Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Mata

Eye is not everything. But, everything is nothing without eye

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kelalaian Dokter, Apakah Rumah Sakit Harus Bertanggung Jawab?

16 Mei 2024   11:06 Diperbarui: 16 Mei 2024   12:04 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr. dr. Bahtiar H.,SpP(K) ,SH, MHKes (dokpri)

by dr.Riki Tsan,SpM, mhs STHM MHKes V

Sekitar tahun 2013 Pengadilan  Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang dengan agenda pembacaan gugatan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan.

Sang dokter dituduh telah  telah melakukan tindakan medik dengan lalai sehingga gagal menyelamatkan nyawa seorang ibu hamil yang mengalami perdarahan hebat pada saat melahirkan dan berakhir dengan kematiannya. Keluarga  pasien menggugat dokter secara immateril sebesar Rp.100 miliar dan materil Rp.6.4 miliar.

Kasus ini memang tidak diberitakan lagi dan tidak diketahui bagaimana penyelesaian akhirnya.

Marilah kita berandai andai.
Sekiranya gugatan tersebut dikabulkan oleh hakim, pertanyaan kita ialah siapa yang akan membayar ganti rugi materil dan immateril tersebut ?. 

Apakah hanya dokter sendiri yang menanggung ganti rugi ataukah ditanggung  bersama dengan rumah sakit tempat ia bekerja ?. Ataukah semua ganti rugi harus ditanggung oleh rumah sakit ?.

Bagaimana dengan pasal 193 Undang Undang Kesehatan nomor 17 tahun 2023 yang mengatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab terhadap semua kerugian  yang ditimbulkan akibat kelalaian yang dilakukan oleh Tenaga Medis maupun Tenaga Kesehatan di rumah sakit ?.

Simpan dulu pertanyaan pertanyaan ini !. Kita akan menjawabnya pada bagian yang lain.

--

Pada tanggal 21 April 2024, Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) Program Studi Magister Hukum Kesehatan Angkatan V menyelenggarakan sebuah Seminar Internasional yang bertajuk 'Kelalaian Medik di Rumah Sakit, Tanggung Jawab Siapa ?'.

Sesi 2 Seminar Internasional STHM (dokpri)
Sesi 2 Seminar Internasional STHM (dokpri)

Sesi kedua Seminar ini menampilkan tiga pakar hukum kesehatan yakni Dr. dr Bahtiar Husain, SpP,MH, Dr.dr.M.Nasser,Sp.DVE,D.Law dan Dr. Arief Suryono,SH,MH.

Yang menarik dari sesi kedua Seminar ini ialah adanya perbedaan  pandangan yang cukup tajam dan 'panas' diantara  para nara sumber  ini perihal tanggung jawab rumah sakit atas kerugian yang diakibatkan kelalaian yang dilakukan oleh Tenaga Medis ( dokter/dokter gigi ) dalam melakukan tindakan medis di rumah sakit.

Dr. Arief menyatakan bahwa dalam kasus kasus kelalaian yang dilakukan oleh dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien, disamping dokter sendiri yang harus menanggung kerugian, pihak rumah sakitpun - dalam hal ini adalah direktur rumah sakit - dapat dikutsertakan juga untuk sama sama menanggung kerugian tersebut.

Sementara itu, Dr. Nasser dan Dr. Bahtiar menentang pandangan Dr. Arief ini dengan mengatakan bahwa pertanggung jawaban atas kerugian yang timbul akibat kelalaian dokter tersebut tidak dapat dibebankan kepada rumah sakit. Kerugian ini mutlak dibebankan kepada dokter yang melakukan kelalaian tersebut

Mari kita 'mengulik' lebih dalam apa saja argumentasi  dan  dalil hukum dari para  pakar ini.


UNDANG UNDANG

Pangkal utama dari munculnya perbincangan 'sengit' di seputar pertanggungjawaban rumah sakit atas kelalaian dokter mengacu kepada  2 pasal yang termaktub di dalam  2 undang undang yakni :

  • Undang Undang Kesehatan nomor 17 tahun 2023 pada pasal 193 yang berbunyi : ' Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang ditakukan oleh Sumber Daya Manusia Kesehatan Rumah Sakit '

  • Undang Undang KUH Perdata pada 1367 yang berbunyi : 'Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang yang berada di bawah pengawasannya'
    'Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian yang disebabkan oleh anak anak belum dewasa.....dst'
    'Majikan majikan dan mereka yang mengangkat orang orang lain untuk mewakili urusan mereka adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan pelayan atau bawahan bawahan mereka....dst' 'Guru guru sekolah dan kepala kepala tukang bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid murid dan tukang tukang mereka...dst'
    'Tanggung jawab yang disebutkan di atas berakhir jika oarng tua orang tua........itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab' (R.Subekti, 2014, pp. 346-347)

Mari kita 'dengarkan' bagaimana pandangan ketiga pakar tersebut terhadap kedua pasal ini ?.

PERSPEKTIF

1. Dr. dr. Bahtiar H.,SpP(K) ,SH, MHKes

Menurut Dr. Bahtiar  substansi isi pasal 193 UU Kesehatan 17/2023 itu diadopsi dari konsep Vicarious Liability yang pada hakekatnya tidak dapat diterapkan pada institusi rumah sakit. Lalu, apa sebetulnya yang dimaksud dengan Vicarious Liability  itu ?.

Dr. dr. Bahtiar H.,SpP(K) ,SH, MHKes (dokpri)
Dr. dr. Bahtiar H.,SpP(K) ,SH, MHKes (dokpri)

Saya akan mencuplik penjelasan tentang Vicarious Liability ini dari laman website Kepaniteraan Mahkamah Agung sebagai berikut :

Doktrin Vicarious Liability dalam sistem hukum Indonesia lebih dikenal sebagai pertanggungjawaban pengganti atau dikenal juga dengan pertanggungjawaban korporasi.

Dalam perjalanan konsep KUHP, Vicarious Liability merupakan pengecualian dari ' asas tiada pidana tanda kesalahan '.
Doktrin ini telah diakomodir dan dirumuskan di dalam Pasal 38 ayat (2) Konsep KUHP 2008, yang berbunyi, 'Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain'.

Vicarious Liability juga telah diakomodir dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi

' Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama'

Mirip dengan gagasan Vicarious Liability adalah ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia yang dikenal dengan pertanggungjawaban komando.

' Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dan tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut '.

Dalam konteks korporasi, doktrin Vicarious Liability menetapkan apabila seseorang agen atau pekerja korporasi bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, maka tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan dengan tidak perlu mempertimbangkan apakah perusahaan tersebut secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak, atau apakah aktivitas tersebut telah dilarang oleh perusahaan atau tidak ' (https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/glosarium-hukum/1895-vicarious-liability )

Menurut Dr. Bahtiar, di dalam institusi rumah sakit, hubungan dokter dengan direktur rumah sakit itu bukanlah hubungan rantai komando atau bukanlah hubungan instruktif dari atasan kepada bawahannya.

Dalam konteks praktik profesi yang dilakukan dokter di rumah sakit, dokter hanyalah sekadar 'menyewa' tempat praktik atau lahan praktik di rumah sakit.

Lagipula, lanjut beliau, pihak pihak yang ditanggung dan pihak pihak penanggung jawab itu hanya dibatasi dalam ruang lingkup tertentu saja seperti yang disebutkan secara eksplisit di dalam pasal 1367 KUH Perdata yakni orang tua dan wali bertanggungjawab atas anak anaknya, majikan majikan bertanggungjawab atas pelayan atau bawahan mereka, guru guru sekolah dan kepala kepala tukang  bertanggungjawab atas murid murid dan tukang tukang mereka.

Dr. Bahtiar menyebutkan pentingnya meluruskan kembali pemahaman terhadap pasal 193 dan -secara implisit - beliau menolak pertanggungjawaban mutlak rumah sakit terhadap semua kerugian yang timbul akibat kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis maupun tenaga kesehatan di rumah sakit.

2. Dr. Arief Suryono,SH,MH 

Dr. Arief menyatakan bahwa seorang dokter yang melakukan kelalaian dalam tindakan medis dapat dimintai pertanggungjawabannya berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi : 

' Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut'

Namu, jika dikaitkan dengan pasal 193 UU Kesehatan nomor 17/2023, direktur rumah sakit juga dapat dimintai pertanggungjawabannya atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.

Dr. Arief Suryono,SH,MH (dokpri)
Dr. Arief Suryono,SH,MH (dokpri)

Beliau kemudian mengkonstruksi pasal 1367 KUH Perdata dengan 4 kesimpulan yakni orang tua dan wali bertanggungjawab atas anak anaknya, majikan majikan bertanggungjawab atas pelayan atau bawahan mereka, guru guru sekolah dan kepala kepala tukang  bertanggungjawab atas murid murid dan tukang tukang mereka.

Dr. Arief melanjutkan, untuk mempermudah pemahaman , substansi pasal 1367 ini bisa ditafsirkan bahwa setiap orang yang melakukan  fungsi pengawasan apapun maka mereka bertanggung jawab terhadap orang orang yang diawasinya.

' Dalam konteks ini, pengawasan tidak dalam pengertian fisik. Jangan diartikan secara fisik. Yang penting ada fungsi pengawasan dan harus dilaksanakan. Ini perintah undang undang...!', tutur beliau.

Pasal 1367 KUH Perdata memuat apa yang disebut dengan Tanggung Renteng, karena yang digugat dipastikan lebih dari satu pihak. Kalau dikaitkan dengan pasal 193 UU Kesehatan nomor 17/2023, maka yang digugat adalah Tenaga Medis yang kemudian di-juncto-kan dengan direktur rumah sakit.

Pengertian direktur rumah sakit di-juncto-kan disini adalah berkaitan dengan atau disertakan dengan direktur rumah sakit. Kenapa ?.  Karena direktur rumah sakit itu memiliki fungsi pengawasan yang melekat pada dirinya terhadap bawahannya yang melakukan wanprestasi ataupun perbuatan melanggar hukum yang terjadi di rumah sakit, termasuk yang dilakukan oleh para Tenaga Medis

Pada akhir presentasinya, Dr.Arief menyimpulkan  bahwa rumah sakit sebagai subjek hukum dan sebagai badan hukum dapat dimintai pertanggungjawaban hukum apabila sumber daya manusia kesehatan ( yakni  tenaga medis, tenaga kesehatan dan tenaga pendukung atau penunjang kesehatan ) melakukan kelalaian dan menimbulkan kerugian

3. Dr. dr. Nasser,SpDVE, D.Law 

Dr. Nasser menolak secara keras penerapan pasal 193 UU Kesehatan nomor 17/2023 dan menyebutnya sebagai pasal 'kosong' atau yang tidak dapat dijadikan sebagai dalil hukum (pen). Kenapa ?.

Menurut beliau, ketika melakukan suatu tindakan medis, seorang dokter bekerja secara bebas dan mandiri dan tidak berada di bawah pengawasan dan kendali dari direktur rumah sakit.

Dokter bekerja berdasarkan standar prosedur operasional tertentu  dalam menghadapi situasi dan kondisi yang bisa berubah sewaktu waktu yang harus segera diantisipasinya, tanpa memerlukan petunjuk, arahan atau instruksi dari direktur rumah sakit.

Dr. Nasser mencontohkannya dengan situasi dan kondisi lapangan operasi (bedah) serta tindakan segera yang harus dilakukan oleh dokter bedah saat melakukan operasi laparatomi pada saluran usus pasien. Si dokter tentu saja tidak memerlukan petunjuk, arahan, instruksi ataupun pengawasan dari direktur rumah sakit dalam melakukan tindakan operatif tersebut.

Sebagai landasan  yuridisnya, beliau mengutip  paragraf kelima (ayat 5)  pada pasal 1367 KUH Perdata yang berbunyi : 

'Tanggung jawab yang disebutkan di atas berakhir jika orang tua orang tua, wali wali, guru guru sekolah dan kepala kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab'

Dr. dr. Nasser,SpDVE, D.Law (dokpri)
Dr. dr. Nasser,SpDVE, D.Law (dokpri)

Dalam konteks kelalaian yang dilakukan seorang dokter di rumah sakit, Dr. Nasser menafsirkan bahwa  suatu tindakan medis yang dilakukan oleh dokter pada kenyataannya berada di bawah kendali dokter  secara mandiri dan tahapan/prosedur yang dilakukannya di dalam tindakan medis tersebut  tidak dapat diintervensi apalagi dicegah oleh direktur rumah sakit.

Itulah sebabnya, kelalaian yang ditimbulkannya sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari dokter yang bersangkutan dan bukan menjadi tanggung jawab direktur rumah sakit.

Beliau kemudian mengutip asas hukum yang berbunyi Lex Specialis Derogat Legi Generali. Asas ini menyatakan bahwa peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum

'Kalau lex specialis nya 'ngawur' ( pen-maksudnya isi pasal 193 UU Kesehatan 17/2023 ), maka kita harus kembali kepada legi generali    ( pen-maksudnya isi pasal 1367 KUH Perdata, khususnya ayat/paragraf  5), tutur Dr.Nasser 


Terkait dengan hal ini, Dr. Arief memaparkan bahwa :

Pertama. Jika ada aturan perundangan undangan yang bersifat legi generali dan ada aturan yang bersifat lex specialis, maka yang dirujuk adalah aturan yang bersifat lex specialis

Kedua. Undang Undang Hukum Perdata itu adalah aturan yang bersifat  legi generali. Kalau tidak ada dijumpai aturan di dalam aturan lex specialis, maka boleh mencari di dalam aturan legi generali.

Ketiga. Namun, kalau aturan lex specialis mengatur dan aturan legi generali juga mengatur, maka yang dipakai adalah aturan lex specialis 

Dengan point terakhir ini,  beliau ingin mengatakan bahwa norma pasal 193 UU Kesehatan 2023 tetap harus diberlakukan . Direktur rumah sakit dapat disertakan sebagai pihak yang turut bertanggung jawab atas kelalaian  yang dilakukan oleh Tenaga Medis maupun Tenaga Kesehatan di rumah sakit.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dan Sekalian menjawab pertanyaan pertanyaan di awal tulisan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa pertanggungjawabkan rumah sakit atas kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian dokter dapat dikonstruksi ke dalam 2  format yang berbeda secara diametral yakni :

Pertama.
Dalam gugatan terhadap dokter akibat kelalaian yang dilakukannya, direktur rumah sakit dapat diikutsertakan dalam pertanggungjawaban atas kerugian yang ditimbulkannya.
Hal ini dikarenakan direktur rumah sakit memiliki sifat pengawasan yang melekat di dalam dirinya terhadap dokter sebagai pihak yang berada di bawah pengawasannya

Kedua.
Direktur rumah sakit bertanggung jawab atau tidak dapat digugat akan kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian yang dilakukan oleh dokter dalam melakukan tindakan medis karena dalam melakukan tindakan medis dokter  bekerja secara bebas dan mandiri serta tidak berada di bawah pengawasan direktur rumah sakit.

Pasal 193 UU Kesehatan dinilai tidak tidak dapat dijadikan dalil pertanggungjawaban rumah sakit karena bertentangan dengan pasal 1367 KUH Perdata, khususnya paragraf/ayat 5 yang dapat di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi RI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun