Mohon tunggu...
Rilo Pambudi
Rilo Pambudi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa akhir di salah satu perguruan tinggi yang ada di kota Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Book

Cuplikan dan Komentar atas Buku Chairil Anwar Rabun Sastra, Hayat, & Stilistika

4 Agustus 2023   15:07 Diperbarui: 6 Agustus 2023   10:54 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RINGKASAN BUKU

Buku ini mulai ditulis pada saat kembali mengemukanya beberapa kasus rabun sastra Chairil Anwar di media sosial bersamaan dengan peringatan 100 tahun kelahiran Chairil Anwar. Rabun sastra adalah istilah yang dicetuskan oleh penyair Indonesia Taufik Ismail dalam Kongres Bahasa Indonesia VII pada tahun 1998. 

Menurut penuturan Puji Santosa (2000, pp. 50-51), istilah tersebut lahir dari keprihatinan Taufik Ismail atas masih rendahnya pengetahuan atas beberapa karya sastra Indonesia dan sastrawan yang merupakan bagian dari kanon sastra Indonesia.

Apa yang dibicarakan oleh Taufik Ismail sekian tahun yang lalu ternyata masih ada pada masa sekarang sebagaimana dilaporkan oleh Haryanto dkk. (2022). Mereka mengamati bahwa pembelajaran sastra di sekolah pada masa sekarang begitu memprihatinkan. Tingkat literasi sastra siswa sekolah masih rendah. 

Siswa di sekolah hanya mendengarkan ceramah dari guru yang beberapa diantaranya tidak memiliki kompetensi yang memadai di dalam pengetahuan dan apresiasi sastra. Temuan rabun sastra Haryanto dkk. ini ternyata pada kasus Chairil Anwar juga terjadi di luar bangku sekolah menengah.

Contoh dari adanya rabun sastra Chairil Anwar misalnya ditandai dengan satu cerita yang berkaitan dengan majalah Nisan atau Puisi "Nisan". Sebagai contoh, Rohmadi (2017, p. 3) tampak melakukan kekhilafan ketika menyatakan bahwa "Nama Chairil Anwar terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan pada tahun 1942". 

Hutaruk (2008, p. 36), di dalam tesis Program Pascasarjana Universitas Indonesia, dan Agustinus (2016, p. 89), di dalam skripsi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di sebuah universitas di Kalimantan, juga menyatakan hal yang sama. 

Di beberapa media massa besar daring seperti Kompas (Iih. Yudono, 2013), Detik (Iih. Rosa, 2021), dan Tirto (Iih. Ulfa, 2021) juga terdapat informasi yang tidak jauh berbeda. Selanjutnya ada Rahmadani dkk. (2021, p. 43) di sebuah artikel yang terbit di satu jurnal ilmiah juga menyatakan hal yang sama.

Perihal majalah Nisan atau puisi "Nisan" yang dibicarakan oleh penulis-penulis tersebut adalah sekumpulan kekeliruan atas sejarah kepenyiaran Chairil Anwar. Satu, tidak ada majalah dengan nama Nisan pada saat Chairil Anwar masih hidup, bahkan mungkin di sepanjang sejarah permajalahan di Indonesia. 

Dua, "Nisan" adalah judul puisi Chairil Anwar yang ada di dalam ketikan draf Kerikil Tajam yang memiliki Tarikh Oktober 1942 dan kemudian baru terbit pada tahun 1949. Tiga, meski puisi "Nisan" bersama puisi lainnya sudah beredar secara privat-terbatas di antara sastrawan dalam bentuk ketikkan draf Kerikil Tajam pada masa pedudukan Jepang (Jassin, 1953, p. 76, 1956, p. 11; Jassin & Chudori, 1993, p. 145), tetapi puisi "Nisan" tidak pernah terbit secara resmi dan beredar luas sebelum tahun 1949. Empat, Chairil mulai dikenal di antara sastrawan berkat puisi "Aku" yang ia deklamasikan pada tahun 1943 di Kantor Pusat Kebudayaan didahului dengan sindiran terhadap sastrawan Pujangga Baru (Bdk. Hadimadja, 1952, p. 34; Jassin, 1956, p. 41; Sukatmadja, 2010, pp. 92-93).

Mulai terkenalnya Chairil Anwar sebenarnya juga terjadi tanpa resistensi. Ada beberapa kritikus sastra yang awalnya memang menganggap Chairil Anwar sebagai seorang yang bombastis dan berpikiran gila (Jassin, 1967, p. 42). Adapula yang seperti Adi Sidharta, atau kadang dikenal dengan nama pena Klara Akustria, seorang sastrawan sekaligus kritikus sastra yang menyebut Chairil Anwar sebagai sastra yang mempersoalkan kehidupannya sendiri (Individualistis) dan kurang memiliki komitmen untuk memikirkan masalah manusia banyak tidak lama berselang sesudah kematian Chairil Anwar. Inti pembicaraan Adi Sidharta adalah tidak layaknya Chairil untuk dijadikan panutan.    

1. Hayat Chairil Anwar

Chairil Anwar lahir pada bulan juli 1922 di Medan dari pasangan Tulus bin Manan dan Siti Saleha binti Datuk Paduko Tuan. Berkenaan dengan tanggal kelahiran Chairil, ada perbedaan pendapat tentangnya. Arjip Rosidi (1991) dan Jakob Sumardjo (1992) menyebut tanggal 22. Liaw Yock Fang (1974) menyebut tanggal 25. Lainnya seperti Boen Sri Oemarjati (1972) dan Andries Teeuw (2013) menyebut tanggal 26. Dari perbedaan yang ada masalah tanggal, tanggal 26 Juli secara resmi diterima sebagai tanggal kelahiran Chairil. Ini merupakan tanggal yang disebut oleh ibu Chairil Anwar di dalam satu wawancara yang berlangsung pada bulan Januari 1969 dengan H. B. Jassin.

Chairil adalah anak kedua di dalam rumah tangga Tulus bin Manan dan Siti Saleha. Chairil mempunyai kakak perempuan yang bernama Siti Chairani. Menurut versi yang didapat dari penuturan cucu Siti Chairani, neneknya lahir dari pasangan Tulus bin Manan dan Siti Saleha pada tahun 1919 sedangkan adik neneknya, Chairil Anwar, lahir tiga tahun kemudian. Sementara itu, menurut penelusuran Hasan Aspahani (2016), Siti Chairani adalah saudari Chairil satu ibu beda bapak dan berselisih enam tahun. Kedua orang tua Chairil berasal dari Payakumbuh. Ibu Chairil adalah seorang bangsawan Kota Gadang, Sumatera Barat.

Bapak Chairil adalah seorang pamong praja yang pandai dan terpandang. Ia menjabat sebagai controleur pada zaman colonial Belanda. Selanjutnya ia menjadi bupati di Rengat, Indagiri, sejak pertengah 1948 pada masa kemerdekaan sebelum akhirnya meninggal pada tanggal 5 Januari 1949 karena ditembak Belanda saat hendak berangkat menuju kantornya. Chairil besar dalam keluarga Minangkabau yang konservatif serta dalam didikan Islam yang kuat. 

Chairil kecil hidup sangat dimanja oleh kedua orang tuanya dan kemudian ditambah pemanjaan kakaknya yang bekerja sebagai guru di Medan pada saat Chairil bersekolah. Masalah pendidikan, Chairil dikenal menonjol dan antusias di dalam diskusi sastra semasa sekolah. Namun prestasi akademik Chairil hanya biasa saja. Chairil sekolah di Neutrale HIS (Hollandsch Inlandsche School) atau SD di Medan dan kemudian melanjutkan ke MULO ( Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau kini setingkat SMP di Medan. Belum selesai sekolah MULO-nya, ia pindah ke Jakarta.

Kehidupan masa kanak Chairil di luar rumah juga mendapatkan perlakuan yang istimewa. Posisi bapaknya sebagai orang terpandang dan kaya serta kakek neneknya yang disegani masyarakat, membuat Chairil mendapatkan kedudukan istimewa di lingkungan luar rumah dan sekolah. Namun masa kecil Chairil diwarnai dengan suasana rumah yang penuh dengan pertengkaran antara kedua orangtuanya yang dikenal sama-sama keras hati, galak, dan tidak mau mengalah. 

Chairil pindah ke Jakarta pada tahun 1941 pada saat akan naik kelas dua (Jassin, 1976a, p. 50). Di dalam versi lain, disebutkan bahwa Chairil pindah ke Jakarta pada tahun 1942, sebelum Jepang mendarat. Kepindahan Chairil ke Jakarta terjadi sesudah bapaknya kawin untuk kedua kalinya dengan seorang janda perempuan bernama Ramadhana, putri seorang birokrat terpandang dari Payakumbuh.

Memang awalnya Chairil pindah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah MULO-nya, tetapi Chairil hanya sebentar saja di bangku kelas dua MULO di Jakarta. Ia putus sekolah. Menurut versi Burton Raffel (1970), Arief Budiman (1976), dan Pamusuk Eneste (2022), Chairil berhenti sekolah karena keadaan kacau dengan masuknya Jepang sehingga membuat kegiatan sekolah menjadi tidak menentu ditambah keluarganya mengalami kesulitan ekonomi. 

Selain menguasai bahasa Jerman yang mungkin dipelajarinya sewaktu ia duduk di bangku sekolah MULO dan Inggris. Kemampuan Chairil berbahasa asing sampai-sampai membuat orang sekelas Sutan Syahrir kagum. Chairil tentu menambah pengetahuan bahasa dan sastranya melalui buku-buku yang ia pinjam terutama dari paman dari jalur ibunya, sutan Sjahrir, dari buku-buku yang ia curi dari toko buku atau perpustakaan milik bangsa asing, atau buku-buku yang dibelinya dengan uang kiriman bapaknya dari Medan di toko penjual buku bekas di pasar senen. kebiasaan membaca buku Chairil ada kemungkinan merupakan kebiasaan yang diturunkan dari bapaknya Tulus yang dikenal mempunyai koleksi banyak buku. Kebiasaan ini membuat Chairil mempunyai pengetahuan yang luas bila dibandingkan dengan teman-temannya.

Chairil menikah pada tanggal 6 September 1946 dengan seseorang bernama Hapsah. Hapsah mengenal Chairil selama sekitar tiga bulan sebelum keduanya melangsungkan pernikahan. Pada tanggal 4 oktober 1947, putri Chairil lahir dan diberi nama Evawani Alissa. Kehidupan perkawinan Chairil dengan Hapsah rumit sebab Chairil memiliki prinsip tidak mau terikat dalam hidupnya. Meski sudah menikah, Chairil masih suka keluyuran tidak pulang dan tanpa kabar selama sekian hari. Chairil juga tidak mau serius mencari nafkah meski sudah menyandang status sebagai kepala rumah tangga. Chairil mengaku tidak mau bekerja pada pekerjaan tetap sebab akan membuatnya melakoni kehidupan yang terikat, statis, seperti mesin.

Chairil sadar bahwa salah satu sumber utama dari konflik rumah tangganya adalah tiadanya pekerjaan tetap. Beberapa kali Chairil meminta rujuk, tetapi Hapsah hanya meminta satu syarat saja yang tidak pernah diwujudkan Chairil, yakni adanya pekerjaan tetap. Kendati tahu apa yang menjadi sumber masalahnya, Chairil tetap saja tidak mau memiliki pekerjaan tetap. Di sisi lain, Chairil selalu percaya bahwa suatu saat nanti bakal mendapatkan banyak uang dari penerbitan karya-karyanya, bukan dari pekerjaan tetap, untuk mencukupi kebutuhan hidup dan bersenang-senang dengan keluarganya. Keinginan Chairil ini tak pernah kesampaian hingga akhir hayatnya.

2. Pengaruh dan Kebaruan Chairil Anwar

Chairil Anwar adalah nama besar di dalam sejarah puisi Indonesia. Telah banyak penelaah sastra Indonesia yang mengkaji Chairil Anwar dan karya-karyanya. Pengaruhnya di dunia sastra khususnya perpuisian Indonesia terus berkembang hingga sekarang. Meskipun Chairil menulis prosa dan menerjemahkan beberapa karya sastra Barat, tetapi ia lebih dikenal sebagai seorang penyair, bukan prosais atau penerjemah sastra. 

Ajip Rosidi (1973b, p. 34) menyebut Chairil Anwar serupa tugu di dalam sejarah sastra Indonesia. Pamusuk Eneste (2022, p. 73) menghabiskan Chairil Anwar sebagai "simbol kesustraan Indonesia modern" sedangkan Linus Suryadi Agustinus (1989b, pp. 32-34) menyebut Chairil Anwar sebagai simbol nasional sebab peringatan kematian dan karya-karyanya telah menjadi bagian dari ritual sastra nasional tahunan. Burton Raffel (1970) menggelari Chairil Anwar sebagai figure terhebat di dalam sastra Indonesia. Tidaklah mengherankan jika hari kelahirannya, 26 Juli, diperingati sebagai Hari Puisi Indonesia dan kematiannya, 28 April, pernah dirayakan sebagai hari sastra.

Pengaruh Chairil Anwar di dalam dunia perpuisinan Indonesia dan gaya bahasa khasnya di dalam melahirkan puisinya telah banyak disinggung oleh kritikus dan akademisi sastra. Chairil Anwar disebut Jassin (1967b, p. 42) sebagai seorang penyair yang telah memberikan "udara baru yang segar bagi sastra Indonesia" di dalam melepaskan tradisi perpuisinan dari pantun dan syair. 

Sutan Takdir Alisjahbana (1977b, pp. 133-134) mengatakan bahwa puisi-puisi Chairil Anwar memiliki ciri pekat isi dan bahasanya. Puisi-puisi Chairil Anwar mencerminkan kenekatan sikap, pandangan, dan anarki kebebasan. Kesusastraan Indonesia yang pelan-pelan mulai pada tahun 1920-an mulai bangkit dan melepaskan diri dari belenggu dari ikatan adat, kebiasaan, nilai-nilai tradisional kemudian hadir dalam semangat vitalisme yang mengajak pada usaha menikmati hidup senyala-nyalanya seperti terlihat di dalam puisi-puisi karya Chairil Anwar.

 Apabila masalah pembaruan di dalam bahasa dan sastra Indonesia menjadi fokus bahasan, Pujangga Baru dalam kadar tertentu harus diakui turut memberikan kebaruan di dalam sastra Indonesia. Namun apa yang Pujangga Baru lakukan tidak seradikal apa yang diperbuat oleh angkatan 45 terutama melalui diri Chairil Anwar. Di dalam karya Chairil Anwar terdapat semangat vitalisme dan individualisme sebagai satu semangat untuk memberontak terhadap tata sosial lama, adanya pergaulan eksistensialis dengan maut, dan meluapnya rasa keakuan yang tidak terdapati di dalam karya-karya Pujangga Baru.

Kebaruan lainnya yang dibawa oleh Chairil Anwar ke dalam dunia sastra Indonesia adalah dalam hal estetika sastra. Meskipun Toda (1984a, p. 79) mengatakan bahwa wawasan estetik perpuisian satu angkatan sastrawan yang menonjol di sekitar tahun 1940-an tidak lain merupakan manifestasi dari apa yang berulang-ulang dibicarakan oleh Sutan Takdir Alisjahbana sejak tahun 1930-an tentang "Puisi Baru" yang bertautan dengan kesadaran dan kebudayaan baru masyarakat, tetapi ada perbedaan yang kontras antara "puisi baru" yang dimaksudkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana dengan Chairil Anwar.

3. Tentang Angkatan 45

 Chairil adalah pelopor Angkatan 45 seperti stempel yang diberikan oleh Jassin melalui buku berjudul Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956). Selain Chairil, di dalam angkatan 45 ada nama-nama sastrawan lainnya seperti Asrul Sani, Rivai Apin, Abdullah Idrus, Usmar Ismail, Utuy Tatang Sontani, Bakri Siregar, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananda Toer, dan Muhammad Balfas.

Bakrie Siregar (1964) menyebut periode 1942-1945 dan 1945-1950 sebagai dua periode di dalam "sastera Indonesia modern dalam perkembanganja dan fungsinja dengan tjiri-tjiri kusus masanja" yang terpisah yakni "semasa pemerintahan Djepang" dan "masa repolusi bergolak sampai masa surutnja repolusi". Pendapat ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Zuber Usman (1961) yang menyebutkan bahwa kesusastraan zaman Jepang 1942-1945 berbeda dengan zaman Angkatan "45" yang berlangsung 1945-seterusnya. Hanya saja ia juga menyatakan bahwa "zaman Djepang biasa pula disatukan dengan zaman Angkatan 45".

 Terkait kemunculan Angkatan 45, Jassin (1967b, pp. 9-10) menekankan adanya perkembangan satu angkatan "Jang merasa lain dari Pudjangga Baru" yang sebenarnya dimulai sebelum tahun 1945. Para sastrawan yang kemudian disebut sebagai sastrawan Angkatan 45 ini terlihat jelas menggunakan bahasa dan pandangan hidup yang berbeda bila dibandingkan dengan angkatan Pujangga Baru.

4. Tema Puisi Chairil Anwar

Subagio Sastrowardojo (1991) menyatakan bahwa Chairil Anwar tampak bertarung untuk membebaskan dirinya dari tanah dan lingkungan tempat ia hidup di dalam puisi-puisinya. Puisi-puisinya menujukkan tema alienasi atas dunia sekelilingnya. Ia menghadirkan dirinya ke dalam puisi sebagai seseorang yang memiliki jiwa dan angan seorang Eropa. Ia di Indonesia dengan segala aturan dan nilai yang ada sedangkan kembara pikiran dan bayangannya adalah Eropa yang jauh di sana.

Tema lain yang kental dalam puisi-puisi Chairil Anwar adalah kematian. Di dalam membicarakan karya puisi Chairil Anwar tentang maut. Hartojo Andangdjaja (1991) berpendapat bahwa kematian atau tema maut adalah sesuatu yang "berada di luar konteks yang subyektif-personal" sebagaimana disimak di dalam puisi-puisinya yang berjudul Nisan, 1943, dan Penghidupan. Lepas dari puisi-puisinya yang menunjukkan "Kegairahan yang begitu berkobar-kobar untuk mereguk hidup ini sepuas-puasnya" tetapi "sebenarnya ia menyimpan hasrat yang lebih jauh lagi daripada hanya menikmati hidup sepuas-puasnya".

Sutan Takdir Alisjahbana (1977) membahas puisi-puisi Chairil Anwar dalam kelompok tema seperti semangat individualisme dan vitalisme yang tidak dapat terwujud di dalam situasi dan kondisi hdupnya sehingga akhirnya Chairil malah menemui kesepian, kegelisahan, kekalahan, keputusasaan, dan keterasingan terhadap kenyataan yang ada seperti di dalam "Hampa", "Senja di Pelabuhan Kecil", dan "Sia-sia". Tema lainnya adalah kebebasan khas vitalisme dan individualisme yang mewujud di dalam hubungan percintaan dan penyerahan diri terhadap nafsu seperti terdapati di dalam "Taman" dan "Lagu Biasa".

5. Tiga Puisi Chairil Anwar Pilihan       

Puisi yang asosiatif dengan nama Chairil Anwar adalah "Aku", bahkan Chairil Anwar kemudian mendapatkan sebutan khas sebagai "Si Binatang Jalang" berkat puisi "Aku". Beberapa pengkaji hayat dan karya Chairil Anwar pun memilih menggunakan judul "Aku". Puisi ini pula yang disebut Sutan Takdir Alisjahbana (1977) sebagai puisi yang "mengejutkan, mengagumkan, dan akhirnya mungkin juga menggali dasar keinginan jiwa (masyarakat tradisional) yang telah selama itu tertimbun dan terhenyak dalam tumpukan adat dan tradisi turun temurun yang disucikan".

Berikutnya adalah puisi "Diponegoro". Puisi ini adalah salah satu puisi karya Chairil Anwar yang terkenal dan kerap dijadikan bahan perlombaan deklamasi puisi di Indonesia. Puisi "Diponegoro" disebut oleh Nafron Hasjim (1983), peneliti bidang bahasa dan sastra, sebagai salah satu puisi yang layak dipergunakan di dalam pembinaan apresiasi sastra Indonesia di sekolah. Puisi ini termasuk puisi yang paling banyak diterbitkan ulang dibeberapa majalah sekaligus salah satu puisi yang kerap masuk ke dalam buku pelajaran sekolah di Indonesia. Chairil Anwar besar kemungkinan mendapatkan ide untuk menulis puisi tentang Diponegoro berkat pengaruh dari propaganda Jepang akan kepahlawanan Diponegoro yang juga terlihat atas diri sastrawan lainnya saat itu.

Selanjutnya adalah puisi "Senja di Pelabuhan Kecil". Beberapa kritikus sastra menyebutkan bahwa puisi "Senja di Pelabuhan Kecil" adalah salah satu puisi Chairil yang bagus dan berhasil. Puisi ini ditulis oleh Chairil dan ditujukan kepada Sri Ayati, seorang perempuan cantik yang saat itu sudah mempunyai tunangan seorang calon dokter militer. Puisi ini menjadi bukti dari perasaan suka Chairil yang tidak pernah sampai terucapkan langsung kepada Sri Ayati.   

KELEBIHAN DAN KELEMAHAN BUKU "CHAIRIL ANWAR: RABUN SASTRA, HAYAT, DAN STILISTIKA"

1. Kelebihan Buku

 Buku Chairil Anwar: Rabun Sastra, Hayat, dan Stilistika merupakan buku nonfiksi yang berisikan materi terkait kesusastraan pada masa Chairil Anwar. Buku ini ditulis oleh dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta yakni Dipa Nugraha Suyitno, P.hD. dan dirilis pada tahun 2023 serta diterbitkan oleh MUP (Muhammadiyah University Press). Berikut ini adalah kelebihan dan kelemahan dari buku Chairil Anwar: Rabun Sastra, Hayat, dan Stilistika.

  • Isi dari buku ini sangat bagus karena materi yang dijelaskan sangat rinci dan penulisan kalimat sangat rapi. Salah satu yang dibahas dalam buku ini adalah puisi terbaik yang ditulis oleh Chairil Anwar yang memiliki nilai estetika tersendiri.
  • Terdapat biografi dari sastrawan terkenal Indonesia, yaitu Chairil Anwar. Biografi yang dituliskan dalam buku ini sangat lengkap karena membahas kehidupan awal Chairil Anwar hingga beliau meninggal dunia.
  • Terdapat catatan pendukung yang disematkan oleh penulis buku sehingga menambah daya tarik bagi siapapun yang membaca buku tersebut.
  • Pada kajian tentang tiga puisi pilihan milik Chairil Anwar juga dijelaskan terkait makna setiap bait puisinya. Hal itu juga bisa menambah wawasan bagi para pembaca.

2. Kekurangan Buku

  • Buku ini lebih berfokus pada silsilah kehidupan dan kegigihan Chairil Anwar. Teori-teori yang membangun puisi kurang banyak sehingga memicu keterbatasan teori.
  • Sebagaian bab dan penjelasan-penjelasan yang dipaparkan buku tersebut lebih mengarah kepada kritik terkait karya sastra. Selain itu, isi buku lebih banyak membahas terkait perbandingan antara satu sastrawan dengan sastrawan yang lain.

KESIMPULAN

Buku ini mulai ditulis pada saat kembali mengemukanya beberapa kasus rabun sastra Chairil Anwar di media sosial bersamaan dengan peringatan 100 tahun kelahiran Chairil Anwar. Rabun sastra adalah istilah yang dicetuskan oleh penyair Indonesia Taufik Ismail dalam Kongres Bahasa Indonesia VII pada tahun 1998. Istilah tersebut lahir dari keprihatinan Taufik Ismail atas masih rendahnya pengetahuan atas beberapa karya sastra Indonesia dan sastrawan yang merupakan bagian dari kanon sastra Indonesia. Mulai terkenalnya Chairil Anwar sebenarnya juga terjadi tanpa resistensi. Ada beberapa kritikus sastra yang awalnya memang menganggap Chairil Anwar sebagai seorang yang bombastis dan berpikiran gila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun