Mohon tunggu...
Rilo Pambudi
Rilo Pambudi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa akhir di salah satu perguruan tinggi yang ada di kota Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Book

Cuplikan dan Komentar atas Buku Chairil Anwar Rabun Sastra, Hayat, & Stilistika

4 Agustus 2023   15:07 Diperbarui: 6 Agustus 2023   10:54 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Chairil sadar bahwa salah satu sumber utama dari konflik rumah tangganya adalah tiadanya pekerjaan tetap. Beberapa kali Chairil meminta rujuk, tetapi Hapsah hanya meminta satu syarat saja yang tidak pernah diwujudkan Chairil, yakni adanya pekerjaan tetap. Kendati tahu apa yang menjadi sumber masalahnya, Chairil tetap saja tidak mau memiliki pekerjaan tetap. Di sisi lain, Chairil selalu percaya bahwa suatu saat nanti bakal mendapatkan banyak uang dari penerbitan karya-karyanya, bukan dari pekerjaan tetap, untuk mencukupi kebutuhan hidup dan bersenang-senang dengan keluarganya. Keinginan Chairil ini tak pernah kesampaian hingga akhir hayatnya.

2. Pengaruh dan Kebaruan Chairil Anwar

Chairil Anwar adalah nama besar di dalam sejarah puisi Indonesia. Telah banyak penelaah sastra Indonesia yang mengkaji Chairil Anwar dan karya-karyanya. Pengaruhnya di dunia sastra khususnya perpuisian Indonesia terus berkembang hingga sekarang. Meskipun Chairil menulis prosa dan menerjemahkan beberapa karya sastra Barat, tetapi ia lebih dikenal sebagai seorang penyair, bukan prosais atau penerjemah sastra. 

Ajip Rosidi (1973b, p. 34) menyebut Chairil Anwar serupa tugu di dalam sejarah sastra Indonesia. Pamusuk Eneste (2022, p. 73) menghabiskan Chairil Anwar sebagai "simbol kesustraan Indonesia modern" sedangkan Linus Suryadi Agustinus (1989b, pp. 32-34) menyebut Chairil Anwar sebagai simbol nasional sebab peringatan kematian dan karya-karyanya telah menjadi bagian dari ritual sastra nasional tahunan. Burton Raffel (1970) menggelari Chairil Anwar sebagai figure terhebat di dalam sastra Indonesia. Tidaklah mengherankan jika hari kelahirannya, 26 Juli, diperingati sebagai Hari Puisi Indonesia dan kematiannya, 28 April, pernah dirayakan sebagai hari sastra.

Pengaruh Chairil Anwar di dalam dunia perpuisinan Indonesia dan gaya bahasa khasnya di dalam melahirkan puisinya telah banyak disinggung oleh kritikus dan akademisi sastra. Chairil Anwar disebut Jassin (1967b, p. 42) sebagai seorang penyair yang telah memberikan "udara baru yang segar bagi sastra Indonesia" di dalam melepaskan tradisi perpuisinan dari pantun dan syair. 

Sutan Takdir Alisjahbana (1977b, pp. 133-134) mengatakan bahwa puisi-puisi Chairil Anwar memiliki ciri pekat isi dan bahasanya. Puisi-puisi Chairil Anwar mencerminkan kenekatan sikap, pandangan, dan anarki kebebasan. Kesusastraan Indonesia yang pelan-pelan mulai pada tahun 1920-an mulai bangkit dan melepaskan diri dari belenggu dari ikatan adat, kebiasaan, nilai-nilai tradisional kemudian hadir dalam semangat vitalisme yang mengajak pada usaha menikmati hidup senyala-nyalanya seperti terlihat di dalam puisi-puisi karya Chairil Anwar.

 Apabila masalah pembaruan di dalam bahasa dan sastra Indonesia menjadi fokus bahasan, Pujangga Baru dalam kadar tertentu harus diakui turut memberikan kebaruan di dalam sastra Indonesia. Namun apa yang Pujangga Baru lakukan tidak seradikal apa yang diperbuat oleh angkatan 45 terutama melalui diri Chairil Anwar. Di dalam karya Chairil Anwar terdapat semangat vitalisme dan individualisme sebagai satu semangat untuk memberontak terhadap tata sosial lama, adanya pergaulan eksistensialis dengan maut, dan meluapnya rasa keakuan yang tidak terdapati di dalam karya-karya Pujangga Baru.

Kebaruan lainnya yang dibawa oleh Chairil Anwar ke dalam dunia sastra Indonesia adalah dalam hal estetika sastra. Meskipun Toda (1984a, p. 79) mengatakan bahwa wawasan estetik perpuisian satu angkatan sastrawan yang menonjol di sekitar tahun 1940-an tidak lain merupakan manifestasi dari apa yang berulang-ulang dibicarakan oleh Sutan Takdir Alisjahbana sejak tahun 1930-an tentang "Puisi Baru" yang bertautan dengan kesadaran dan kebudayaan baru masyarakat, tetapi ada perbedaan yang kontras antara "puisi baru" yang dimaksudkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana dengan Chairil Anwar.

3. Tentang Angkatan 45

 Chairil adalah pelopor Angkatan 45 seperti stempel yang diberikan oleh Jassin melalui buku berjudul Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956). Selain Chairil, di dalam angkatan 45 ada nama-nama sastrawan lainnya seperti Asrul Sani, Rivai Apin, Abdullah Idrus, Usmar Ismail, Utuy Tatang Sontani, Bakri Siregar, Sitor Situmorang, Pramoedya Ananda Toer, dan Muhammad Balfas.

Bakrie Siregar (1964) menyebut periode 1942-1945 dan 1945-1950 sebagai dua periode di dalam "sastera Indonesia modern dalam perkembanganja dan fungsinja dengan tjiri-tjiri kusus masanja" yang terpisah yakni "semasa pemerintahan Djepang" dan "masa repolusi bergolak sampai masa surutnja repolusi". Pendapat ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Zuber Usman (1961) yang menyebutkan bahwa kesusastraan zaman Jepang 1942-1945 berbeda dengan zaman Angkatan "45" yang berlangsung 1945-seterusnya. Hanya saja ia juga menyatakan bahwa "zaman Djepang biasa pula disatukan dengan zaman Angkatan 45".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun