Mohon tunggu...
Rima Gravianty Baskoro
Rima Gravianty Baskoro Mohon Tunggu... Pengacara - Trusted Listed Lawyer in Foreign Embassies || Policy Analyst and Researcher || Master of Public Policy - Monash University || Bachelor of Law - Diponegoro University ||

Associate of Chartered Institute of Arbitrators. || Vice Chairman of PERADI Young Lawyers Committee. || Officer of International Affairs Division of PERADI National Board Commission. || Co-founder of Toma Maritime Center.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Perempuan Pesisir sebagai Tiang Ekonomi Lokal di Maluku

17 Januari 2022   10:03 Diperbarui: 18 Januari 2022   02:09 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I. Kodrat, Kultur, dan Konflik Beban Ganda Perempuan Indonesia

Masyarakat Indonesia terbiasa hidup dalam kultur yang membuat bias gender dan misogini semakin mencuat bahkan menjadi hal yang biasa saja, seperti misalnya perempuan yang harus bisa memasak, mengurus rumah, dan mengurus anak.

Jika perempuan berprestasi baik namun tidak mahir di dapur atau merapihkan rumah, maka perempuan itu tetap tidak ada nilainya.

Padahal perihal domestik atau pengurusan rumah tangga, menurut Yenny Wahid (detiknews.com , 22 Desember 2019), bukanlah menjadi kodrat perempuan.

Kodrat perempuan berdasar pada konstruksi biologis, yaitu: perempuan bisa menstruasi, bisa hamil, bisa melahirkan, dan bisa menyusui.

Sedangkan pengurusan rumah tangga merupakan hak yang berdasarkan pada konstruksi sosial. Kodrat perempuan adalah hal yang tidak dapat digantikan posisinya oleh laki-laki. Namun pekerjaan rumah tangga idealnya menjadi tanggung jawab bersama antara laki-laki dan perempuan, sehingga tidak termasuk dalam kodrat perempuan.

Selain kodrat, posisi perempuan Indonesia juga ditentukan dalam konstruksi sosial melalui kultur. Pengalaman dan lingkungan seolah memposisikan perempuan tidak memiliki pilihan lain selain menjadi ibu rumah tangga. Adalah aib Ketika di usia 25 (dua puluh lima) tahun belum ada rencana pernikahan tersusun.

Ketika memasuki kehidupan rumah tangga, lingkungan memberikan keyakinan kepada para perempuan bahwa tidak ada pemberian terbaik dari seorang istri selain pengabdian sepenuhnya kepada suami, terlepas pelayanan itu benar atau salah. Ketika menjadi ibu, kultur mendoktrin bahwa tugas tunggal perempuan adalah membesarkan anak dan merawat anak, terlepas ada atau tidaknya peran suami.

Hal tersebut sebagaimana juga diungkapkan oleh Tedjakusuma, Berninghausen dan Kerstan dalam Abdullah (2001: 108) yang menulisan pilunya cita-cita perempuan sebagai berikut "ketika saya masih kecil, tertanam pendidikan dari orang tua yang menyebabkan anak-anak perempuan tidak terlalu berambisi menjadi wanita karier. Tidak ada pilihan bagi gadis-gadis selain menjadi istri untuk suami dan ibu bagi anak-anaknya kemudian.

Banyak keluarga yang mengejek anak perempuan menjadi juara kelas tapi tidak dapat menanak nasi. Keluarga yang mempunyai gadis sangat khawatir apabila anak-anaknya tidak mendapatkan jodoh. Rupanya prestasi tertinggi nilainya bagi seorang perempuan adalah apabila ia berhasil menikah dan mempunyai anak." Adanya bias gender yang dinormalisasi oleh kultur dan lingkungan tersebut memposisikan perempuan Indonesia seolah-olah kegiatan ekonomi bukan menjadi dunia perempuan.

Di dunia modern ini, struktur sosial dalam kultur yang memposisikan perempuan sedemikan rupa akhirnya membuat perempuan yang bekerja atau wanita karier menjadi terjebak dalam konflik beban ganda (double burden), yaitu beban domestik dan beban di ranah produktif.

Hal ini senada dengan yang dinyatakan oleh Sapiro dalam Ardaneshwari (2014: 25): "Kecenderungan klasik untuk mempertentangkan posisi perempuan dan dunia kerja didasari kekhawatiran tidak beralasan bahwa dengan bekerja di luar rumah, keluarga dan juga ke perempuan - perempuan itu sendiri, akan terganggu".

Pada akhirnya perempuan yang berkarier sehari-hari harus melakukan pekerjaan 2 (dua) shift, saat di kantor dan saat di rumah dan ini menjadi hal yang tragis karena bagaimanapun sebagai manusia perempuan butuh rehat setelah kegiatan aktualisasi diri.

Pertentangan lain terkait double burden adalah yang menjadi bahan perbincangan di kota metropolitan soal pertentangan antara wanita karier dan ibu rumah tangga. Dimana seolah-olah wanita karier tidak akan sanggup mengurus rumah tangga, dan ibu rumah tangga tidak memiliki posisi tawar yang baik karena tidak memiliki kekuatan ekonomi. Wanita karier tidak akan fokus mengejar cita-cita karena terkungkung beban pengurusan rumah tangga, dan ibu rumah tangga telah berakhir cita-citanya karena harus seumur hidup mengabdikan diri kepada keluarganya.

Namun pertentangan tersebut tidak dialami oleh para perempuan pesisir. Di saat kota metropolitan mempertentangkan kodrat dan kultur double burden perempuan yang menjadi ibu rumah tangga dengan yang menjadi wanita karier, namun kondisi kultur, geografis, dan demografis propinsi maritim memposisikan perempuan harus mampu mengambil 3 (tiga) peran melebih 2 (dua) peran perempuan metropolitan pada umumnya.

Perempuan pesisir memiliki tanggung jawab yang bereda dari perempuan Indonesia pada umumnya. Ada 3 (tiga) peran yang harus dilakoni perempuan pesisir setiap hari, yaitu peran domestik, peran ekonomi, dan peran dalam komunitas.

II. Perempuan Pesisir Dan Peranannya Dalam Ekonomi Maritim

Ada konsep triple roles yang ditemukan oleh Caroline Moser (1993) pada kehidupan perempuan pesisir, yaitu peran pekerjaan domestik, pekerjaan produksi, dan pengelolaan komunitas yang ketiganya dilakukan secara bersamaan setiap hari.

Sistem pembagian peranan dalam pekerjaan ini berdasarkan pada gender yang berlaku di kalangan masyarakat pesisir. Laut menjadi ranah kerja nelayan, yaitu laki-laki. Laki-laki Sebagian besar menghabiskan waktunya melaut menangkap ikan.

Sedangkan perempuan pesisir memiliki ranah kerja di darat, karena hasil tangkapan tersebut nanti yang akan dikelola oleh perempuan menjadi pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangganya sendiri maupun dijual sebagai penopang ekonomi utama keluarga.

Dengan kata lain, perempuan pesisir memiliki waktu lebih fleksibel dibandingkan laki-laki untuk mengurus kegiatan sosial ekonomi di pesisir. Kondisi demografis ini akhirnya menjadikan peranan sosial-ekonomi yang khas antara para nelayan dan perempuan pesisir.

1. Peran Domestik

Angger Wiji Rahayu dalam "Perempuan dan Belenggu Peran Kultural" (www.jurnaolperempuan.org , 2015) menyatakan bahwa perempuan sudah lama dilekatkan pada aktivitas domestic. Konotasi perempuan sebagai manusia pekerja domestik berarti mengurus rumah tangga dan mengurus anak, atau lekat dengan konotasi "sumur, dapur, dan Kasur".

Maka dalam kedudukannya sebagai istri dari suaminya dan ibu dari anak-anaknya, perempuan pesisir bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga, mengasuh dan mendidik anak, menyediakan kebutuhan sekolah anak, hingga menyiapkan bekal suami saat bekerja melaut.

Peran ini memposisikan perempuan menjadi pengasuh utama di rumah. Perempuan bertanggung jawab atas makanan, gizi, bahkan hingga stabilitas keuangan keluarga.

2. Peran Ekonomi (Peran Pekerjaan Produksi dan Pengelolaan Komunitas)

Perempuan pesisir yang merupakan bagian dari sebuah proses mata rantai pembangunan ekonomi berbasis sumber daya kelautan merupakan salah faktor penting. Perempuan pesisir memainkan fungsi dan perannya bukan hanya untuk menunjang pendapatan ekonomi keluarga tetapi turut mengambil bagian dalam struktur pendapatan daerah secara ekonomi.

Untuk itu, perempuan pesisir merupakan komponen penting dalam pembangunan ekonomi di wilayah pesisir. Hal ini dilihat dari potensi sosial serta potensi ekonomi yang sangat strategis untuk mendukung kelangsungan hidup masyarakat nelayan secara keseluruhan serta subangsi terhadap ekonomi daerah.

Kontribusi perempuan pesisir dalam memainkan peran ekonomi dilihat dari peran dan keiikut sertaan mereka sebagai pedagang pengecer, pengumpul ikan, pedagang besar, buruh upahan, maupun tenaga pengolah hasil perikanan serta peran lainnya yang tidak pernah terlihat.

Data Badan Pusat Statistik dalam publikasi Pekerja Permpuan Indonesia (2019) menunjukan bahwa jika ditinjau berdasarkan daerah tempat tinggal, persentase perempuan perdesaan berumur 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan, 

perburuan, dan perikanan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan, yakni sebesar 50,36 persen berbanding 7,38 persen. Perempuan di pedesaan yang bekerja dalam sektor pertanian turut memberikan kontribusi dalam struktur tenaga kerja.

Menurut data Pusat Data dan Informasi Kiara (2018) mencatat sedikitnya 5,6 juta orang terlibat di dalam aktivitas perikanan. Aktivitas ini mulai dari penangkapan, pengolahan, sampai dengan pemasaran hasil tangkapan. Dari jumlah itu, 70 persen atau sekitar 3,9 juta orang.

Komposisi tenaga kerja di daerah pedesaan atau pesisir tentunya dapat menggambarkan bahwa pada daerah daerah penghasil sumber daya alam berbasis keluatan merupakan basis kantong-kantong tenaga kerja yang dominan di sektor perikanan atau kelautan.

Provinsi Maluku sendiri dilansir dari Ekonomi.Bisnis (2020) memiliki Potensi sumber perikanan di Maluku mencapai 4,66 juta ton per tahun. Angka ini sekitar 37 persen dari total 12,5 juta potensi ikan ada di Indonesia. Kemudian disusul di Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing sebanyak 223,6 ribu orang dan 187,1 ribu orang. Sebanyak 37 persen sumber daya ikan yang ada di Indonesia ada di kawasan Maluku.

Berdasarkan realitas diatas dapat disimpulkan bahwa nelayan yang adalah tiang utama sektor tenaga kerja sebagai pelaku utama dalam aktivitas perikanan sangat mendominasi.

Data Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku (2009) juga menujukan bahwa menurut lapangan pekerjaan utama,persentase terbesar penduduk Provinsi Maluku bekerja pada Sektor Pertanian yang didalamnya terdapat sektor perikanan yaitu sebesar 56,28 persen.

Sudah tentunya sektor dominan yaitu sektor kelautan menjadi komoditi ekonomi utama, tenaga kerja dalam sektor ini pun mempunyai pengaruh terhadap subangsi pendapatan daerah. Jika dilihat berdasarkan data BPS Provinsi Maluku, 

perkembanganperekonomian Maluku pada triwulan ke dua tahun 2019 tumbuh positif sebesar 6,09 persen. Pertumbuhan ekonomi Maluku didorong oleh beberapa sektor lapangan usaha yang memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi antara lain pertanian, perikanan perdagangan dan serta industri pengolahan.

Dalam sebuah komunitas ekonomi perempuan-perempuan Maluku mereka sangat besar, peran mereka dari proses praproduksi, produksi, sampai dengan pasca produksi.

Tugas yang begitu kompleks dan sekaligus berperan untuk memastikan pemenuhan proteinbangsa. Tanpa perempuan pesisir, rumah tangga dan industri perikanan tidak akan bisa berdiri dengan tegak hingga mengirimkan protein ke atas meja makan di rumah warga Negara Indonesia.

Perempuan pesisir khususnya perempuan yang bermata pencairan sebagai nelayan di wilayah maritim yaitu Provinsi Maluku adalah perempuan-perempuan yang menjadi tiang penyangga bukan hanya untuk pemenuhan sumber ketahanan rumah tangga, melainkan memiliki peran dan kontribusi yang besar sebagai penyangga perekonomian lokal.

Maka dari itu sudah semestinya mereka mendapat perhatian dalam bingkai kebijakan dalam lingkup nasional maupun daerah.

Namun demikian, dalam berbagai aspek kajian ataupun program- program pembangunan pesisir kenyataannya perempuan-perempuan pesisir luput dari objek utama kebijakan yang dibuat.

Berikut dibawah ini merupakan potret wajah perempuan pesisir yang perannya sangat besar tetapi luput dari kaca mata kebijakan pemerintah.

III. Persoalan Perempuan Pesisir Terkait Ekonomi Maritim

A. Perempuan pesisir dalam bingkai kebijakan

Profesi nelayan masih saja dipandang seputar dominasi kaum laki-laki selaku pelaku utama dalam sektor ini, namun pada kenyatannya di beberapa daerah di Indonesia, kaum perempuan cenderung memiliki peranan lebih signifikan dibanding laki-laki, baik di area domestik maupun pada kegiatan produktif yang berhubungan dengan perikanan dari hulu hingga ke hilir.

Hal ini cukup memberikan pengaruh terhadap pengakuan status perempuan-perempuan pesisir yang mempunyai mata pencarian sebagai nelayan.

Kenyataan diatas mengakibatkan perempuan pesisir mengalami kendala dalam mengakses bantuan atau fasilitas yang dapat meningkatan taraf hidup mereka atau menopang profesi mereka sebagai perempuan-perempuan hebat di lautan guna memenuhi kebutuhan pangan orang perkotaan.

Perempuan kerap dipandang sebelah mata dan haknya belum diberikan sepenuhnya sebagai subjek hukum. Padahal, hak dan kesetaraan tersebut bagi perempuan pesisir merupakan pintu masuk dan kunci bagi mereka untuk dapat mengakses fasilitas, program pemberdayaanatau pelatihan, serta program bantuan sosial yang diberikan oleh negara serta pemerintah.

Perjuangan perempuan pesisir untuk diakui sebagai "perempuan nelayan" oleh pemerintah dapat memudahkan mereka mengakses program peningkatan kapasitas yang bermanfaat untuk pengurangan kemiskinan, membangun kapasitas perempuan pesisir itu sendiri.

Jika profesi nelayan masih menggunakan pendekatan yang didominasi oleh kaum laki-laki sehingga mereka lebih dekat terhadap program-program atau bantuan pengentasan kemiskinan, maka hal tersebut dapat mengakibatkan perempuan pesisir tetap tinggal dalam kungkungan bayang-bayang kemiskinan. Program atau kebijakan bagi nelayan masih bias gender (berfokus pada peranan nelayan laki-laki saja).

B. Tantangan perempuan pesisir dalam persoalan ekonomi maritim

a. Kelaparan dan Kemiskinan

Salah satu masalah sosial yang serius adalah kemiskinan yang menimpa sebagian masyarakat pesisir. Data persentase penduduk miskin di Maluku menurut provinsi dan daerah, pada tahun 2020 semester I adalah 26,21 persen sedangkan semester II adalah 27,06 persen . Pada tahun 2021 semester I mengalami kelonjakan menjadi 29, 96 persen (sumber).

Kusnadi (2003) menyatakan bahwa kaum perempuan pesisir menjadi penanggung beban hidup paling berat jika nelayan (laki-laki) sulit mendapatkan penghasilan. Hal ini dikarenakan stabilitas ekonomi rumah tangga ada di tangan perempuan pesisir. Sehingga jikapun pendapatan suami berkurang atau bahkan tidak ada hasil tangkapan ikan sama sekali di musim-musim tertentu, perempuan pesisir harus siap menjadi tulang punggung dalam keluarga.

b. Penjaga kelangsungan kehidupan laut sebagai tempat mata pencaharian warga pesisir

Perempuan pesisir yang secara natural diberikan kekuatan untuk merawat, menyadari pentingnya menjaga ekosistem laut sebagai lapangan kerja mereka. Perempuan pesisir pada akhirnya dituntut untuk memahami konsep penanaman mangrove, pencemaran lingkungan, dan upaya menjaga kesuburan perairan pesisir atau sumber daya ikan. Hal ini semata-mata demi menjamin kelangsungan kehidupan laut yang merupakan sumber mata pencaharian warga pesisir.

c. Peningkatan taraf kehidupan melalui pemberdayaan ekonomi produktif

Salah satu penyebab utama timbulnya kemiskinan pada masyarakat nelayan yaitu belum maksimalnya program pemberdayaan pembangunan di kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang berorientasi di antara para pelaku pembangunan. Kebijakan pemberdayaan kepada tenaga kerja berbasis perikanan masih menjadi tantangan dalam upaya pengembangan sumber daya manusia dan taraf ekonomi para nelayan secara berkelanjutan.

Selain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga perempuan pesisir membutuhkan jaminan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan. Program-program pemberdayaan yang menitik beratkan pada peningkatan kapasitas/soft skill perempuan di sektor pertanian sudah harus menjadi salah satu isu potensial dalam perumusan dan perencaaan pembangunan sumber daya manusia se-wilayah kepulauan.

Penyiapan soft skill atau keahilan baru bagi perempuan-perempuan pesisir dalam meningkatkan ekonomi produktif menjadi alternatif lain saat aktifitas utama sebagai nelayan terkendala.

d. Bencana alam di daerah pesisir

Bencana alam di daerah pesisir antara lain tsunami, angin puting beliung, gelombang ekstrim, gelombang laut berbahaya, banjir, kenaikan paras muka air laut, tanah longsor, dan erosi pantai.

Di tengah kerentanan dan kedukaan, perempuan pesisir dituntut untuk siap menggerakkan komunitas bersama para perempuan pesisir lain setidaknya untuk membuat dapur umum. Ada tugas dapur yang tidak akan hilang dan menjadi kewajiban perempuan pesisir, meski dalam kondisi bencana.

Maka dengan segala kondisi ekonomi yang tersisa, perempuan pesisir harus tetap membuat dapur mengepul demi terjaminnya isi perut dan gizi keluarga yang menjadi korban bencana alam.

IV. Catatan Kritis Atas Kebijakan Terhadap Perempuan Pesisir Penopang Ekonomi Lokal, Langkah Strategis, Dan Opsi Solusi

a. Persoalan Kelaparan dan Kemiskinan

Akan sangat sulit jika kehidupan nelayan hanya bergantung pada hasil tangkapan ikan. Maka solusinya, perempuan pesisir sebagai tonggak ekonomi dalam keluarga harus mampu mengembangkan strategi lain demi stabilitas finansial keluarga, seperti misalnya bercocok tanam sayur.

Perempuan pesisir juga bisa melakukan pengelolaan hasil penangkapan ikan yang diawetkan dan bisa dijual dalam bentuk produk kemasan dengan nilai jual yang dinaikkan. Sehingga pendapatan meningkat dan bisa melakukan penyimpanan dana untuk nantinya digunakan jika tiba pada masa kesulitan hasil tangkap.

Namun untuk menerapkan ini, perlu adanya bantuan untuk para perempuan pesisir berupa program pelatihan kewirausahaan, bantuan dari pemerintah untuk penyedian alat produksi, partisipasi dari perguruan tinggi, organisasi maupun korporasi untuk pendampingan pelaksanaan program wirausaha mulai dari produksi, marketing, hingga distribusi, demi menunjang optimalisasi pemanfaatan lahan pesisir dan pengelolaan ikan.

b. Persoalan Kelangsungan Kehidupan Laut Sebagai Tempat Mata Pencaharian Warga Pesisir

Diperlukan keikutsertaan pemerintah dalam memberikan pengetahuan tentang konsep ekonomi yang ramah lingkungan pesisir. Namun transfer knowledge secara teori saja tidak cukup. Perlu ada pelatihan dan pendampingan riil terhadap perempuan pesisir soal pengembangan dan pemeliharaan wilayah perairan.

Jika pada akhirnya para perempuan pesisir sudah sanggup melakukan pemeliharaan dan perawatan terhadap lingkungan pesisir, perlu dilakukan pengawasan agar pemeliharaan tersebut berkesinambungan dan memberikan efek yang nyata terhadap keberlangsungan kehidupan laut sebagai tempat mata pencaharian warga pesisir.

c. Bencana alam di daerah pesisir

Peran serta pemerintah terkait bencana alam di daerah pesisir kiranya tidak hanya berupa bantuan pada saat bencana alam telah terjadi, namun juga dalam bentuk pendampingan dan pelatihan rutin dan berkesinambungan dalam hal menghadapi bencana alam di daerah pesisir.

Contoh riil adalah memberikan pelatihan penyelamatan diri dalam hal terjadi bencana alam, tata cara penyimpanan bahan makanan pokok untuk berjaga-jaga jika terjadi bencana alam agar kebutuhan pokok tetap terpenuhi setelah bencana, dan informasi tentang nomor penting yang dapat dihubungi untuk pencarian keluarga yang hilang atau permintaan bantuan jika terjadi bencana alam.

d. Pendekatan kebijakan ekonomi lokal berbasis gender

Orientasi pembangunan baik pembangunan ekonomi maupun ketenagakerjaan di provinsi Maluku harusnya berorientasi kemaritiman. Pendekatan yang digunakan dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintah daerah harus dapat menjawab persoalan persoalan di sektor sektor strategis seperti sektor kelautan.

Pendekatan tersebut dapat menjawab tantangan dan persoalan yang selama ini menjadi benang merah upaya pengembangan dan pembangunan ekonomi lokal khususnya ekonomi Maluku.

Semakin dekat kebijakan yang diambil menjawab persoalan maka semakin efektif juga peningkatan pengelolaan sumber daya alam dilihat dari sumber daya manusia dan pengelolaan sumber daya alam itu sendiri.

Dapat kita lihat bahwa pendekatan kebijakan yang diambil lebih berorientasi ke daratan dan bukan ke laut sementara provinsi Maluku merupakan daerah kepulauan yang mustahil menerapkan kebijakan berbasis daratan (land biased policy). Pemerintah daerah. diminta dapat memetakan kebutuhan dan keunggulan dari potensi daerah dalam pembangunan daerah.

Misalnya saja pendekatan kebijakan ketenagakerjaan atau pembangunan sumber daya manusia dariri sisi kelautan. Pelatihan pelatihan yang dibuat oleh pemerintah harus juga memprioritaskan struktur tenaga kerja dominan seperti nelayan dalam pelatihan pelatihan. Peningkatan pelatihan tenaga kerja berbasis kemaritiman atau kebutuhan kelautan harus mnejadi salah satu prioritas provinsi Maluku.

Hal tersebut bukan hanya menitik beratkan kepada nelayan laki-laki tetapi juga diperuntukan untuk nelayan perempuan dalam menunjang peranannya melaksananakan kegitatan ekonomi produktif.

Oleh:

Nathalia Mahudin, S.E., M.E (Pendiri Perempuan Progresif Indonesia Timur) dan Rima Baskoro, S.H., ACIArb. (Pendiri Toma Maritime Center)

"Dibalik nikmatnya sepiring ikan bakar dan gizi protein di kota metropolitan, ada kerja lelah tangan-tangan perempuan pesisir, dengan peran tanpa henti dari hulu ke hilir, dari dalam rumah tanpa batas akhir."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun