Andi Ciu hanya tersenyum lemah. "Kalian nggak ngerti. Ini bukan cuma cerita bualan. Ini kenyataan."Â
Sebelum bubar, kami terdiam sejenak, menunggu adzan subuh yang menggema bersahutan di langgar-langgar. Kami yang belum tidur semalam suntuk ini harus berangkat bekerja dengan kondisi kenyang oleh ocehan dan khayalan Andi Ciu yang absurd, dari tengah malam sampai fajar hitam. Menemani dan mendengarkannya, bergulat antara sedih dan muak, tetapi itulah Andi Ciu, kawan kami. Meskipun sesekali merasa lelah, kadang-kadang kami juga merasa bersalah, sadar betul bahwa dalam keterasingan yang ia rasakan, kami adalah segelintir orang yang masih berusaha peduli padanya. Dia tidak gila! (bersambung)
-Rawamangun, 6 November 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H