Terkait kemunculan Angkatan 45, Jassin (1967b, pp. 9-10) menekankan adanya perkembangan satu angkatan "Jang merasa lain dari Pudjangga Baru" yang sebenarnya dimulai sebelum tahun 1945. Para sastrawan yang kemudian disebut sebagai sastrawan Angkatan 45 ini terlihat jelas menggunakan bahasa dan pandangan hidup yang berbeda bila dibandingkan dengan angkatan Pujangga Baru.
4. Tema Puisi Chairil Anwar
Subagio Sastrowardojo (1991) menyatakan bahwa Chairil Anwar tampak bertarung untuk membebaskan dirinya dari tanah dan lingkungan tempat ia hidup di dalam puisi-puisinya. Puisi-puisinya menujukkan tema alienasi atas dunia sekelilingnya. Ia menghadirkan dirinya ke dalam puisi sebagai seseorang yang memiliki jiwa dan angan seorang Eropa. Ia di Indonesia dengan segala aturan dan nilai yang ada sedangkan kembara pikiran dan bayangannya adalah Eropa yang jauh di sana.
Tema lain yang kental dalam puisi-puisi Chairil Anwar adalah kematian. Di dalam membicarakan karya puisi Chairil Anwar tentang maut. Hartojo Andangdjaja (1991) berpendapat bahwa kematian atau tema maut adalah sesuatu yang "berada di luar konteks yang subyektif-personal" sebagaimana disimak di dalam puisi-puisinya yang berjudul Nisan, 1943, dan Penghidupan. Lepas dari puisi-puisinya yang menunjukkan "Kegairahan yang begitu berkobar-kobar untuk mereguk hidup ini sepuas-puasnya" tetapi "sebenarnya ia menyimpan hasrat yang lebih jauh lagi daripada hanya menikmati hidup sepuas-puasnya".
Sutan Takdir Alisjahbana (1977) membahas puisi-puisi Chairil Anwar dalam kelompok tema seperti semangat individualisme dan vitalisme yang tidak dapat terwujud di dalam situasi dan kondisi hdupnya sehingga akhirnya Chairil malah menemui kesepian, kegelisahan, kekalahan, keputusasaan, dan keterasingan terhadap kenyataan yang ada seperti di dalam "Hampa", "Senja di Pelabuhan Kecil", dan "Sia-sia". Tema lainnya adalah kebebasan khas vitalisme dan individualisme yang mewujud di dalam hubungan percintaan dan penyerahan diri terhadap nafsu seperti terdapati di dalam "Taman" dan "Lagu Biasa".
5. Tiga Puisi Chairil Anwar Pilihan    Â
Puisi yang asosiatif dengan nama Chairil Anwar adalah "Aku", bahkan Chairil Anwar kemudian mendapatkan sebutan khas sebagai "Si Binatang Jalang" berkat puisi "Aku". Beberapa pengkaji hayat dan karya Chairil Anwar pun memilih menggunakan judul "Aku". Puisi ini pula yang disebut Sutan Takdir Alisjahbana (1977) sebagai puisi yang "mengejutkan, mengagumkan, dan akhirnya mungkin juga menggali dasar keinginan jiwa (masyarakat tradisional) yang telah selama itu tertimbun dan terhenyak dalam tumpukan adat dan tradisi turun temurun yang disucikan".
Berikutnya adalah puisi "Diponegoro". Puisi ini adalah salah satu puisi karya Chairil Anwar yang terkenal dan kerap dijadikan bahan perlombaan deklamasi puisi di Indonesia. Puisi "Diponegoro" disebut oleh Nafron Hasjim (1983), peneliti bidang bahasa dan sastra, sebagai salah satu puisi yang layak dipergunakan di dalam pembinaan apresiasi sastra Indonesia di sekolah. Puisi ini termasuk puisi yang paling banyak diterbitkan ulang dibeberapa majalah sekaligus salah satu puisi yang kerap masuk ke dalam buku pelajaran sekolah di Indonesia. Chairil Anwar besar kemungkinan mendapatkan ide untuk menulis puisi tentang Diponegoro berkat pengaruh dari propaganda Jepang akan kepahlawanan Diponegoro yang juga terlihat atas diri sastrawan lainnya saat itu.
Selanjutnya adalah puisi "Senja di Pelabuhan Kecil". Beberapa kritikus sastra menyebutkan bahwa puisi "Senja di Pelabuhan Kecil" adalah salah satu puisi Chairil yang bagus dan berhasil. Puisi ini ditulis oleh Chairil dan ditujukan kepada Sri Ayati, seorang perempuan cantik yang saat itu sudah mempunyai tunangan seorang calon dokter militer. Puisi ini menjadi bukti dari perasaan suka Chairil yang tidak pernah sampai terucapkan langsung kepada Sri Ayati. Â Â
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN BUKU "CHAIRIL ANWAR: RABUN SASTRA, HAYAT, DAN STILISTIKA"
1. Kelebihan Buku