Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Mata/Magister Hukum Kesehatan

Eye is not everything. But, everything is nothing without eye

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mungkinkah Majelis Disiplin Profesi menjadi Screening System?

27 Mei 2024   12:46 Diperbarui: 27 Mei 2024   12:46 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

by dr.Riki Tsan,SpM (mhs STHM MHKes V)

Dalam mata kuliah Hukum Bisnis Kesehatan di STHM MHKes angkatan V pada akhir April 2024, dengan dosen pengampu Bapak Jerry Tambun SH,LLM, diperbincangkan topik yang amat menarik, yakni soal perlindungan hukum terhadap Tenaga Medis (dokter dan dokter gigi) dan Tenaga Kesehatan.

Salah satu isu yang membuat 'euforia' di kalangan para Tenaga Medis  ialah terkait dengan terbitnya Undang Undang Kesehatan (Omnibus Law)  nomor 17 tahun 2023 ( UU Kesehatan Omnibus ), yang disebut sebut  menghembuskan 'angin segar' dalam soal perlindungan hukum  buat Tenaga Medis maupun Tenaga Kesehatan di Indonesia

Disebutkan bahwa dengan terbitnya UU Kesehatan Omnibus ini, maka dokter/dokter gigi tidak lagi bisa 'digiring' begitu saja ke pengadilan perdata maupun pidana, jika tidak mendapatkan rekomendasi dari Majelis Disiplin Pofesi yang akan dibentuk oleh Menteri Kesehatan.

Sebagian besar mahasiswa -- khususnya Tenaga Medis -- berpandangan seperti itu dan tentu saja mendukung 'khabar baik' ini. Namun, saya berseberangan dengan pandangan tersebut.

Saya mencermati tidak ada perubahan yang signifikan terkait dengan isu ini.
Menurut saya, tidak ada hal hal 'baru' terkait isu perlindungan hukum.

Kita akan 'mengulik' soal ini pada bagian berikutnya.
Tetapi sebelum sampai kesana, kita akan mendengarkan dulu potongan narasi dari Dr.M.Arif Setiawan,SH,MH  yang disampaikan pada sebuah Seminar Internasional di Jakarta.

---

Di dalam Seminar Internasional Hukum Kesehatan/Medis yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) pada tanggal 21 April 2024, Dr. M. Arif Setiawan, SH,MH,  Ketua Jurusan di FH UII Yogyakarta pada bagian bagian akhir presentasinya mengatakan :

' Di dalam bidang pengelolaan Kesehatan ini, ternyata belum ditemukan itu karena status MKDI tidak bisa menjadi screening system sebelum perkara itu akan maju ke perdata atau masuk ke pidana. Dengan demikian hal itu merupakan satu langkah yang harus diperjuangkan terus menerus '

' Bahkan, sesudah keluarnya undang undang yang baru omnibuslaw kesehatan inipun, dari sisi pidana, saya belum melihat adanya perubahan yang signifikan hal hal yang bersifat khusus '

' Padahal ada bahayanya ketika persoalan kesehatan ini ditangani peradilan umum yang hakimnya semuanya tidak mempunyai latar belakang bidang pendidikan kesehatan atau kedokteran, itu resikonya besar sekali'

Ada 3 point penting yang dapat kita 'tangkap' dari pernyataan Dr. M. Arif ini yakni bahwa MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) tidak bisa menjadi screening system, tidak ada perubahan signifikan di dalam UU Kesehatan Omnibus dan adanya potensi bahaya manakala persoalan kesehatan ditangani di peradilan umum.

Dalam  tulisan ini kita akan fokus membicarakan point yang pertama saja yakni MKDKI tidak bisa menjadi screening system sebelum perkara itu akan maju ke perdata atau masuk ke pidana.

MAJELIS DISIPLIN PROFESI

Soal Majelis Disiplin Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan ( kita  sebut saja dengan Majelis Disiplin Profesi ) disebutkan pada pasal 304 UU Kesehatan Omnibus, sebagai berikut : 

Ayat 2 berbunyi : ' Dalam rangka penegakan disiplin profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri membentuk majelis yang melaksanakan tugas di bidang disiplin profesi.

Ayat 3 : 'Majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang dilakukan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.

Lalu, pasal 305 ayat 1 menyebutkan :

Pasien atau keluarganya yang kepentingannya dirugikan atas tindakan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dalam memberikan Pelayanan Kesehatan dapat mengadukan kepada majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304.

Garisbawahi frasa 'dapat mengadukan kepada majelis ' . Kata 'dapat' disini bisa diartikan berbagai makna.

Kita akan memaparkan makna frasa 'kata kata dapat mengadukan ke majelis' ini dengan mengacu kepada penjelasan terkait hal ini sebagaimana termaktub di dalam Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 25/PUU-XIV/2016 dalam Perkara Pengujian Undang Undang Tentang Tindak Pidana Korupsi, pada halam 17 , sebagai berikut :

Dari segi bahasa, frasa 'dapat mengadukan kepada majelis' dapat diartikan dengan berbagai makna seperti :

  • mengadukan kepada Majelis
  • mungkin atau memungkinkan mengadukan kepada Majelis
  • tidak harus mengadukan kepada Majelis

Ini berarti, pasien yang merasa dirugikan akibat tindakan medis yang dilakukan oleh dokter, baik yang menimbulkan cedera ataupun kematian, tidak diharuskan atau tidak diwajibkan mengadu ke Majelis Disiplin Profesi.

Pengaduan ke Majelis Disiplin Profesi hanyalah sebagai alternatif saja, bukan obligation ( kewajiban ), tetapi sekadar optional (pilihan ) saja.

Ketentuan di atas sebetulnya secara substansial tidak berbeda jauh dengan Undang Undang Praktik Kedokteran nomor 29 tahun 2004  yang sudah dicabut dengan terbitnya UU Kesehatan Omnibus .
Mari kita lihat.

Pasal 66 ayat 1 berbunyi :

' Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia '.

Lalu, pada ayat 3 disebutkan :

' Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan '.

Menurut saya, walaupun pengaduan kepada pihak yang berwenang atau aparat penegak hukum (APH)  tidak disebutkan lagi di dalam UU Kesehatan Omnibus, namun karena pasien tidak berkewajiban mengadu ke Majelis Disiplin Profesi, ia dapat saja melaporkan dokter atau rumah sakit kepada APH dengan dugaan tindak pidana ataupun menggugat kerugian perdata.


SCREENING SYSTEM

Sampai saat ini Majelis  Disiplin Profesi yang diamanahkan pasal 304 UU Kesehatan Omnibus tersebut masih belum dibentuk oleh Menteri Kesehatan karena aturan pelaksanaannya berupa Peraturan Pemerintah masih belum terbit.

Yang masih eksis sampai saat ini adalah Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang merupakan badan otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). KKI sendiri berada di bawah Presiden.

Pertanyaan kita ialah apakah MKDKI bisa mengambil peran sebagai Majelis Disiplin Profesi, padahal UU Praktik Kedokteran yang menjadi dasar yuridis pembentukan MKDKI telah dicabut ?.

Jika MKDKI bisa menggantikan Majelis Disiplin Profesi selama belum dibentuk oleh Pemerintah, namun -- menurut saya - peranannya tidaklah begitu signifikan.

Mengutip kembali apa yang disampaikan oleh Dr. M. Arif bahwa status MKDKI tidak bisa menjadi screening system sebelum perkara itu akan maju ke perdata atau masuk ke pidana

Soal screening system atau sistem penapisan ini, beliau mengatakan :

'Tentang peradilan, tidak ada ketentuan yang khusus. Pernah ada suatu perjuangan untuk adanya screening system peradilan pidana supaya ketentuan ketentuan yang menyangkut tentang pelaksanaan standar profesi dan disiplin kedokteran menjadi  filter pertama sebelum perkara itu bisa ditingkatkan menjadi perkara pidana'

'Sama seperti teman teman jurnalis, kalau ada produk jurnalistik yang dianggap melawan hukum, maka harus melalui Dewan Pers lebih dahulu. Kalau menurut Dewan Pers sudah sesuai dengan prinsip prinsip jurnalistik, maka dia tidak bisa lagi  berproses hukum. Kalau tidak sesuai, baru orang boleh mengambil langkah langkah apakah ada kerugian akibat dari pemberitaan yang melawan hukum itu'

' Di dalam bidang pengelolaan Kesehatan ini, ternyata belum ditemukan itu karena status MKDI tidak bisa menjadi screening system sebelum perkara itu akan maju ke perdata atau masuk ke pidana '.

Pertanyaan kita ialah apakah Majelis Disiplin Profesi yang akan dibentuk oleh Menteri Kesehatan itu akan ber'nasib' sama dengan MKDKI yang tidak bisa menjadi screening system (sistem penapisan) untuk menentukan sekaligus menjamin bahwa suatu perkara itu bisa ataupun tidak lagi bisa dimajukan ke perdata ataupun didorong ke arah pidana ?.

Kita akan menjawabnya pada tulisan berikutnya.

Salam sehat buat kita semua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun