RINGKASAN BUKU
Buku ini mulai ditulis pada saat kembali mengemukanya beberapa kasus rabun sastra Chairil Anwar di media sosial bersamaan dengan peringatan 100 tahun kelahiran Chairil Anwar. Rabun sastra adalah istilah yang dicetuskan oleh penyair Indonesia Taufik Ismail dalam Kongres Bahasa Indonesia VII pada tahun 1998.Â
Menurut penuturan Puji Santosa (2000, pp. 50-51), istilah tersebut lahir dari keprihatinan Taufik Ismail atas masih rendahnya pengetahuan atas beberapa karya sastra Indonesia dan sastrawan yang merupakan bagian dari kanon sastra Indonesia.
Apa yang dibicarakan oleh Taufik Ismail sekian tahun yang lalu ternyata masih ada pada masa sekarang sebagaimana dilaporkan oleh Haryanto dkk. (2022). Mereka mengamati bahwa pembelajaran sastra di sekolah pada masa sekarang begitu memprihatinkan. Tingkat literasi sastra siswa sekolah masih rendah.Â
Siswa di sekolah hanya mendengarkan ceramah dari guru yang beberapa diantaranya tidak memiliki kompetensi yang memadai di dalam pengetahuan dan apresiasi sastra. Temuan rabun sastra Haryanto dkk. ini ternyata pada kasus Chairil Anwar juga terjadi di luar bangku sekolah menengah.
Contoh dari adanya rabun sastra Chairil Anwar misalnya ditandai dengan satu cerita yang berkaitan dengan majalah Nisan atau Puisi "Nisan". Sebagai contoh, Rohmadi (2017, p. 3) tampak melakukan kekhilafan ketika menyatakan bahwa "Nama Chairil Anwar terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan pada tahun 1942".Â
Hutaruk (2008, p. 36), di dalam tesis Program Pascasarjana Universitas Indonesia, dan Agustinus (2016, p. 89), di dalam skripsi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di sebuah universitas di Kalimantan, juga menyatakan hal yang sama.Â
Di beberapa media massa besar daring seperti Kompas (Iih. Yudono, 2013), Detik (Iih. Rosa, 2021), dan Tirto (Iih. Ulfa, 2021) juga terdapat informasi yang tidak jauh berbeda. Selanjutnya ada Rahmadani dkk. (2021, p. 43) di sebuah artikel yang terbit di satu jurnal ilmiah juga menyatakan hal yang sama.
Perihal majalah Nisan atau puisi "Nisan" yang dibicarakan oleh penulis-penulis tersebut adalah sekumpulan kekeliruan atas sejarah kepenyiaran Chairil Anwar. Satu, tidak ada majalah dengan nama Nisan pada saat Chairil Anwar masih hidup, bahkan mungkin di sepanjang sejarah permajalahan di Indonesia.Â
Dua, "Nisan" adalah judul puisi Chairil Anwar yang ada di dalam ketikan draf Kerikil Tajam yang memiliki Tarikh Oktober 1942 dan kemudian baru terbit pada tahun 1949. Tiga, meski puisi "Nisan" bersama puisi lainnya sudah beredar secara privat-terbatas di antara sastrawan dalam bentuk ketikkan draf Kerikil Tajam pada masa pedudukan Jepang (Jassin, 1953, p. 76, 1956, p. 11; Jassin & Chudori, 1993, p. 145), tetapi puisi "Nisan" tidak pernah terbit secara resmi dan beredar luas sebelum tahun 1949. Empat, Chairil mulai dikenal di antara sastrawan berkat puisi "Aku" yang ia deklamasikan pada tahun 1943 di Kantor Pusat Kebudayaan didahului dengan sindiran terhadap sastrawan Pujangga Baru (Bdk. Hadimadja, 1952, p. 34; Jassin, 1956, p. 41; Sukatmadja, 2010, pp. 92-93).