Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Mata

Eye is not everything. But, everything is nothing without eye

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Persetujuan Pasien Tidak Diperlukan pada Tindakan Medis Jika Begini

2 Oktober 2023   10:21 Diperbarui: 2 Oktober 2023   10:37 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

by dr.Riki Tsan,Sp.M ( Mahasiswa STHM Prodi MHKes Angkatan V )

Pada suatu hari, seorang dokter bedah melakukan operasi terhadap seorang pasien yang menderita penyakit Hernia Skrotalis.
Penyakit Hernia Skrotalis terjadi ketika usus atau lemak dari perut menerobos keluar melalui dinding perut bagian bawah menuju daerah inguinal atau selangkangan masuk ke dalam skrotum (kantung buah pelir). Akibatnya, timbul tonjolan atau pembengkakan pada daerah selangkangan atau pembesaran skrotum.

Tujuan operasi yang akan dilakuan adalah untuk mengembalikan ,  mendorong ataupun  mengangkat bagian usus yang keluar disertai dengan menguatkan otot otot serta jaringan yang lemah.
Nah, pada waktu melakukan operasi itu, si dokter menemukan testikel (buah pelir) kiri pasien ini sudah terinfeksi berat yang dia nilai dapat membahayakan si pasien. Dokter langsung mengangkat testikel ini.

Usai operasi dan setelah mengalami penyembuhan, pasien menggugat dokter ke pengadilan dengan alasan dia tidak pernah memberikan persetujuan atau keizinan untuk pengangkatan testikelnya itu. Persetujuan hanya diberikan untuk operasi hernia saja.

Bagaimana seharusnya sikap hakim yang memutuskan perkara ini ?.
--

Kasus di atas hanyalah sebuah contoh  yang menunjukkan betapa pentingnya persetujuan pasien sebelum seorang dokter melakukan tindakan medis (seperti operasi misalnya) terhadap pasiennya. Pada kasus di atas, mungkin kondisi pasien relatif 'baik baik saja' setelah operasi hernia tersebut walaupun dia sudah kehilangan satu buah pelirnya.

Namun pada kasus kasus yang lain tindakan medis bukan saja menimbulkan cedera atau kecacatan yang lebih berat, bahkan dapat berakhir pada kematian pasien. Dokter dapat dituntut sampai ke pengadilan, dan boleh jadi terkena sanksi hukum. Dia bisa dipenjara atau harus membayar ratusan juta bahkan milyaran rupiah.

Pertanyaan kita ialah seperti apakah sebetulnya persetujuan atau keizinan pasien atas tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya dan apakah pasien yang berada dalam kondisi tertentu sehingga tidak memungkinkannya untuk memberikan  persetujuan , bolehkah dokter 'memaksakan' melakukan tindakan medis tertentu terhadap dirinya ?.

---

PERSETUJUAN PASIEN

Persetujuan pasien sebelum sebuah tindakan medis dilakukan oleh dokter sering disebut sebut dengan Informed Consent. Apakah sebetulnya Informed Consent itu ?.

Consent diterjemahkan dengan 'persetujuan atau keizinan', sedangkan informed diartikan 'telah terinformasi atau telah dijelaskan'. Maka, secara etimologis, Informed Consent berarti persetujuan atau keizinan setelah adanya penjelasan.

Lalu, bagaimana definisi Informed Consent ini secara terminologis ?. Setidaknya ada 2 peraturan perundang undangan yang membunyikan pengertian atau definisi tentang Informed Consent ini. Kedua peraturan itu adalah Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)  nomor 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Medik dan nomor 290 tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Dari kedua Permenkes ini, Informed Consent didefinisikan sebagai persetujuan atau izin oleh pasien atau wakilnya kepada dokter untuk melakukan tindakan medis atas dirinya, setelah dokter memberikan informasi atau penjelasan yang lengkap tentang tindakan itu.

Pada umumnya, jika disebutkan Informed Consent maka pada mulanya yang terbayang di benak kita adalah lembaran lembaran (form) Informed Consent tertulis yang biasanya diisi dan ditanda tangani oleh dokter, pasien atau keluarganya sebelum tindakan medis dilakukan.

Untuk tidak mengacaukan pengertian Informed Consent ini , saya memilahnya menjadi 2 bagian. Pertama, Informed Consent dalam pengertian umum -- seperti definisi di atas - yang berarti persetujuan dari pasien untuk dilakukan tindakan medis, tidak perduli apakah persetujuan itu dalam bentuk tertulis atau tidak tertulis.

Kedua, Informed Consent dalam pengertian khusus, yakni Informed Consent  dalam bentuk lembaran (form) tertulis seperti yang telah kita ketahui selama ini.


INFORMED CONSENT ITU WAJIB !

Apakah Informed Consent atau persetujuan pasien itu wajib diperoleh oleh seorang dokter sebelum tindakan medis dilakukan terhadap diri pasiennya ?. Jawabnya, wajib !. Lalu, apa dasar hukumnya ?.

Mari kita lihat Undang Undang Kesehatan (UU Kesehatan ) yang baru yakni UU Kesehatan Omnibus bernomor 17 tahun 2023.
Pada pasal 293 disebutkan : 'Setiap tindakan pelayanan kesehatan perseorangan yang dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan harus mendapat persetujuan (ayat 1). Dilanjutkan dengan ayat 2, 'Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang memadai'

Persetujuan pasien setelah mendapatkan penjelasan itulah Informed Consent dalam pengertian umum, yang harus diperoleh sebelum pelayanan kesehatan atau tindakan medis dilakukan.

Pada ayat 3, masih dari pasal 293, diuraikan hal hal apa saja yang harus dijelaskan kepada pasien.

Diantaranya ialah nama kelainan penyakit yang diidap oleh si pasien (diagnosis), tindakan medis apa yang akan dilakukan, kenapa tindakan tersebut perlu dilakukan (indikasi) dan apa tujuannya, resiko dan komplikasi apa saja yang mungkin muncul jika tindakan tersebut dilakukan, seberapa besar kemungkinan keberhasilannya tersebut (prognosis) serta keadaan seperti apa yang akan timbul jika tindakan medis tersebut tidak dilakukan.

Setelah pasien diberikan waktu untuk mempertimbangkan penjelasan tersebut , maka ada saja kemungkinan  ia menolak tindakan medis itu. Penolakannya ini disebut dengan Informed Refusal. Namun,  jika pasien menyatakan persetujuannya, apakah persetujuan harus diberikan secara tertulis, secara lisan atau adakah cara lain ?.

Marilah kita lihat bentuk bentuk Informed Consent.


BENTUK INFORMED CONSENT

Menyambung UU Kesehatan Omnibus pada Pasal 293 ayat 3 di atas, ayat 4 menyebutkan : 'Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis ataupun lisan. Jadi, Informed Consent itu ada 2 bentuk yakni tertulis dan tidak tertulis.

Informed Consent dalam bentuk tertulis wajib diberikan dalam tindakan tindakan medis yang bersifat invasif dan atau tindakan tindakan medis yang berisiko tinggi (ayat 5).

Permenkes nomor 290 tahun 2008 menyebutkan bahwa  tindakan invasif adalah suatu tindakan medis  yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh pasien. Contohnya, seperti pembedahan suatu organ tubuh,  biopsi (pengambilan jaringan tubuh), insisi  (menyayat) tumor dan lain lain. Tindakan invasif umumnya menggunakan instrumen khusus, seperti jarum, pisau dan gunting bedah atau peralatan lainnya yang dimasukkan ke dalam tubuh pasien.

Sementara, tindakan berisiko tinggi  adalah tindakan tindakan medis yang berpotensi menimbulkan efek samping atau komplikasi berupa cedera sampai kematian.

Persetujuan tersebut harus diberikan oleh si pasien sendiri (ayat 6). Namun jika karena sebab tertentu pasien tidak dapat memberikan persetujuannya, maka persetujuan dapat diberikan oleh orang yang mewakilinya (ayat 7).

Jika Informed Conset itu dalam bentuk tertulis , maka ia wajib  ditandatangani oleh pasien sendiri atau oleh orang yang mewakilinya dengan disaksikan oleh salah seorang tenaga kesehatan ataupun tenaga medis (ayat 8)

Lalu, pertanyaan kita ialah apakah semua tindakan medis mengharuskan adanya Informed Consent ?. Simpan dulu pertanyaan ini.

Terlebih dahulu saya akan memaparkan sanksi hukum yang akan dikenakan kepada dokter (ataupun rumah sakit) jika tidak mendapatkan Informed Consent dari pasiennya sebelum tindakan medis dilakukan.


SANKSI HUKUM

Prof.Dr.Sutan Remi Sjahdeini,SH,  memaparkan soal Informed Consent ini di dalam bukunya yang berjudul Hukum Kesehatan Tentang Hukum Malapraktik Tenaga Medis jilid 1 (halaman 102 ) dan jilid 2 (halaman 1, Bab 1)

Prof. Remi menyebutkan  : 'Tenaga Medis berkewajiban memberikan penjelasan sebelum memperoleh Informed Consent dan akan ada konsekuensi hukumnya apabila kemudian tindakan medis  yang dilakukan tidak sesuai dengan penjelasan yang semula telah diberikan oleh tenaga medis tersebut'

Beliau juga menuturkan : 'Tindakan medis tanpa Informed Consent berkemungkinan menjadi malapraktik medis sehingga dokter dapat terancam pidana atau digugat perdata karena melakukan malapraktik. Baik ancaman pidana maupun perdata ini baru akan muncul manakala sebelum melakukan tindakan medis, dokter tidak memperoleh Informed Consent dan tindakan medis yang dilakukannya tersebut mengakibatkan cedera atau kematian pasien.

Cukup menakutkan memang !.  

Kembali ke pertanyaan di atas. Apakah ada kasus kasus tertentu yang tidak mengharuskan adanya Informed Consent ?.


TIDAK PERLU PERSETUJUAN

Seorang pasien, korban kecelakaan lalulintas, masuk ke ruang gawat darurat di suatu rumah sakit dalam keadaan sekarat dan tidak sadarkan diri. Tidak ada seorangpun anggota keluarga atau kerabat yang mendampinginya. Tindakan medis gawat darurat tertentu harus secepatnya dilakukan oleh si dokter untuk menyelamatkan jiwa si pasien. Si dokter mengalami 'perang batin'.

Di satu sisi, jika ia membiarkannya dengan alasan belum ada Informed Consent, maka ia telah melakukan  pelanggaran 'The Duty of Care' yakni kewajiban memberikan pelayanan kesehatan terhadap orang yang mengalami cedera atau terancam jiwanya. Si dokter bisa dipidana berdasarkan pasal 531 KUH Pidana, yang mempidanakan orang yang membiarkan orang lain yang berada  dalam keadaan menghadapi maut dan tidak memberikan pertolongan kepadanya.

Namun, di sisi lain, jika  si dokter memberikan pertolongan tanpa Informed Consent, tetapi kemudian pasien tidak bisa diselamatkan jiwanya, maka  boleh jadi ia telah melakukan malapraktik dan dapat digugat secara perdata maupun dituntut secara pidana oleh keluarga pasien.

Undang Undang Kesehatan Omnibus pasal 293 menjawab dilemma ini .

'Dalam hal keadaan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat 6 di atas tidak cakap dan memerlukan tindakan gawat darurat, tetapi tidak ada pihak yang dapat dimintai persetujuan, tidak diperlukan persetujuan tindakan' (ayat 9).

'Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat 9 dilakukan berdasarkan kepentingan terbaik pasien yang diputuskan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan kepada pasien (ayat 10).

Namun tindakan ini wajib diberitahu kepada pasien setelah pasien telah cakap atau yang mewakili telah hadir (ayat 10).


KESIMPULAN

Berangkat dari uraian panjang lebar di atas, kita dapat menyimpulkan :

  • Dokter wajib mendapatkan persetujuan dari pasien sebelum ia melakukan tindakan medis terhadap pasiennya. Persetujuan ini disebut dengan Informed Consent.

  • Informed Consent ini diperoleh dokter setelah pasien diberikan informasi atau penjelasan yang serinci rincinya perihal penyakit dan tindakan medis yang akan dilakukannya.

  • Informed Consent harus dituangkan dalam bentuk tertulis untuk tindakan tindakan medis yang bersifat invasif atau berisiko tinggi.

  • Dokter berpeluang untuk menghadapi masalah dan sanksi hukum jika tidak membuat Informed Consent sebelum melakukan tindakan medis

  • Tindakan medis terhadap pasien yang tidak cakap dan berada dalam kondisi gawat darurat tidak memerlukan Informed Consent.

Salam sehat buat kita semua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun