Sedangkan, Â kasus kasus Kelainan Refraksi dengan tingkat sedang dan berat (lebih dari sferis minus/plus 3 dan lebih dari silindris 2) atau setelah pemberian lensa kacamata tajam penglihatan pasien tidak bisa mencapai emetropia ('normal'), maka harus dirujuk ke dokter spesialis mata di rumah sakit, karena kasus kasus ini berada diluar ranah kompetensi dokter umum.
Berapa jumlah kasus kasus Kelainan Refraksi ringan yang dirujuk ke rumah sakit selama ini ?. BPJS tidak melaporkannya.
Namun, berdasarkan pengalaman empirik, kasus kasus Kelainan Refraksi tingkat ringan menempati porsi 50 %-60 % dari semua kasus Kelainan Refraksi yang memerlukan alat bantu kacamata.
Berdasarkan hal ini, maka klaim BPJS yang akan menghentikan semua kasus kelainan refraksi yang dirujuk ke rumah sakit (lebih dari 1.35 juta kasus), sehingga dengan demikian dapat mencegah biaya klaim rujukan lebih dari 390 milyar rupiah, sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Kenapa ?
Karena, di dalam kasus kasus yang dirujuk tersebut terdapat juga kasus kasus Kelainan Refraksi dengan tingkat sedang dan berat yang memang harus dirujuk ke rumah sakit karena tidak dapat ditangani oleh dokter di FKTP.
Akibatnya, jumlah kasus Kelainan Refraksi yang bisa ditahan menjadi berkurang. Mungkin hanya tinggal 50% sampai 60% saja kasus kasus Kelainan Refraksi yang dapat ditangani oleh dokter di FKTP.
Ini baru dari sisi 'tingkat keparahan' Kelainan Refraksi.
KELAINAN/KELUHAN PENYERTA
Ada  kondisi kondisi tertentu pada mata pasien yang harus betul betul dicermati oleh dokter umum ketika menangani kasus kasus anomali refraksi di FKTP.
Kita menyebut kondisi kondisi tertentu ini dengan kelainan/keluhan penyerta atau underlying disease/symptom.
Salah satu kelainan/keluhan penyerta itu adalah apa yang disebut dengan Anisometropia.