by dr. Riki Tsan,SpM
Undang Undang Kesehatan Omnibus nomor 17 tahun 2023 (UU Kesehatan) pada pasal 199 menyebutkan ada 12 kelompok Tenaga Kesehatan , salah satu diantaranya ialah Tenaga Kesehatan Tradisional. Tenaga Kesehatan Tradisional inipun terbagi atas 3 kelompok yakni Tenaga Kesehatan Tradisional Ramuan atau Jamu, Tenaga Kesehatan Pengobat Tradisional dan Tenaga Kesehatan Intercontinental.
Para Tenaga Kesehatan Tradisional inilah yang nantinya akan melakukan Pelayanan Kesehatan Tradisional (pasal 22) di tempat praktik mandiri, Puskesmas, Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tradisional dan Rumah Sakit (pasal 161)
Berdasarkan cara pengobatannya, Pelayanan Kesehatan Tradisional  terbagi atas 2 bagian yakni yang menggunakan keterampilan dan yang menggunakan ramuan. Adapun Pelayanan Kesehatan Tradisional  tersebut dilakukan berdasarkan pengetahuan, keahlian dan  nilai nilai yang bersumber dari kearifan lokal (pasal 160).
Pertanyaan kita ialah siapakah yang disebut dengan Tenaga Kesehatan Pengobat Tradisional yang menggunakan keterampilan itu ?. Belum ada penjelasannya di dalam UU Kesehatan tentang hal ini, karena aturan turunannya masih sedang disusun oleh Pemerintah.
Namun, Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo menuturkan, 'Pengobat Tradisional adalah orang atau institusi atau pelayanan yang melakukan pengobatan tradisional. Pengobatan Tradisional yang dikenal di Indonesia berasal dari 2 sumber yakni asli dari bangsa Indonesia ( bermacam macam dukun ) dan dari luar Indonesia
Beliau melanjutkan, diantara 4 metode yang digunakan di dalam pengobatan tradisional ini ialah sentuhan fisik ( seperti dukun patah tulang dll), dengan cara cara meditasi ( pernafasan tenaga dalam dll ) serta dengan cara spiritual seperti mantera, doa dan lain lain ( Etika Hukum & Kesehatan, Bab Etika dan Hukum Penyembuhan Tradisional, halaman 184-197)
Pengobatan dengan sentuhan fisik , meditasi dan cara cara spiritual inilah yang dikenal di masyarakat sebagai Pengobatan Alternatif, sebagai antitesis dari Pengobatan Medis.
Diantara contoh contoh Pengobatan Alternatif ini ialah praktik penyembuhan dilakukan oleh Ibu Ida Dayak, para dukun patah tulang dan lain lain. Para Pengobat Alternatif  (sering disebut, paranormal) ini membuka praktik pengobatannya untuk melayani masyarakat yang datang berobat.
Tentu saja, pihak yang paling keras menyuarakan keberatan dan penolakan terhadap praktik pengobatan alternatif ini datang dari kalangan dokter dan tenaga kesehatan.
Mereka menganggap bahwa praktik praktik semacam ini tidak dapat 'dicerna' lewat penalaran/logika medis. Bahasa kerennya, tidak berpijak kepada Evidence Based Medicine (EBM) yakni pengobatan yang tidak berbasiskan  pengetahuan sain atau yang tidak berpijak kepada bukti bukti ilmiah, sehingga berpotensi mencederai pasien.
Saya akan menganalisis eksistensi pengobatan alternatif ini dari  sudut pandang filsafat yang mengacu kepada Teori Keadilan Bermartabat.
Teori Keadilan Bermartabat sebetulnya adalah sebuah teori hukum yang digagas oleh Prof. Dr.Teguh Prasetyo,SH,MSi, Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Pelita Harapan dan Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) Jakarta. Prof. Teguh sendiri telah menulis lebih dari 50 buku terkait Ilmu Hukum dan berbagai aspek yang terkait dengan hukum.
Khusus tentang Teori Keadilan Bermartabat, beliau telah menuangkannya di dalam bukunya yang berjudul Keadilan Bermartabat, Perspektif Teori Hukum, yang diterbitkan pada bulan Juni tahun 2021. Buku setebal 201 halaman itu memuat semua aspek yang berkaitan dengan Teori Keadilan Bermartabat. Tidak mungkin kita mengutip semua aspek tersebut disini. Kita hanya akan mencuplik bagian bagian yang berkaitan dengan tulisan ini saja.
'Apakah hakikat atau pengertian dari Teori Keadilan Bermartabat ?', tanya Prof. Teguh ketika membuka bagian Pendahuluan dari buku itu.
Secara singkat, Teori Keadilan Bermartabat (TKB) adalah suatu teori hukum -- dan juga ilmu hukum - dengan visi utama keadilan yang memanusiakan manusia atau -- dalam bahasa Prof. Teguh- keadilan yang nge wong ke wong.
Ada beberapa 'ajaran' yang dapat kita  petik dari TKB ini.
Pertama. TKB bukan hanya  sebuah teori, tetapi juga suatu filsafat. Kenapa ?.
Sebagai hasil dari proses kegiatan berfikir yang berdisiplin dan mentaati kaidah kaidah kelilmuan, TKB adalah suatu pemikiran metateoritis atau kegiatan berfikir yang melampaui ranah teori, yang didominasi dengan abstraksi, konsepsi dan preposisi. Itulah sebabnya TKB dapat disebut dengan filsafat (hal. 7)
Kedua. Setidaknya, saya 'menangkap' 3 ciri filsafati dari TKB.
- TKB adalah  suatu usaha untuk mendekati atau memahami fikiran Tuhan. Bagaimana caranya kita mendekati atau memahami fikiran Tuhan ini ?. Prof. Teguh menulis : 'Keikutsertaan pikiran Tuhan di dalam pemikiran manusia  yaitu apa yang disebut oleh Thomas Aquinas sebagai ciptaan yang mampu berfikir itu, dapat ditemui melalui suatu proses penalaran. Aquinas merumuskannya dengan kata kata, 'The participation of eternal law in rational creatures, discoverable by reason '. (hal.26).
- TKB tidak hanya melihat atau memahami peristiwa hukum ( ataupun peristiwa peristiwa lainnya ) semata mata berdasarkan tangkapan inderawi atau physical saja, tetapi juga berdasarkan akal pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan inderawi (hal.24).
- Dalam menjalani kehidupannya, manusia dikendalikan oleh suatu kuasa di dalam dirinya  (imperium) yakni imperium akal budi, karsa dan rasa (hal. 22). Imperium akal budi mengacu kepada aspek intelektualitas atau akal rasional manusia, sementara  imperium rasa berkaitan dengan aspek emosi, ruhaniah (spiritual) atau hati nurani yang mempengaruhi tindakan serta persepsinya terhadap dunia di sekitarnya.
Singkat kata, berfikir filsafati dalam pemikiran TKB adalah upaya mendekati dan memahami fikiran Tuhan  dengan mendayagunakan proses penalaran kita yakni menggunakan akal budi/akal pengetahuan, karsa dan rasa  dalam melihat dan memahami peristiwa peristiwa yang ditangkap secara inderawi atau fisikal.
SAIN/ILMIAH
Marilah kita 'membedah' fenomena pengobatan alternatif ini dengan menganalisisnya melalui  pemikiran filosofis TKB yang telah diuraikan di atas.
Sebagai dasar pijakan analisis, terlebih dahulu kita akan mengupas seperti apa  pengetahuan sain dan pengetahuan filsafat itu dengan merujuk kepada Prof. Dr. Ahmad Tafsir di dalam bukunya Filsafat Ilmu, Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan ( 2018).
Apa yang dimaksud dengan Pengetahuan Sain ( Scientific Knowledge ) atau Pengetahuan Ilmiah itu?. Pengetahuan Sain adalah pengetahuan rasional  yang  didukung oleh bukti bukti empiris.
Secara singkat, formula pengetahuan sain ialah buktikan bahwa itu logis ( dalam pengertian rasional ) dan tunjukkan bukti bukti empirisnya. Immanuel Kant mengatakan bahwa rasional itu berarti masuk akal, namun hanya sebatas hukum alam (hukum sebab akibat/hukum kausalitas) saja. Sementara, bukti bukti empiris adalah bukti bukti yang bisa ditangkap dengan indra manusia.
Contoh sederhananya begini.
Seseorang ingin tahu apa yang akan ia dapatkan jika bibit jeruk ditanam. Ia menanam bibit jeruk di tanah, menyiramnya dengan air, memberinya pupuk dan merawatnya bertahun tahun. Ternyata, bibit jeruk itu  mengalami proses pertumbuhan menjadi tanaman jeruk dan kemudian menghasilkan buah jeruk. Ia kini memiliki pengetahuan bahwa bibit jeruk akan menghasilkan buah jeruk. Prosesnya logis atau masuk akal, bukti buktinyapun bisa ditangkap secara indrawi. Inilah pengetahuan sain. Tentunya, pengetahuan sains tidak sesederhana itu.
Objek pengamatan/penelitian dari pengetahuan sain ini hanyalah sebatas objek objek empiris yakni objek objek yang bisa ditangkap oleh indera kita sebab ia harus menghasilkan bukti bukti empiris juga. Singkat kata, pengetahuan sain dinilai benar asal rasional dan empiris. Prof Ahmad menulis, '...walaupun pengetahuan sain ini  tingkatnya rendah dalam struktur pengetahuan, namun ia berguna bagi manusia' (Filsafat Ilmu, halaman 7)
Lalu, bagaimana dengan pengetahuan filsafat ?
Kembali kepada contoh bibit jeruk di atas.
Kita bertanya agak sedikit mendalam, 'Mengapa bibit jeruk selalu berbuah jeruk ?'. Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan menyajikan bukti bukti empiris, namun hanya bisa dijawab lewat kegiatan berfikir. Objek pemikirannyapun bukanlah jeruk yang empiris, tetapi jeruk yang abstrak atau jeruk pada umumnya (universal) Â atau konsep jeruk yang ada di dalam fikiran kita.
Dari kegiatan berfikir ini bisa muncul beragam jawaban, diantaranya ialah bahwa bibit jeruk berbuah jeruk karena ada hukum yang bekerja dan mengaturnya. Pengetahuan seperti ini, kita sebut pengetahuan filsafat. Kebenaran pengetahuan filsafat  hanya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan tidak pernah dapat dibuktikan secara empiris. Jika dapat dibuktikan secara empiris, maka ia berubah menjadi pengetahuan sain.
Kita bertanya lebih jauh lagi, 'Siapa yang membuat hukum yang mengatur agar bibit jeruk berbuah jeruk ?'. Walaupun pertanyaan ini sulit, namun masih dapat dijawab oleh filsafat. Salah satu teori dalam filsafat  misalnya mengatakan bahwa hukum tersebut dibuat oleh alam sendiri secara kebetulan. Kita tidak akan membahas disini kelemahan kelemahan dari teori ini.
Teori lain menyebutkan bahwa hukum itu dibuat oleh Yang Maha Pintar. Kita menyebutnya Tuhan. Ini masih pengetahuan filsafat. Pengetahuan inipun benar, karena logis atau masuk akal. Logis disini dalam pengertian Suprarasional atau  melampaui batas batas rasionalitas.
ADIKODRATI
 Sebagian orang masih 'kepo' dan bertanya lebih tajam dan lebih menusuk. 'Kalau hukum itu dibuat oleh Tuhan, lalu siapa Tuhan itu ?. Kami ingin mengenalNya, kami ingin melihatNya, kami ingin belajar langsung kepadaNya'.
Pertanyaan orang orang 'kepo' Â ini tidak bisa dijawab oleh filsafat maupun sain karena objek yang ingin mereka ketahui bukanlah objek empiris dan tidak bisa dijangkau oleh akal rasional, tetapi ia adalah objek abstrak-suprarasional atau objek metarasional.
Menurut Prof. Ahmad, objek objek suprarasional itu dapat diketahui bukan dengan menggunakan pancaindra, bukan dengan akal rasional, namun dengan menggunakan rasa.
Pernyataannya ini selaras dengan pemikiran filsafati TKB yang menegaskan bahwa imperium rasa merupakan salah satu imperium yang  digunakan manusia dalam menangkap dan memahami fenomena atau peristiwa yang sedang terjadi . Bergson menyebut instrumen rasa ini sebagai intuisi, Kant menyebutnya moral , suara hati atau akal praktis.
Sementara filosof muslim, seperti Ibnu Sina menamakannya akal mustafad, sedangkan para sufi ( penempuh jalan spiritual ) menyebutnya qalb,dzawq,dhamir atau sirr.
Pengetahuan jenis ini disebut Prof. Ahmad sebagai pengetahuan mistik (Â Mystical Knowledge ). Namun, kami lebih senang menyebutnya dengan Pengetahuan Supranatural atau Pengetahuan Adikodrati.
'Pengetahuan  jenis ini memang aneh', kata beliau, ' paradigmanya saya sebut paradigma mistik ( paradigma Supranatural atau Adikodrati ) dan metodenya saya sebut metode latihan ( riyadhah ) dan metode yakin/percaya atau iman.
Adapun pengertian Supranatural (Adikodrati) bila dikaitkan dengan agama ialah pengetahuan (ajaran atau keyakinan) tentang Tuhan yang diperoleh melalui meditasi atau latihan spiritual, bebas dari ketergantungan pada indera dan rasio (A.S. Hornby, A Leaner's Dictionary of Current English, 1957 : 828).
Menurut Kant, akal teoritis ( akal rasional ) tidak melarang kita mempercayai Tuhan, namun akal praktis ( kesadaran moral atau suara hati ) memerintahkan kita untuk mempercayainya. Rousseau mengatakan bahwa di atas akal rasional di kepala, ada perasaan hati. Sementara, Pascal menyebut bahwa hati mempunyai akal miliknya sendiri yang tidak pernah dapat dipahami oleh akal rasional.
Kant berpendirian bahwa argumentasi tentang adanya Tuhan dan juga tentang objek objek yang gaib (non-empiris) lainnya yang disebut sebagai objek objek metarasional, tidak dapat dibuktikan kebenarannya bila akal rasional masuk ke daerah ini. Ia akan tersesat ke dalam paralogisme (kesalahan berfikir). Bukti yang kuat adalah suara hati. Suara hati itu memerintah, bahkan rasiopun tidak mampu melawannya ( Filsafat Ilmu halaman 95 ).
Pandangan ini sejalan dengan pemikiran filsafati TKB. Prof. Teguh menulis : ' Berfikir secara radikal atau mendasar yang merupakan ciri kefilsafatan TKB, memiliki batas. Yang dimaksud TKB dengan batas disini ialah pertanggungjawaban hati nurani ' (halaman 20).
Jadi, pengetahuan Adikodrati tidak dapat  dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami rasio. Pengetahuan jenis ini kadang kadang memiliki bukti empiris tetapi kebanyakan tidak dapat dibuktikan secara empiris.
Menurut pandangan kami, praktik pengobatan alternatif yang dijalankan oleh pengobat alternatif  ( paranormal ) dengan menggunakan sentuhan fisik, meditasi, mantera dan do'a do'a  - mengacu kepada pemikiran filsafati TKB-- berbasis kepada pengetahuan supranatural atau pengetahuan adikodrati.Â
Disini, hubungan sebab akibat ( kausalitas ) di dalam proses pengobatan tidak dapat dipahami secara rasional seperti halnya pengobatan medis. Namun, terkadang pengetahuan ini dapat dibuktikan secara empiris yakni dengan bukti adanya kesembuhan pasien yang diobati.
Salam sehat buat kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H