Saat itu, memang tak ada nelayan yang melaut karena cuaca sedang sangat buruk. Alam memberi kesempatan Andi untuk selamat dan membuatnya entah bagaimana caranya ia menepi ke pantai. Saat itu, hujan deras sedang mengguyur kampung kami. Andi dengan kondisi mengenaskan berjalan menuju TPI dan mengabarkan pada orang-orang bahwa perahunya pecah di tengah laut. Saking syoknya, ia tidak bisa menangis. Pamannya yang tewas tenggelam itu sempat hilang, hingga beberapa hari kemudian jasad nelayan paruh baya itu ditemukan menepi di semak hutan bakau.Â
Kejadian serupa tak hanya terjadi sekali menimpa Andi Ciu. Di usia remajanya, Andi kembali mencoba peruntungan untuk melaut bersama pamannya yang lain lagi. Saat itu, mereka mencoba nglemboro (merantau) menggunakan jukung atau perahu cukrik menyusuri Laut Jawa sampai ke perairan Lampung. Maklum, pesisir kami kala itu sedang paceklik. Namun  nahas, beberapa bulan berlalu, Andi justru pulang ke kampung bersama ambulance membawa jasad paman yang sudah berhari-hari meninggal dunia. Tidak ada yang tahu rinci bagaimana insiden itu kembali menimpa, Andi bilang pamannya meninggal karena tersambar geledek saat mereka habis bersandar di salah satu pelabuhan di Lampung Timur.Â
Andi Ciu memang lolos dari maut, nyowo balen kalau orang Jawa bilang. Tapi, rentetan kejadian miris itu menyisakan trauma begitu dalam, sangat dalam dan sulit dibayangkan oleh kami sekalipun kawan-kawan dekatnya. Bahkan, kejadian-kejadian ngenes itu juga yang akhirnya membuat Andi terpuruk seperti sekarang.
Andi mulai sering menyendiri dan berbicara sendiri saat adiknya, Bowok, akhirnya juga memilih untuk pergi dari rumah dan merantau ke Jakarta. Sama seperti ayah dan ibunya, Bowok bak hilang begitu saja tanpa pernah ada kabar selama bertahun-tahun. Tetangga yang pernah bertemu Bowok di Ibu Kota bilang, saudara kandung Adi satu-satunya itu ikut bekerja dengan juragan rosok di Bekasi. Bahkan, Bowok kabarnya telah menikah dan punya anak. Andi semakin sendiri, benar-benar sendiri dan kosong. Ia selalu mengunci rumahnya, dan jarang sekali menghidupkan lampu. Sesekali ia keluar rumah untuk cari makan ke tempat kerabat, teman, atau tetangga.
Kondisi tubuhnya semakin kurus, rambutnya dicukur plontos sendiri dengan pisau dapur dan sering kali perutnya diikat dengan tali. Barangkali untuk menahan lapar. Tapi dia bilang itu adalah beberapa syarat agar memperoleh kesaktian. Kami dan tetangga awalnya masih sering mengirimnya makanan, sampai satu ketika Andi akhirnya sering berjalan keliling kampung-kampung sambil meracau dan membuat sebagian orang takut. Seingat kami, pemuda yang sejatinya berperawakan tampan itu memang suka dengan film-film kung fu dan silat. Ia bahkan dulunya suka mengoleksi beberapa komik-komik persilatan dan terobsesi dengan jurus dewa mabuk. Sebab itulah kami memanggilnya Andi Ciu. Apa yang Andi bicarakan biasanya tak jauh-jauh dari kisah-kisah silat dan ilmu-ilmu kanuragan, bahkan ilmu hitam. Bahkan ia mengaku pernah bertemu dengan Nabi ke-26 dan berguru untuk bisa tembus ke dalam tanah.
Andi biasanya akan termenung dengan tatapan kosong saat orang lain membicarakan laut atau mengenai masa lalunya sebagai nelayan. Jika para nelayan sedang bicara soal kegiatan melaut, jelas terlihat bahwa pikiran Andi semakin tak karuan. Misalnya seperti subuh ini.
Sudah pukul setengah empat, aku siap-siap bergegas berangkat menuju pasar. Mat Kipli, Cak Kus, dan Yoyok yang kebetulan mencari nafkah sebagai nelayan simbatan (nelayan buruh) akan berangkat melaut selepas subuh. Setelah memberi makanan untuk Andi, Kami sempat pamitan untuk bubar dan memintanya pulang. Dengan iseng, Cak Kus berkata "Ayo, Di. Kita melaut lagi. Barangkali rejekiku hari ini bagus jika melaut denganmu."
Andi tertegun, mematung cukup lama dan kami terdiam dengan perasaan penasaran apa reaksi selanjutnya. Dan yang terjadi, ia bergumam penuh haru. Mengingat masa lalu kelamnya yang nyaris mati ditelan ombak lautan.
"Aku enggan melaut lagi, sudah puas rasanya pernah masuk ke perut ikan seperti Nabi," kata Andi kembali ngelantur.
"Di, sudah ya. Pulanglah, kau nggak perlu bikin-bikin cerita seperti ini untuk kami," kataku akhirnya, mencoba mengembalikan percakapan ke arah yang lebih lembut.
"Kami semua di sini untukmu. Kalau kau mau cerita nabi-nabi, nanti malam berikutnya akan kami dengarkan lagi sampai kau puas, Di. Pulanglah, tidur dan jangan lupa mandi," sahut Mat Kipli yang memang sudah kesal.