Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Mata

Eye is not everything. But, everything is nothing without eye

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Perubahan Alur Penjaminan Kacamata BPJS, Pelayanan Menjadi Substandar?

10 November 2019   12:50 Diperbarui: 12 November 2019   05:55 5081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mulai tanggal 1 November sampai dengan 31 Desember 2019, BPJS Kesehatan (BPJS) melakukan uji coba perubahan alur penjaminan pelayanan kacamata buat para peserta JKN-KIS.

Delapan belas kota yang melakukan uji coba adalah Medan, Banda Aceh, Lhokseumawe, Bukittinggi, Padang, Jambi, Palembang, Pangkal Pinang, Prabumulih, Curup, Lubuk Linggau, Bengkulu, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, dan Manado.

Perubahan seperti apa yang akan dilaksanakan pada uji coba ini?

Selama ini, pasien pasien yang menderita gangguan penglihatan dan memerlukan alat bantu kacamata harus dirujuk ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) atau rumah sakit oleh dokter umum yang bekerja di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti puskesmas ataupun klinik.

Di rumah sakit, pasien-pasien ini akan diperiksa oleh dokter spesialis mata yang kemudian membuat resep kacamata. Setelah resep kacamata dilegalisasi, pasien membawanya ke optik yang bekerjasama dengan BPJS untuk 'ditebus' dengan kacamata.

Dalam uji coba tersebut, BPJS mengubah alur ini, pasien tidak lagi perlu dirujuk ke rumah sakit untuk memperoleh resep kacamata, cukup lewat dokter umum di FKTP saja.

Lalu, apa yang menjadi latarbelakang diberlakukannya perubahan alur penjaminan pelayanan kacamata ini  ?

Dalam laporan Utilisasi Pelayanan Kacamata di FKRTL tahun 2018, BPJS menyampaikan bahwa lebih dari 1.35 juta kasus yang dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan alat bantu kacamata selama kurun waktu 2018.

Dengan memotong alur pelayanan, BPJS mengasumsikan akan dapat menahan 1.35 juta lebih rujukan ke rumah sakit serta mencegah biaya CBGs atau pembayaran klaim ke rumah sakit lebih dari 390 milyar rupiah. 

RANAH KOMPETENSI

Pertanyaan kita ialah apakah dokter umum yang bekerja di FKTP memiliki kompetensi untuk menangani penyakit gangguan penglihatan (Kelainan Refraksi) seperti melakukan pemeriksaan , menegakkan diagnosis, menentukan lensa koreksi kacamata serta membuat resep kacamata  ?

Selama ini, yang menangani kasus kasus Kelainan Refraksi serta memberikan resep kacamata adalah dokter spesialis mata di rumah sakit.

Terkait dengan pertanyaan di atas, BPJS menyodorkan 2 aturan yang dijadikan landasan hukum oleh BPJS untuk menerapkan perubahan alur penjaminan pelayanan kacamata ini, yakni Keputusan Menteri Kesehatan nomor 514 tahun 2015 serta Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia pada tahun 2012.

Di dalam kedua regulasi tersebut memang disebutkan bahwa dokter umum memiliki kompetensi untuk menangani kasus kasus Kelainan Refraksi secara tuntas dan mandiri dengan level kompetensi 4a, serta berwewenang memberikan resep kacamata.

Kasus Kelainan Refraksi yang dimaksud terdiri dari miopia (rabun jauh/mata minus) , hipermetropia (rabun jauh/mata plus), astigmatisme (mata silinder) dan presbiopia (rabun baca/mata tua)

Namun, harus buru buru digarisbawahi -masih mengacu kepada dokumen di atas- bahwa kasus kasus Kelainan Refraksi yang dapat ditangani oleh dokter umum di FKTP hanyalah kasus kasus ringan saja atau Kelainan Refraksi ringan........!!

Lalu, apa saja kriteria Kelainan Refraksi ringan itu?

Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami), sebagai satu satunya organisasi profesi dokter spesialis mata yang diakui oleh pemerintah RI telah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan Kelainan Refraksi ringan ialah:

'Kelainan Refraksi yang dapat dikoreksi (diperbaiki) dengan lensa kacamata paling besar sferis -3 (minus tiga) pada kasus miopia, sferis +3 (plus tiga) pada kasus hipermetropia dan lensa kacamata silindris paling besar 2 D (dua diopteri) silindris pada kasus astigmatisme'.

Harus juga dicatat, bahwa setelah pemberian lensa kacamata di atas, penglihatan pasien harus dapat mencapai tajam penglihatan normal (disebut emetropia) yang ditunjukkan dengan notasi 6/6 pada alat pemeriksaan.

Perdami juga menegaskan bahwa penanganan kasus kasus Kelainan Refraksi ringan dengan kriteria di atas dapat dilakukan secara tuntas sampai dengan meresepkan kacamata oleh dokter umum di FKTP
(surat PP Perdami kepada Dirjen Yankes Kemenkes, no.0275/Perd.XIV/Sek/7/2019).

RANAH RUJUKAN
Keterangan di atas  menjelaskan bahwa dokter umum di FKTP memang dapat menangani Kelainan Refraksi serta memberikan resep kacamata, namun hanya pada kasus kasus yang ringan saja.

Sedangkan,  kasus kasus Kelainan Refraksi dengan tingkat sedang dan berat (lebih dari sferis minus/plus 3 dan lebih dari silindris 2) atau setelah pemberian lensa kacamata tajam penglihatan pasien tidak bisa mencapai emetropia ('normal'), maka harus dirujuk ke dokter spesialis mata di rumah sakit, karena kasus kasus ini berada diluar ranah kompetensi dokter umum.

Berapa jumlah kasus kasus Kelainan Refraksi ringan yang dirujuk ke rumah sakit selama ini ?. BPJS tidak melaporkannya.

Namun, berdasarkan pengalaman empirik, kasus kasus Kelainan Refraksi tingkat ringan menempati porsi 50 %-60 % dari semua kasus Kelainan Refraksi yang memerlukan alat bantu kacamata.

Berdasarkan hal ini, maka klaim BPJS yang akan menghentikan semua kasus kelainan refraksi yang dirujuk ke rumah sakit (lebih dari 1.35 juta kasus), sehingga dengan demikian dapat mencegah biaya klaim rujukan lebih dari 390 milyar rupiah, sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Kenapa ?

Karena, di dalam kasus kasus yang dirujuk tersebut terdapat juga kasus kasus Kelainan Refraksi dengan tingkat sedang dan berat yang memang harus dirujuk ke rumah sakit karena tidak dapat ditangani oleh dokter di FKTP.

Akibatnya, jumlah kasus Kelainan Refraksi yang bisa ditahan menjadi berkurang. Mungkin hanya tinggal 50% sampai 60% saja kasus kasus Kelainan Refraksi yang dapat ditangani oleh dokter di FKTP.

Ini baru dari sisi 'tingkat keparahan' Kelainan Refraksi.

KELAINAN/KELUHAN PENYERTA

Ada  kondisi kondisi tertentu pada mata pasien yang harus betul betul dicermati oleh dokter umum ketika menangani kasus kasus anomali refraksi di FKTP.

Kita menyebut kondisi kondisi tertentu ini dengan kelainan/keluhan penyerta atau underlying disease/symptom.

Salah satu kelainan/keluhan penyerta itu adalah apa yang disebut dengan Anisometropia.

Pada Anisometropia ditemukan adanya perbedaan tajam penglihatan dan perbedaan lensa koreksi kacamata yang cukup besar (sama atau lebih dari 3 diopteri) antara mata kanan dan mata kiri.

Jika Anisometropia tidak betul betul ditangani, maka akan menimbulkan keluhan keluhan yang tidak mengenakkan seperti pusing/sakit kepala, mual, penglihatan ganda sampai muntah.

Lalu, dalam jangka waktu tertentu, akan menyebabkan 'lumpuhnya' fungsi salah satu mata yang dikenal dengan Ambliopia atau Lazy Eye (mata malas). Mata malas dapat memunculkan kelainan lain yakni Tropia (mata juling) dengan berbagai keluhan subjektifnya. Kelainan penyerta lainnya adalah kelainan media refraksi, riwayat diabetes mellitus, hipertensi dan lain lain.

Kelainan kelainan dan keluhan keluhan penyerta ini bahkan tidak jarang ditemukan bersamaan dengan Kelainan Refraksi ringan, yang penanganannya tidak lagi bisa dilakukan oleh dokter umum, tetapi harus dirujuk ke dokter spesialis mata di rumah sakit.

Tentu saja, keadaan keadaan seperti ini akan semakin mempersempit ruang gerak pelayanan dokter umum di FKTP. 

Jika hal ini tidak diperhatikan dengan sungguh sungguh, maka penatalaksanaan kasus kelainan refraksi bukan saja tidak mencapai hasil yang diinginkan, namun justru dapat 'mencederai' penglihatan mata pasien.

MASALAH DOKTER FKTP

KIta menyadari buat dokter di FKTP, memang tidak mudah untuk menangani kelainan refraksi dan mendeteksi kelainan kelainan penyertanya.

Hal ini disebabkan pelayanan mereka lebih terfokus kepada kelainan ataupun penyakit lain yang menjadi prioritas untuk ditangani di FKTP, disibukkan dengan berbagai tugas dan keharusan melayani banyak pasien, waktu kerja yang terbatas dan yang paling menyedihkan...... tidak adanya sarana dan prasarana yang mendukung mereka untuk melakukan pemeriksaan.

Karena itulah, dalam pandangan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) , setelah menelaah kesiapan sarana dan prasarana, sumber daya manusia serta penjaminan  kapitasi, kasus kasus Kelainan Refraksi tidak dimasukkan ke dalam 100 jenis penyakit yang dapat ditangani oleh dokter di FKTP (lihat  surat PB IDI kepada Menteri Kesehatan nomor 01788/PB/E.1/09/2019, 17 September 2019)

Pengalaman saya mengajar CoAss dan dokter internship selama ini juga menunjukkan lemahnya pengetahuan dan keterampilan mereka dalam melakukan pemeriksaan, menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan kasus-kasus Kelainan Refraksi secara keseluruhan, boleh jadi dikarenakan durasi pengalaman dan pembelajaran yang terlalu singkat di rumah sakit pendidikan/jejaring. 

Apa yang bisa dicapai dengan hanya menjalani kepaniteraan klinik dan magang beberapa minggu saja di poliklinik mata ?.

Harap dicatat, kondisi di atas telah terjadi selama puluhan tahun di negeri tercinta ini. 

Kita tentu mendukung upaya BPJS untuk memberdayakan dokter umum dalam rangka memperkuat fungsi FKTP yang disebut-sebut sebagai gatekeeper, khususnya untuk menyukseskan program penjaminan pelayanan kacamata di FKTP.

Agar pelayanan kepada pasien tidak menjadi pelayanan yang substandar (di bawah standar) dan tetap terjaga kualitasnya, seyogyanya kita mengacu kepada PB IDI yang telah merekomendasikan pelatihan ulang buat seluruh dokter umum di Indonesia yang saat ini jumlahnya lebih dari 200 ribu orang, sebelum kebijakan ini benar benar akan diberlakukan oleh BPJS.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun