Mulai terkenalnya Chairil Anwar sebenarnya juga terjadi tanpa resistensi. Ada beberapa kritikus sastra yang awalnya memang menganggap Chairil Anwar sebagai seorang yang bombastis dan berpikiran gila (Jassin, 1967, p. 42). Adapula yang seperti Adi Sidharta, atau kadang dikenal dengan nama pena Klara Akustria, seorang sastrawan sekaligus kritikus sastra yang menyebut Chairil Anwar sebagai sastra yang mempersoalkan kehidupannya sendiri (Individualistis) dan kurang memiliki komitmen untuk memikirkan masalah manusia banyak tidak lama berselang sesudah kematian Chairil Anwar. Inti pembicaraan Adi Sidharta adalah tidak layaknya Chairil untuk dijadikan panutan. Â Â
1. Hayat Chairil Anwar
Chairil Anwar lahir pada bulan juli 1922 di Medan dari pasangan Tulus bin Manan dan Siti Saleha binti Datuk Paduko Tuan. Berkenaan dengan tanggal kelahiran Chairil, ada perbedaan pendapat tentangnya. Arjip Rosidi (1991) dan Jakob Sumardjo (1992) menyebut tanggal 22. Liaw Yock Fang (1974) menyebut tanggal 25. Lainnya seperti Boen Sri Oemarjati (1972) dan Andries Teeuw (2013) menyebut tanggal 26. Dari perbedaan yang ada masalah tanggal, tanggal 26 Juli secara resmi diterima sebagai tanggal kelahiran Chairil. Ini merupakan tanggal yang disebut oleh ibu Chairil Anwar di dalam satu wawancara yang berlangsung pada bulan Januari 1969 dengan H. B. Jassin.
Chairil adalah anak kedua di dalam rumah tangga Tulus bin Manan dan Siti Saleha. Chairil mempunyai kakak perempuan yang bernama Siti Chairani. Menurut versi yang didapat dari penuturan cucu Siti Chairani, neneknya lahir dari pasangan Tulus bin Manan dan Siti Saleha pada tahun 1919 sedangkan adik neneknya, Chairil Anwar, lahir tiga tahun kemudian. Sementara itu, menurut penelusuran Hasan Aspahani (2016), Siti Chairani adalah saudari Chairil satu ibu beda bapak dan berselisih enam tahun. Kedua orang tua Chairil berasal dari Payakumbuh. Ibu Chairil adalah seorang bangsawan Kota Gadang, Sumatera Barat.
Bapak Chairil adalah seorang pamong praja yang pandai dan terpandang. Ia menjabat sebagai controleur pada zaman colonial Belanda. Selanjutnya ia menjadi bupati di Rengat, Indagiri, sejak pertengah 1948 pada masa kemerdekaan sebelum akhirnya meninggal pada tanggal 5 Januari 1949 karena ditembak Belanda saat hendak berangkat menuju kantornya. Chairil besar dalam keluarga Minangkabau yang konservatif serta dalam didikan Islam yang kuat.Â
Chairil kecil hidup sangat dimanja oleh kedua orang tuanya dan kemudian ditambah pemanjaan kakaknya yang bekerja sebagai guru di Medan pada saat Chairil bersekolah. Masalah pendidikan, Chairil dikenal menonjol dan antusias di dalam diskusi sastra semasa sekolah. Namun prestasi akademik Chairil hanya biasa saja. Chairil sekolah di Neutrale HIS (Hollandsch Inlandsche School) atau SD di Medan dan kemudian melanjutkan ke MULO ( Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau kini setingkat SMP di Medan. Belum selesai sekolah MULO-nya, ia pindah ke Jakarta.
Kehidupan masa kanak Chairil di luar rumah juga mendapatkan perlakuan yang istimewa. Posisi bapaknya sebagai orang terpandang dan kaya serta kakek neneknya yang disegani masyarakat, membuat Chairil mendapatkan kedudukan istimewa di lingkungan luar rumah dan sekolah. Namun masa kecil Chairil diwarnai dengan suasana rumah yang penuh dengan pertengkaran antara kedua orangtuanya yang dikenal sama-sama keras hati, galak, dan tidak mau mengalah.Â
Chairil pindah ke Jakarta pada tahun 1941 pada saat akan naik kelas dua (Jassin, 1976a, p. 50). Di dalam versi lain, disebutkan bahwa Chairil pindah ke Jakarta pada tahun 1942, sebelum Jepang mendarat. Kepindahan Chairil ke Jakarta terjadi sesudah bapaknya kawin untuk kedua kalinya dengan seorang janda perempuan bernama Ramadhana, putri seorang birokrat terpandang dari Payakumbuh.
Memang awalnya Chairil pindah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah MULO-nya, tetapi Chairil hanya sebentar saja di bangku kelas dua MULO di Jakarta. Ia putus sekolah. Menurut versi Burton Raffel (1970), Arief Budiman (1976), dan Pamusuk Eneste (2022), Chairil berhenti sekolah karena keadaan kacau dengan masuknya Jepang sehingga membuat kegiatan sekolah menjadi tidak menentu ditambah keluarganya mengalami kesulitan ekonomi.Â
Selain menguasai bahasa Jerman yang mungkin dipelajarinya sewaktu ia duduk di bangku sekolah MULO dan Inggris. Kemampuan Chairil berbahasa asing sampai-sampai membuat orang sekelas Sutan Syahrir kagum. Chairil tentu menambah pengetahuan bahasa dan sastranya melalui buku-buku yang ia pinjam terutama dari paman dari jalur ibunya, sutan Sjahrir, dari buku-buku yang ia curi dari toko buku atau perpustakaan milik bangsa asing, atau buku-buku yang dibelinya dengan uang kiriman bapaknya dari Medan di toko penjual buku bekas di pasar senen. kebiasaan membaca buku Chairil ada kemungkinan merupakan kebiasaan yang diturunkan dari bapaknya Tulus yang dikenal mempunyai koleksi banyak buku. Kebiasaan ini membuat Chairil mempunyai pengetahuan yang luas bila dibandingkan dengan teman-temannya.
Chairil menikah pada tanggal 6 September 1946 dengan seseorang bernama Hapsah. Hapsah mengenal Chairil selama sekitar tiga bulan sebelum keduanya melangsungkan pernikahan. Pada tanggal 4 oktober 1947, putri Chairil lahir dan diberi nama Evawani Alissa. Kehidupan perkawinan Chairil dengan Hapsah rumit sebab Chairil memiliki prinsip tidak mau terikat dalam hidupnya. Meski sudah menikah, Chairil masih suka keluyuran tidak pulang dan tanpa kabar selama sekian hari. Chairil juga tidak mau serius mencari nafkah meski sudah menyandang status sebagai kepala rumah tangga. Chairil mengaku tidak mau bekerja pada pekerjaan tetap sebab akan membuatnya melakoni kehidupan yang terikat, statis, seperti mesin.