"Dari mana kau belajar itu?"
"Dari seorang guru, di desa Brang Kulon sana. Dia mewariskan ilmu, jurus kanuragan rahasia beserta rapalan mantranya kepadaku. Aku sudah lalaku puasa ngebleng lima belas hari, bertapa di kamar dan membaca rapalan rajahnya setiap malam. Tadi, barusan Mat Kipli telah mencoba mengetesnya," jawabnya terlihat sangat puas, sambil mengusap pipinya yang memar.
Aku, Yoyok, dan Cak Kus saling berpandangan, terperanga lalu kami melirik Mat Kipli yang tampak sangat muak sambil membuang pandangannya ke arah pekarangan yang gelap di seberang pos ronda.
"Kebal apanya, Di? Pipimu lebam biru begitu, jarimu hampir putus, mana kebalnya? Mana guru yang mengajarimu, biar aku tebas sekalian lehernya" Â Mat Kipli akhirnya bicara nyolot dengan nada mengejeknya yang congkak.
Andi tertawa kecil menyeringai, menatap kami satu per satu membuat kami tampak bodoh di matanya. "Kalian ini, tak paham apa-apa. Tak akan paham, hanya orang-orang terpilih yang bisa menguasai ilmu ini. Nyatanya bendo itu tak mampu memotong jariku."
"Tidak sampai memotong jarimu, tapi sudah membuat otot-ototmu putus, darahmu ngocor. Sakit jiwa kau, Di. Semakin tak tertolong, apa mau ku tebas sekali lagi? Mau ku iris telingamu?" sahut Mat Kipli dengan nada semakin nyolot membalas omongan kawan bermainnya sejak kecil itu.
Andi terdiam, masih menyeringai. Suasana kembali hening. Giliran aku menghela nafas panjang, dan akhirnya aku buang batang rokok yang belum habis kuhisap, aku mulai paham apa yang baru saja dan sedang terjadi.
Rasanya begitu pilu melihat teman kami, Andi, semakin hari semakin menyedihkan seperti ini. Di antara kami, Yoyok dan Mat Kipli sebetulnya yang punya ikatan batin paling kuat dengan Andi, mereka tak hanya sahabat karib, lebih seperti saudara. Setidaknya pernah satu waktu mereka sangat akrab sebelum akhirnya Andi semakin sakit dan memilih menjerumuskan diri dalam dunia yang ia ciptakan sendiri di kepalanya.
Yoyok dan Mat Kipli pula yang paling gusar dengan apa yang menimpa teman kami itu. Segala upaya telah dilakukannya untuk menyadarkan Andi. Bahkan tak segan dengan adegan kekerasan seperti yang terjadi malam ini. Mat Kipli juga yang barusan menghajarnya, menghantam kepala plontos Andi itu dengan botol anggur dan batu bata, meski tak mempan. Ia juga yang sanggup mengiris jari temannya sendiri dengan bendo karatan itu sampai berdarah-darah, tak lain agar karibnya itu sadar dan waras kembali. Hanya demi itu, hanya karena sesayang itu pada Andi, kawan kami.
"Kau tidak merasakan sakit sedikit pun, Di?" tanyaku terheran.
"Apa itu rasa sakit? Tuhan tidak pernah menciptakan rasa sakit. Kita saja manusia yang sangat lemah dan rapuh. Ini sama sekali tak ada apa-apanya. Kalian lihatlah nanti sampai aku  bisa menguasai ilmu terbang dan jurus menghilang," jawabnya meracau.