by dr Riki Tsan,SpM
Beberapa tahun yang lalu, saya melakukan operasi katarak terhadap seorang pria yang berumur sekitar 50an tahun di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta Utara. Usai operasi, ia diminta  datang kembali untuk kontrol ulang sehari setelah operasi dengan tujuan mengganti perban penutup  mata yang telah dioperasi, pemberian obat tetes mata antibiotik dan anti radang serta -- yang paling penting adalah - pemeriksaan mata untuk mendeteksi kemungkinan adanya komplikasi pasca operasi.
Hari pertama pasca operasi, pasien tak datang ke poli mata, demikian juga hari kedua.
Saya mulai merasa was was, khawatir terjadi hal hal yang tak diinginkan terhadap mata pasien yang baru dioperasi itu.
Hari ketiga, dia baru muncul di poli mata. Perban matanya sudah dalam keadaan terbuka. Wajahnya terlihat ceria dan tak merasa bersalah sedikitpun. 'Saya gak sempat datang dok, banyak urusan', katanya dengan tawa tersungging di bibirnya. Dia meraih tangan saya sambil meminta maaf.
Saya bukan saja tidak bisa marah, malah ikut tertawa bersamanya.
Memang hubungan saya dengan pasien ini sudah seperti keluarga. Kami berdua acap sekali berkomunikasi langsung ataupun lewat media sosial. Saya juga mengenal dengan baik istri dan keluarganya.
Usai melakukan pemeriksaan, saya  agak terkejut. Tajam penglihatannya yang semula sangat jelek, kini kembali normal  dan hampir tidak ditemukan adanya kelainan/masalah apapun di matanya. Hal yang sama tidak saya temukan pada pasien pasien saya yang lain.
Pengalaman saya berpraktek selama belasan tahun menemukan 'fakta' bahwa pemulihan dari operasi dan kesembuhan dari penyakit relatif terjadi lebih cepat pada pasien pasien yang memiliki hubungan personal yang baik dengan saya, pada pasien pasien yang terlihat selalu bahagia dan pada pasien pasien yang memiliki keyakinan yang kuat akan kesembuhan dari penyakit yang mereka derita.
Dengan pengalaman pribadi di atas saya  berkeyakinan bahwa hubungan atau komunikasi yang terjalin dengan baik antara dokter dan pasien akan mempengaruhi kesembuhan penyakit si pasien.
Namun, pertanyaannya ialah apakah keyakinan saya ini memang  bisa dibuktikan secara ilmiah atau hanya sekedar kebetulan saja ?.
HUBUNGAN KEADILAN BERMARTABAT
Simpan dulu pertanyaan di atas. Kita akan menjawabnya pada kesempatan yang lain.
Sekadar mengingatkan kembali. Pada tulisan sebelumnya saya telah mengajukan sebuah model baru dalam hubungan dokter dan pasien yang berbasis kepada Konsep Keadilan Bermartabat yang digagas oleh Prof.Dr.Teguh Prasetyo,S.H, MSi.
Model hubungan ini saya sebut dengan Hubungan Keadilan Bermartabat atau -- bahasa kerennya- Dignified Justice of Relationship yang akan melengkapi 3 model hubungan dokter dan pasien lainnya (https://www.kompasiana.com/rikitsan/64d51f1f633ebc21056f4442/kritik-terhadap-model-hubungan-dokter-pasien-perspektif-teori-keadilan-bermartabat)
Apa ciri khusus dari Model Hubungan Dokter Pasien yang Berkeadilan Bermartabat ini  yang membedakannya dengan 3 model lainnya.?.
Salah satu ciri khusus dari Model Hubungan Keadilan Bermartabat adalah komunikasi yang welas asih.
Kata Welas Asih sendiri berasal dari bahasa Jawa. Welas berarti belas kasihan atau simpati dan empati, sementara Asih berarti kasih sayang atau cinta. Jadi, secara harfiah, Welas Asih dapat diartikan sebagai perasaan belas kasihan, simpati dan empati yang penuh kasih sayang dan cinta.
Dalam konteks budaya Jawa, istilah ini merujuk kepada nilai nilai kelembutan, kasih sayang dan perasaan yang mendalam terhadap sesama manusia. Welas asih adalah konsep penting dalam kehidupan sehari hari dan seringkali diaplikasikan dalam interaksi sosial dan komunikasi antar manusia.
Dengan kata lain, hubungan dokter-pasien berkeadilan bermartabat seyogyanya terwujud dalam bentuk komunikasi yang welas asih yang memanusiakan manusia atau -- dalam bahasa Prof Teguh -- nge wong ke wong, dengan tujuan utama ialah upaya penyembuhan oleh dokter terhadap penyakit yang diderita oleh pasiennya.Â
Pertanyaan kita adalah apakah komunikasi dokter-pasien yang berkarakter welas asih ini memiliki pengaruh terhadap kesembuhan penyakit pasien ?.
Sekaligus menjawab pertanyaan di awal tulisan ini, saya akan memaparkan beberapa penelitian ilmiah  yang menunjukkan adanya korelasi antara komunikasi yang welas asih dalam hubungan dokter-pasien terhadap kesembuhan penyakit.
PERSPEKTIF SAINS
Beberapa penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh dalam komunikasi antara dokter-pasien terhadap peningkatan status kesehatan ataupun kesembuhan penyakit pasien, diantaranya sebagai berikut :
- J R Coll Gen Pract (1979) dalam laporannya menulis bahwa berbagai penelitian yang telah dilakukan telah mengindikasikan adanya  banyak aspek dalam hubungan dokter-pasien yang memberikan kontribusi penting terhadap kepatuhan, kepuasan, dan pemulihan dari penyakit (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2159129/pdf/jroyalcgprac00122-0015.pdf)
- S H Kaplan , S Greenfield, J E Ware Jr (1989) melakukan penelitian terhadap hubungan antara kualitas interaksi antara dokter dan pasien dengan tingkat kesembuhan pada pasien pasien pasien yang menderita penyakit kronis.
Mereka menyimpulkan bahwa hubungan dokter-pasien amat berpengaruh  pada penyembuhan pasien. Mereka mewanti wanti bahwa hal ini harus diperhatikan dengan sungguh sungguh mengingat berbagai perubahan saat ini dalam sistem pelayanan kesehatan dapat mengancam hubungan ini.  (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/2646486/) - M A Stewart (1995) melakukan tinjauan ( review )  terhadap 21 penelitian dan menyimpulkan bahwa sebagian besar penelitian menunjukkan adanya korelasi antara komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien dengan peningkatan status kesehatan/kesembuhan penyakit ( https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/7728691/ )
- Levinson, W., Roter, D. L., Mullooly, J. P., Dull, V. T., & Frankel, R. M. (1997)
Penelitian ini menemukan  bahwa komunikasi yang baik antara dokter dan pasien dapat mengurangi tuntutan pasien terhadap dugaan malapraktik yang dilakukan oleh dokter (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/9032162/) - Kelly B. Haskard Zolnierek and M. Robin DiMatteo (2010)
Komunikasi dokter secara signifikan berkorelasi positif dengan ketaatan pasien.Terdapat risiko tidak patuh yang 19% lebih tinggi pada pasien yang dokternya berkomunikasi buruk dibandingkan dengan pasien yang dokternya berkomunikasi dengan baik (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2728700/) - Zoppi, K., Epstein, R. M., & Isenberg, H. (2011) menemukan bahwa komunikasi yang baik dalam  pelayanan/tindakan kesehatan sangat berkorelasi dengan ketaatan pasien terhadap upaya pengobatan. Komunikasi adalah faktor penting yang dapat dikendalikan oleh para dokter dalam membantu pasien mereka untuk patuh (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2728700/)
MASALAH HUBUNGAN DOKTER-PASIEN
Sita Jayalakshmi , Sudhindra Vooturi menulis sebuah artikel yang menceritakan adanya masalah dalam hubungan dokter dan pasien. Walaupun kajian mereka  hanya memotret bidang neurosain klinis saja, namun setidaknya hal ini bisa menggambarkan bagaimana realitas hubungan dokter-pasien di negara mereka. Mari kita ikuti penuturan mereka berikut ini :
 'Hubungan pasien dengan dokter itu merupakan cerminan dari masyarakat.
Masyarakat yang berorientasi pada 'rating' (pen.- skala atau angka yang mencerminkan tingkat kepuasan atau kualitas dari produk atau layanan ) dan  'feedback' (umpan balik) telah menjadikan hubungan dokter pasien ini sekadar sebagai hubungan antara penyedia layanan dengan konsumen.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh komersialisasi di bidang kesehatan yang biasanya menyertai globalisasi. Selain itu,  derasnya arus informasi dari sumber yang  berpotensi salah  juga membuat pasien untuk segera mengambil langkah hukum dalam kasus pengalaman tak menyenangkan selama pengobatan atau juga hanya karena ketidakpuasan.
Undang Undang Perlindungan Konsumen dan komersialisasi layanan medis inilah yang boleh jadi berdampak buruk pada hubungan dokter dan pasien' (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27891018/)
Lalu, Y Y Shvets pada tahun 2022 ,menggambarkan bagaimana kenyataan hubungan antara dokter dan pasien di Rusia di dalam sebuah sebuah artikel yang berjudul The Concept of Patient And Doctor Dignity In The Russian Federation.
 Artikel ini mengupas persoalan martabat hubungan dokter dan pasien di Federasi Rusia dalam konteks realitas medis modern, sebagai berikut :Â
 ' Saat ini, ada masalah akut terkait penurunan kepercayaan pasien terhadap dokter. Meskipun perkembangan teknologi canggih dan munculnya metode pengobatan modern yang efektif meningkatkan efektivitas pemulihan namun interaksi manusia antara pasien dan dokter menjadi kurang diperhatikan.
Keadaan ini memunculkan masalah ketidakpercayaan terhadap metode pengobatan dan ketegangan psikologis, yang bisa menjadi faktor penghambat penyembuhan.
Hal ini juga mendorong pasien untuk terus menerus mengganti dokter guna membandingkan pendapat para spesialis, mencari informasi tentang penyakitnya di internet bahkan sampai melakukan diagnosa sendiri dan tindakan pengobatan mandiri.
Sementara itu, terjadi peningkatan yang signifikan dalam jumlah kasus kasus yang berkaitan dengan menurunnya martabat dokter. Hal ini mengancam berkurangnya rasa hormat masyarakat terhadap tenaga medis, rasa kecewa terhadap profesi mereka dan meningkatnya situasi konflik. Oleh karena itu, selain menggunakan semua teknologi medis yang tersedia saat ini, sangat penting bagi dokter untuk mematuhi prinsip martabatnya dan martabat pasien, serta tidak kehilangan hubungan kemanusiaan yang murni dengan pasien. (https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/36385091/)
Tampaknya,merosotnya martabat hubungan dokter dan pasien yang terjadi di India maupun di Rusia, boleh jadi menggambarkan hubungan dokter-pasien di banyak negara era medis modern saat ini, termasuk di Indonesia.
Prof.Dr. Sutan Remi Sjahdeni, SH di dalam bukunya Hukum Kesehatan Tentang Hukum Malapraktik Kesehatan bahkan sampai menuliskan bab khusus tentang banyaknya tuntutan dan gugatan pasien terhadap dokter di Indonesia yang diduga melakukan malapraktik. Beliau dengan tegas menyebutkan bahwa kasus kasus malapraktik yang muncul di masyarakat itu ibarat gunung es yang puncaknya sedikit muncul di tengah lautan.
KESIMPULAN
Bertolak dari paparan di atas, kita menyimpulkan  :Â
- Hubungan Dokter-Pasien Berkeadilan Bermartabat yang diwujudkan dalam bentuk komunikasi yang welas asih amat penting dalam upaya penyembuhan penyakit pasien.
- Komunikasi dokter dan pasien yang baik akan berdampak positip terhadap kepatuhan pasien dan berbagai upaya yang dilakukan dokter untuk mempercepat pemulihannya dari penyakit ini, telah terbukti secara ilmiah lewat berbagai penelitian/riset yang telah dilakukan.
- Saat ini, telah terjadi krisis martabat dalam hubungan dokter dan pasien di era globalisasi ini yang diakibatkan oleh industrilisasi bidang kesehatan, komersialisasi hubungan dokter pasien, derasnya arus informasi yang sering kali tidak valid (sahih) dan adanya pandangan bahwa hubungan dokter-pasien itu hanya sekadar hubungan antara penyedia layanan/barang dengan konsumennya.Â
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka untuk mengatasi atau mengatisipasi kemungkinan terjadinya  masalah dalam hubungan dokter dan pasien di Indonesia, tampaknya kita harus mekonstruksi kembali hubungan dokter-pasien dengan menerapkan azas, kaedah dan prinsip prinsip hubungan yang berkeadilan dan bermartabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H