Moda Raya Terpadu (MRT) yang sudah diimpikan masyarakat perkotaan, akhirnya terwujud. Moda angkutan massal yang sarat teknologi itu menjadi obat penenang di tengah gemuruh Pemilu 2019. Meski tak dihindari angkutan massal yang sudah digagas sejak tahun 1985, tetap saja jadi komoditas politik dan jadi ketegangan baru antar pendukung.
Apapun itu MRT seperti energy perubahan. MRT nyata-nyata mengubah wajah kota Jakarta menjadi lebih modern. Wajah pengap jalan raya itu seakan mendadak sirna. Jalan raya yang besar dan membentang ibu kota seakan bisa lengang dan sepi dalam sekejap. Bahkan potret mengularnya kendaraan pribadi berharap jadi kenangan dimasa mendatang.
Gempita masyarakat menyambut MRT sebagai moda transportasi modern di Jakarta memang cukup beralasan. Masyarakat memang jenuh dan bosan dengan kondisi kemacetan lalu lintas. Terlebih penyebab kemacetan di Jakarta kian tidak diketahui penyebabnya.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2017 mencatat kemacetan lalu lintas di Jakarta memicu kerugian Rp. 67.5 triliyun. Dampaknya pun menjangkau kota-kota penyangga lainnya. Dalam data yang sama Bappenas mencatat kerugian yang ditanggung kota-kota penyangga mencapai Rp. 100 triliyun.
Belum cukup itu saja kemacetan jalan raya di Jakarta juga secara nyata menurunkan kualitas udara dan kerusakan alam lainnya. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2018 mencatat kualitas udara di Jakarta sangat buruk. Dalam satu tahun sebanyak 196 hari berada dalam kualitas udara tidak sehat. Sisanya hanya 34 hari udara bersih, 122 hari kualitas udara level sedang dan ada 13 hari tak berdata.
Kabar uji coba pengoperasian MRT pun disambut meriah. Mulai dari pelajar TK, guru, pedagang, mahasiswa, ibu rumah tangga sampai gubernur dan presiden pun ikut dalam masa uji coba. Hasilnya masyarakat memberikan pujian yang membumbung hingga ke langit.
Di tengah kehausan publik pada transportasi yang murah, nyaman, aman dan cepat bukanlah tanpa hambatan. Tantangan utama adalah kebiasaan atau budaya bertranportasi publik yang masih minim. Warga Jakarta sudah lama terdidik untuk menggunakan transportasi pribadi.
Dalam mendidik masyarakat tidaklah sederhana. Pendekatan regulasi dan sosialisasi menjadi penting. Melalui regulasi akan memberi jaminan kepada masyarakat terhadap kenyamanan, kemananan dan ketepatan pelayanan transprotasi publik. Sekaligus memberikan sanksi dan kompensasi jika terjadi kondisi yang tidak diharapkan.
Sedangkan pendekatan sosialisasi merupakan upaya yang sistimatis untuk menumbuhkan kesadaran dan ketertiban dalam bertransportasi publik. Baik terkait alur pelayanan, fasilitas yang dapat dinikmati sampai pada informasi terhadap berbagai kondisi buruk lainnya. Maka pengguna transportasi publik, yakni masyarakat menjadi mengerti benar tentang MRT ini.
Pejabat Publik Sebagai Contoh
Selain pendekatan regulasi dan sosialisasi, masih butuh pendekatan aktualisasi. Masyarakat perlu aktualisasi nyata dari para pimpinannya. Dalam hal ini keteladanan para tokoh dan pejabat negara menggunakan transportasi publik. Hadirnya pejabat publik sebagai pengguna trasportasi publik memberi pengaruh luar biasa. Bukan hanya menumbuhkan rasa percaya diri dikalangan masyarakat luas. Juga tumbuhkan kepercayaan publik pada transportasi massal itu.
Meski demikian pertanyaannya apakah pejabat publik bersedia menggunakan transportasi publik? Ini yang tidak mudah dijawab. Pejabat publik memiliki hak menggunakan mobil dinas. Hal itu diatur dalam Peraturan Kementerian Keuangan No.76/PMK.06/2015 tentang Standar Barang dan Standar Kebutuhan Barang milik Negara Berupa Angkutan Darat Bermotor Dinas Operasional Jabatan di Dalam Negeri.
Mobil dinas dalam Permenkeu 76/2015 disebut dengan istilah Alat Angkutan Darat Bermotor Dinas Operasional Jabatan Di Dalam Negeri (AADB Dinas Operasional Jabatan). Dalam aturannya cukup detil mengatur tentang jumlah kendaraan yang digunakan, jenis kendaraan yang didapat, kapasistas mesin kendaraan hingga biaya perawatannya. Dari peraturan itu memberikan makna tegas kenyamanan kendaraan yang dinikmati pejabat. Hal ini secara alami mendidik pejabat publik untuk senang mengendarai transportasi pribadi.
Padahal dalam mendidik masyarakat perlu teladan dari pejabatanya. Pejabat tinggi seperti Presiden, Menteri, Gubernur dan Pimpinan Lembaga Negara harus mau beralih menggunakan transportasi publik. Para pejabat itu harus mau mengurangi penggunaan kendaraan dinasnya dalam sejumlah kegiatannya. Beralih menggunakan transportasi publik. Apapun itu transportasinya. Setidaknya satu kali dalam sepekan, pejabat publik itu menggunakan tranportasi umum.
Menurut saya hadirnya pejabat publik dalam transportasi publik bukan sebatas edukasi saja. Melalui interaksi yang kontinu itu dapat mengetahui persis baik dan buruknya transportasi publik yang digunakna masyarakat. Sekaligus menyiapkan konsep yang lebih ideal lagi. Bahkan tidak menutup kemungkinan interaksi pejabat dan masyarakat bisa terjalin dalam ruang transportasi publik. Jika ini terbangun bisa menjadi sumbangan bagi lahirkan kebijakan publik yang lebih tepat. Karena mendengarkan langsung dari publik sebagai objek kebijakannya.
Tentu saja akhir dari upaya ini adalah habituasi (kebiasaan) bertransportasi publik tumbuh dalam diri kita semua. Bukan saja masyarakat sebagai pengguna, tetapi juga pejabatnya. Dengan demikian budaya bertransportasi publik secara perlahan pun tumbuh. Masyarakat secara alami pun mau beralih menggunakan transportasi publik.
Peneliti bidang Kebijakan Publik
Institute For Development Of Policy And Local Partnership (INDEPOL -- LP)
Pertama kali tayang di Semarak.co
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H