Dalam konteks kelalaian yang dilakukan seorang dokter di rumah sakit, Dr. Nasser menafsirkan bahwa  suatu tindakan medis yang dilakukan oleh dokter pada kenyataannya berada di bawah kendali dokter  secara mandiri dan tahapan/prosedur yang dilakukannya di dalam tindakan medis tersebut  tidak dapat diintervensi apalagi dicegah oleh direktur rumah sakit.
Itulah sebabnya, kelalaian yang ditimbulkannya sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari dokter yang bersangkutan dan bukan menjadi tanggung jawab direktur rumah sakit.
Beliau kemudian mengutip asas hukum yang berbunyi Lex Specialis Derogat Legi Generali. Asas ini menyatakan bahwa peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum
'Kalau lex specialis nya 'ngawur' ( pen-maksudnya isi pasal 193 UU Kesehatan 17/2023 ), maka kita harus kembali kepada legi generali  ( pen-maksudnya isi pasal 1367 KUH Perdata, khususnya ayat/paragraf  5), tutur Dr.NasserÂ
Terkait dengan hal ini, Dr. Arief memaparkan bahwa :
Pertama. Jika ada aturan perundangan undangan yang bersifat legi generali dan ada aturan yang bersifat lex specialis, maka yang dirujuk adalah aturan yang bersifat lex specialis
Kedua. Undang Undang Hukum Perdata itu adalah aturan yang bersifat  legi generali. Kalau tidak ada dijumpai aturan di dalam aturan lex specialis, maka boleh mencari di dalam aturan legi generali.
Ketiga. Namun, kalau aturan lex specialis mengatur dan aturan legi generali juga mengatur, maka yang dipakai adalah aturan lex specialisÂ
Dengan point terakhir ini,  beliau ingin mengatakan bahwa norma pasal 193 UU Kesehatan 2023 tetap harus diberlakukan . Direktur rumah sakit dapat disertakan sebagai pihak yang turut bertanggung jawab atas kelalaian  yang dilakukan oleh Tenaga Medis maupun Tenaga Kesehatan di rumah sakit.
Kesimpulan