Mohon tunggu...
Rima Gravianty Baskoro
Rima Gravianty Baskoro Mohon Tunggu... Pengacara - Trusted Listed Lawyer in Foreign Embassies || Policy Analyst and Researcher || Master of Public Policy - Monash University || Bachelor of Law - Diponegoro University ||

Associate of Chartered Institute of Arbitrators. || Vice Chairman of PERADI Young Lawyers Committee. || Officer of International Affairs Division of PERADI National Board Commission. || Co-founder of Toma Maritime Center.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kesalahan Penulisan dalam Putusan Perkara Korupsi di Indonesia dan Dampaknya Terhadap Proses Perampasan Aset

15 Oktober 2023   18:05 Diperbarui: 15 Oktober 2023   18:15 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[1.] membuat berita acara persidangan, [2.] pemeriksaan dan penelaahan kelengkapan berkas perkara pidana, [3.] mengetik konsep putusan hasil musyawarah Majelis yang akan diucapkan, [4.] melaksanakan pemberitahuan isi putusan kepada para pihak, dan [5.] pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Panitera. Oleh karena itu, meskipun Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan perkara tindak pidana korupsi didasarkan pada hasil rapat musyawarah majelis.

Namun saat penyusunan dan pengetikannya juga dibantu oleh panitera pengganti, yang mana seharusnya panitera pengganti idealnya melakukan pemeriksaan ganda (double check) terhadap seluruh ketepatan penulisan putusan perkara tindak pidana korupsi. Selain itu juga dikarenakan panitera bertugas dan bertanggung jawab terhadap pemeriksaan, penelaahan, dan perawatan kelengkapan berkas perkara pidana, maka pada saat melakukan pengetikan, panitera pengganti dapat melakukan pemeriksaan ganda (double check) dengan merujuk pada berkas perkara yang sebelumnya diserahkan oleh penyidik dan penuntut umum.

Penyusunan Putusan perkara tindak pidana korupsi ini sebetulnya merupakan hasil kerja tim, mulai dari Penyidik sebagai pihak awal yang mengumpulkan bukti-bukti hingga terhitung kerugian negara, kemudian pihak Kejaksaan sebagai penuntut umum yang bertugas menyusun dakwaan dan memasukkan unsur kerugian negara dengan angka dan nominal yang pasti agar tidak mudah dibantah oleh terdakwa, dan puncaknya adalah majelis hakim sebagai pihak yang menentukan nominal ganti rugi yang harus dibayarkan oleh terdakwa melalui putusan yang diberikannya. Oleh karena itu beban tanggung jawab kesalahan penulisan dapat dicari berdasarkan tingkatan kesalahan penulisan berkas perkara. Jika penulisan sudah terjadi sejak penyidikan dan berlanjut hingga putusan, maka tanggung jawab renteng seyogyanya dikenakan kepada penyidik, penuntut umum, hingga ke majelis hakim.

Terdapat beberapa putusan perkara tindak pidana korupsi yang menjadikan perampasan aset sebagai hukuman dengan tujuan mengembalikan kerugian negara. Putusan tersebut antara lain terkait putusan perkara yayasan Supersemar, putusan perkara korupsi dana pengamanan Pemilihan Kepala Daerah Jawa Barat (Pilkada Jabar) dengan terpidana atas nama Susno Duadji, dan perkara korupsi dengan terpidana atas nama Yul Dirga selaku mantan Kepala Kantor Pajak Penanaman Modal Asing (KPP PMA) Jakarta Tiga. Namun yang disayangkan, ketiga putusan yang seyogyanya ideal untuk mengembalikan kerugian negara tersebut ternyata terdapat kesalahan penulisan  , yaitu sebagai berikut:

  • Putusan kasasi perkara Yayasan Supersemar terdapat kesalahan penulisan   berupa amar putusan yang seharusnya dihukum membayar Rp. 185.000.000.000 (seratus delapan puluh lima miliar Rupiah) menjadi Rp. 185.000.000 (seratus delapan puluh lima juta Rupiah). Kesalahan penulisan ini berakibat pada tidak dapat dieksekusinya putusan karena perbedaan mendasar pada nilai hukuman ganti rugi karena kesalahan penulisan ini telah mengubah esensi perkara. Kesalahan penulisan yang nampak sederhana ini, justru berpotensi merugikan negara lagi karena pengembalian ganti rugi tidak sesuai dengan kerugian yang diderita negara. Oleh karena itu, atas adanya kesalahan penulisan pada putusan perkara Yayasan Supersemar, asas manfaat tidak terpenuhi karena kesalahan penulisan ini menimbulkan ketidakpastian hukum nominal ganti rugi;
  • Putusan perkara korupsi dana pengamanan Pilkada Jabar atas nama terdakwa Susno Duadji berupa kesalahan pencantuman nomor perkara dan tanggal putusan perkara, yang bukan merupakan perkara terdakwa Susno Duadji. Kesalahan penulisan nomor perkara berakibat pada ketidakpastian eksekusi untuk perkara dengan subjek, objek, dan dasar hukum yang berbeda. Konsekuensinya, eksekutor berpotensi melaksanakan eksekusi atas putusan yang berbeda dengan kewenangan yang diberikan padanya berdasarkan persidangan riil Susno Duadji. Atas kesalahan penulisan nomor perkara ini maka Asas manfaat tidak terpenuhi karena kesalahan penulisan ini menimbulkan ketidakpastian hukum pelaksanaan putusan;
  • Putusan perkara korupsi atas nama terdakwa Yul Dirga selaku mantan KPP PMA Jakarta Tiga yang melakukan kesalahan penulisan mata uang asing pada amar putusan uang pengganti. Majelis Hakim menuliskan mata uang asing pada hukuman uang pengganti untuk Dollar Singapura dengan lambang SG $, padahal seharusnya adalah SGD. Kesalahan penulisan mata uang asing yang berakibat pada kerancuan saat eksekusi, sebab lambang SG $ tidak dikenal publik sebagai lambang mata uang asing Dollar Singapura. Konsekuensinya putusan tidak dapat dieksekusi karena mata uang asing SG $ tidak ada. Atas kesalahan penulisan ini, maka asas manfaat dan keadilan tidak terpenuhi karena kesalahan penulisan ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak adanya jaminan ganti rugi terhadap negara atas tindak pidana korupsi yang telah terbukti dilakukan terpidana.

Hingga tulisan ini diterbitkan, belum ada data yang dipublikasikan oleh Mahkamah Agung RI yang membuktikan bahwa Mahkamah Agung RI sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif secara rutin telah melakukan evaluasi terhadap kesalahan pekerjaan hakim dan jajarannya, termasuk evaluasi terkait kesalahan penulisan dalam putusan yang mengubah esensi dan substansi perkara pidana korupsi. Hal ini besar kemungkinan terjadi karena tekanan yang diberikan publik maupun institusi kekuasaan yudikatif adalah berfokus pada perbaikan kesalahan penulisan, namun tidak berfokus pada minimalisir dan antisipasi kesalahan penulisan pada putusan korupsi di kemudian hari. Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI, Sobandi melalui media daring harian republika tanggal 30 juni 2023, yang mengafirmasi perbaikan putusan bisa dilakukan jika terjadi kesalahan.

Berdasarkan pada doktrin ahli hukum acara pidana, M. Yahya Harahap, kesalahan penulisan   pada dasarnya masih ada yang bisa ditoleransi, dengan syarat kesalahan penulisan tersebut tidak mengubah esensi dan substansi perkara korupsi. Sebagai contoh, jika pada faktanya harta hasil korupsi terdakwa yang harus disita adalah berupa tanah dan bangunan dengan nomor sertifikat tertentu, maka penulisan nomor sertifikat ini tidak boleh salah sedikitpun. Karena kesalahan nomor sertifikat mengakibatkan kesalahan objek eksekusi. Ketika terjadi kesalahan eksekusi pada objek yang bukan menjadi bagian dari perkara, maka disitu muncul permasalahan baru yaitu ketidakpastian hukum. Sehingga kesalahan pengetikan   tidak bisa disepelekan dan dianggap sederhana, terutama jika pada akhirnya mengubah esensi dan substansi perkara korupsi.


III. Perampasan Aset Dan Kesalahan Penulisan Pada Putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi

Secara garis besar, terdapat setidaknya 3 (tiga) konsekuensi hukum yang harus diterima kekuasaan yudikatif khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, atas kesalahan penulisan ada putusan perkara tindak pidana korupsi, yaitu:

  • Perbedaan objek perkara maupun perkaranya itu sendiri, sehingga perampasan aset berpotensi tidak bisa dieksekusi;
  • Putusan hanya menang di kertas (non-executable), tanpa negara bisa mendapatkan pengembalian atas kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi;
  • Menjadi celah bagi pelaku tindak pidana korupsi untuk mengupayakan clerical error dalam setiap berkas agar hasil kejahatan tindak korupsi yang dilakukannya tidak bisa dieksekusi

Untuk perampasan aset yang berlokasi di luar negeri yang berkemungkinan didasarkan pada Putusan perkara tindak pidana korupsi dengan kesalahan penulisan, maka Kejaksaan Agung RI sebagai pelaksana putusan / eksekutor dikelilingi oleh para pemangku kepentingan dengan skala kekuatan dan kepentingan yang berbeda sebagaimana digambarkan dalam bagan 1 di bawah ini :

Kekuasaan Yudikatif di negara tempat aset berdiam (kekuasaan yudikatif luar negeri) dan Institusi Keuangan di negara tempat aset berdiam (institusi keuangan luar negeri) memiliki kepentingan yang besar dengan kekuatan yang besar pula di yurisdiksi tempat negara berdiam. Hal ini dikarenakan kekuasaan yudikatif luar negeri tersebut memiliki kewenangan untuk mengabulkan atau menolak permohonan perampasan aset yang diajukan oleh Pemerintah RI melalui Kejaksaan Agung RI. Sedangkan Institusi Keuangan luar negeri tersebut memiliki kepentingan untuk mempertahankan aset yang menjadi sumber pemasukan besar, dan memiliki hak hukum pula untuk melakukan perlawanan terhadap upaya perampasan aset yang dimohonkan Pemerintah RI melalui proses re-litigasi di pengadilan luar negeri di bawah kekuasaan yudikatif luar negeri tersebut.

Kekuasaan Eksekutif negara tempat aset berdiam (kekuasaan eksekutif luar negeri), Kementerian Luar Negeri RI (Kemenlu RI) dan Mahkamah Agung RI (MARI) merupakan pemangku kepentingan dengan kekuatan besar namun minim kepentingan dalam proses perampasan aset hasil tindak pidana korupsi di yurisdiksi luar negeri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun