Hal yang terakhir ini harus dipertimbangkan secara cermat karena semua tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter hampir dipastikan mengandung berbagai resiko yang sewaktu waktu dapat muncul tanpa diduga sehingga menimbulkan kejadian yang tak diinginkan (undesired events)
Misalnya, seorang pasien yang berusia lanjut saat sedang menjalani operasi katarak tiba tiba meninggal dunia karena serangan jantung. Kasus seperti ini tentu saja tidak bisa dikategorikan sebagai malapraktik medik karena tidak ada hubungan sebab akibat (kausalitas) antara tindakan operasi katarak tersebut dengan kematian si pasien. Apalagi si dokter yang melakukan operasi telah melakukan operasi katarak berdasarkan standar yang sudah ditetapkan.
Lagipula harus diingat bahwa hubungan hukum antara dokter dengan pasien adalah hubungan perikatan yang berlandaskan kepada perjanjian atau kesepakatan tak tertulis yang lazim disebut dengan Kontrak Terapeutik, dengan hak dan kewajiban masing masing pihak.
Namun, Kontrak Terapeutik ini berbeda sama sekali dengan perjanjian yang lain. Perbedaannya terletak pada objek perjanjian, dimana bukan hasil yang menjadi tujuan utama perjanjian (resultaat verbintenis), melainkan terletak pada upaya maksimal/proses yang dilakukan dokter untuk kesembuhan pasien (inspaning verbintenis).
Undang-Undang Kesehatan Omnibus nomor 17 tahun 2023 pasal 280 ayat 1 menyebut: Dalam menjalankan praktik, tenaga medis dan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien harus melaksanakan upaya terbaik. Lalu, disusul dengan ayat 3 yang berbunyi: 'Upaya terbaik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menjamin keberhasilan pelayanan kesehatan yang diberikan'
Namun, setiap hasil negatif yang diterima oleh pasien/keluarganya umumnya selalu diklaim telah terjadi malapraktik, padahal untuk mengklaim suatu tindakan sebagai malapraktik, maka harus dilihat dari prosesnya, apakah seorang dokter telah melakukan kewenangannya berdasarkan kompetensi yang dimilikinya serta apakah dia telah melakukan tindakan medis tersebut berdasarkan standar pelayanan kesehatan/tindakan medis yang telah ditetapkan.
Perlu juga diketahui, bahwa salah satu bagian dari Kontrak Terapeutik ini adalah bahwa dalam melakukan suatu tindakan medis, dokter wajib mendapatkan persetujuan dari pasien ataupun keluarganya setelah ia diberi penjelasan secara rinci dan lengkap, termasuk diantaranya faktor resiko dan kejadian tak terduga yang bisa saja timbul pada saat atau setelah tindakan medis tersebut dilakukan. Persetujuan Tindakan Medis ini disebut dengan Informed Consent, yang ditandatangani oleh pasien/wakilnya dengan disaksikan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
KASUS
Kembali pada kasus kematian anak pascaoperasi amandel di atas dengan dugaan malapraktik medis. Untuk mengklaim bahwa sudah terjadi perbuatan melawan hukum yang kita sebut dengan malapraktik medis itu, maka setidaknya harus dipertanyakan 3 hal:
Pertama, apakah sebelum operasi amandel atau sebelum tindakan tindakan medis pascaoperasi dilakukan, dokter atau rumah sakit sudah menjelaskan/mengedukasi secara lengkap dan rinci perihal tindakan yang akan dilakukan serta telah mendapatkan persetujuan dari pasien atau Informed Consent?
Kedua, apakah dalam melakukan operasi amandel tersebut atau tindakan tindakan medis pascaoperasi, dokter telah bekerja sesuai dengan standar tindakan medis yang telah ditetapkan?