerlukan tindakan yang cepat dan terukur. Tidak cukup sebatas pernyataan normatif di berbagai media.

Muhammadiyah, LP Maarif NU, PGRI, dan semua pihak menunggu tindakan nyata dari Nadiem terhadap semua keraguan yang telah dilontarkan akan keterlaksanaan program ini.

Secepatnya perlu dilakukan duduk bersama antara Kemendikbud dan ketiga organisasi tersebut, termasuk organisasi pendidikan lainnya  serta pihak-pihak terkait guna membicarakan hal ini secara lebih intens. Nadiem perlu melibatkan pihak luar Kemendikbud lebih banyak lagi  sebelum menelurkan program-programya.

Yang pasti bola panas POP terus menggelinding kemana-mana. Termasuk ke gedung DPR senayan. Anggota dewan mempertanyakan penggelontoran dana POP yang masuk ke Sampoerna Foundation dan Tonato Foundation.

Dua organisasi yang berafiliasi pada dua perusahaan besar di Indonesia. Sebagai sebuah perusahaan mestinya mereka menyalurkan dana melalui CSR (corporate social responsibility) bukan menerima dana dari pemerintah. Hal ini tentu juga perlu diverifikasi oleh Nadiem.

Publik menunggu tindakan selanjutnya yang akan dilakukan oleh Nadiem menyangkut POP dan guru penggerak. Perubahan dalam tatalaksan  POP mutlak diperlukan. Jika tidak cukup terlihat dalam tindakan nyata boleh jadi LP Maarif NU, Muhammadiyah, dan PGRI tetap dalam sikap semula untuk berada diluar dari Program Organisasi Penggerak Kemendikbud.

Jika ini terjadi niat Kemendikbud untuk pemberdayaan masyarakat di bidang pendidikan melalui POP akan sedikit ternodai. Karena ketiga organisasi tersebut adalah organisasi besar yang sudah berkontribusi lama dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.

Bagaimanapun POP di rancang dengan tujuan mulia untuk meningkatkan kompetensi guru di Indonesia. Lebih banyak pihak yang terlibat dan berkontribusi tentu akan lebih baik. Kita tunggu langkah strategis Nadiem berikutnya agar dapat merangkul semua pihak guna keterlaksanaan program ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun