Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Mata

BERKHIDMAT DALAM HUKUM KESEHATAN

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Jangan Mudah Menuduh Malapraktik!

19 Oktober 2024   20:10 Diperbarui: 19 Oktober 2024   20:46 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

by dr.Riki Tsan,SpM,MH (STHM-MHKes V)

' Medical malpractice is a form of professional negligence’
( Prof. John D. Blum, Guru Besar di School of Law, Loyola University Chicago )

-----

Di dalam sidang ujian tesis, pada tanggal 1 Oktober 2024 di STHM Prodi MHKes - setelah memaparkan berbagai pendapat para pakar hukum – saya menyimpulkan bahwa hukum pidana medik adalah hukum kedokteran yang menerapkan hukum pidana dari berbagai aturan perundang undangan yang berkaitan dengan  tenaga medis ( dokter / dokter gigi ) dan pasien dalam ruang lingkup pelayanan kesehatan atau tindakan medis pada praktik profesi kedokteran.

Sedangkan, tindak pidana medik sebagai topik bahasan di dalam hukum pidana medik adalah tindak pidana yang dilakukan oleh tenaga medis ( dokter dan dokter gigi ) dengan melanggar standar profesi dan standar pelayanan.

Ada 2 ciri khusus dari tindak pidana medik ini.
Pertama.
Tindak pidana medik hanya berkaitan dengan hubungan antara tenaga medis ( dokter/dokter gigi )  dan pasien di dalam ruang lingkup pelayanan kesehatan atau tindakan medis. Diluar ruang lingkup ini, perbuatan atau tindakan dokter tidak lagi menjadi ranah hukum pidana medik tetapi menjadi ranah hukum pidana umum.

Kedua.
Di dalam tindak pidana medik, tindak pidana  dilakukan oleh tenaga medis akibat kelalaian atau kealpaan saja. Sedangkan, tindak pidana yang dilakukan oleh tenaga medis dengan sengaja, tidak digolongkan ke dalam tindak pidana medik, namun dimasukkan ke dalam tindak pidana umum.

Sebagaimana kita ketahui, di dalam hukum pidana, dikenal 2 bentuk kesalahan yuridis yakni kesengajaan ( dolus ) dan kelalaian atau kealpaan ( culpa ).  Keduanya  lazim disebut  dengan mens rea  ( guilty mind ) dari suatu perbuatan pidana.

Terkait dengan kesengajaan atau dolus ini , Prof. Satochid Kartanegara menyimpulkannya dalam 2 kata yakni wellen dan witten. Artinya, seorang pelaku tindak pidana memang meniatkan/menghendaki ( wellen )  untuk melakukan perbuatan jahat dan dia mengetahui ( wetten ) serta menginginkan akibat dari perbuatan jahat yang dilakukannya tersebut.

Pertanyaan kita ialah kenapa unsur kesengajaan ini tidak dikenal di dalam tindak pidana medik ini ?.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita akan menguraikan dulu prinsip prinsip di dalam praktik profesi kedokteran.

PRINSIP PRAKTIK PROFESI KEDOKTERAN

Menurut hemat saya, ada 4 prinsip pokok yang menjadi ruh atau jiwa  dari praktik profesi kedokteran.

Pertama, etik profesi.
Saat dikukuhkan menjadi dokter,seorang dokter diwajibkan mengucapkan sumpah dokter. Diantara lafal sumpah dokter tersebut berbunyi :

’Demi Allah, saya bersumpah :
Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.
Saya akan menjalankan tugas dengan cara yang terhormat dan bersusila sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter.
Saya tidak akan menggunakan pengetahuan saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan sekalipun diancam.

Kedua. Non - Maleficence.
Prinsip non - maleficence secara tegas melarang tindakan yang merugikan atau memperburuk kondisi pasien. Prinsip ini disebut juga ’primum non necere’ atau ’first do no harm’.

Ketiga, adanya perikatan hukum
Hubungan antara dokter dan pasien bukanlah hubungan biasa biasa saja. Hubungan keduanya adalah sebuah perikatan hukum yang disebut dengan kontrak terapeutik dimana objek utama perikatan adalah menolong dan membantu pasien untuk kesembuhannya dari penyakitnya dengan upaya yang sebaik baiknya ( inspanning verbintenis ).

Keempat, kepatuhan terhadap standar.
Dalam melakukan upaya terbaik terhadap pasien pasiennya, semua tindakan dokter wajib mengacu kepada standar profesi, standar pelayanan, standar operasional prosedur serta kebutuhan kesehatan pasien dan setiap tindakannya tersebut wajib mendapatkan persetujuan dari pasiennya.

Secara singkat, praktik profesi kedokteran adalah implementasi kewajiban dokter dalam menolong pasien untuk memulihkan kembali kesehatannya dengan melakukan upaya terbaik dengan sedapat mungkin tanpa menimbulkan  kerugian ataupun cedera dan tindakan tersebut dilakukan dengan mengacu kepada standar yang sudah ditetapkan. Empat prinsip pokok tersebut menjadi pilar atau fondasi  dari praktik profesi dokter.

Dengan demikian, mustahil di dalam suatu praktik profesi dokter ditemukan adanya kesengajaan dokter untuk melakukan perbuatan yang mencederai atau merugikan pasien. Karena itulah, ketika ditemukan adanya tindakan medis yang diniatkan untuk mencederai atau merugikan pasien secara sengaja, maka sesungguhnya tindakan tersebut bukan lagi bagian dari praktik profesi kedokteran. Si dokter hanya menggunakan keahliannya dalam profesi kedokteran untuk melakukan perbuatan jahat.

Persis seperti seorang tentara yang mahir menggunakan senjata api, namun kemahirannya ini ia gunakan untuk membunuh orang yang tidak bersalah. Tindakan jahat/kriminal (pidana) yang dilakukan tenaga medis dengan sengaja menjadi unsur tindak pidana umum, bukan tindak pidana medik.

Berdasarkan pemikiran di atas, saya tidak sependapat dengan Dr. Redyanto Sidi, SH,MH dan Dr. dr. Beni Satria, MHKes, SH, MH di dalam buku yang berjudul ’ Pembuktian Dalam Pidana Medik ( Kajian Teoritis dan Praktis ) ’ yang mengatakan bahwa  diantara contoh tindak pidana medik ialah eksploitasi dan pelecehan seksual serta pemerkosaan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya ( halaman 45  s/d 50 ).

Menurut hemat saya, perbuatan eksploitasi, pelecehan seksual dan pemerkosaan itu jelas tidak termasuk ke dalam ruang lingkup tindakan medis dan perbuatan jahat yang pasti dilakukan secara sengaja ini - seperti telah saya paparkan di awal tulisan ini - tidak termasuk ke dalam  tindak pidana medik.

Dengan demikian, eksploitasi dan pelecehan seksual  serta pemerkosaan merupakan tindak pidana umum dan karena itu diurus oleh hukum pidana umum, bukan diurus oleh hukum pidana medik walaupun perbuatan itu ( kalau memang benar benar terjadi dalam kenyataan ) dilakukan oleh seseorang yang berprofesi sebagai dokter.

Sementara itu, Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, di dalam bukunya ’ Hukum Kesehatan Tentang Hukum Malapraktik Tenaga Medis ’ , mengatakan :
’ Malapraktik tenaga medis adalah perilaku tenaga medis (dokter) berupa tindakan medis yang karena kesengajaannya atau kelalaiannya tidak sesuai dengan langkah langkah yang ditentukan di dalam standar prosedur operasional medis (halaman 88) atau,  ’Dengan demikian, berkenaan dengan unsur mens rea dari malapraktik tenaga medis dapat berupa kesengajaan ( dolus ) atau kelalaian ( culpa ) sebagai berikut....’ (halaman 91).

Ketika membicarakan soal perbedaan malapraktik medik dan kelalaian, J.Guwandi SH seorang penulis buku buku hukum kesehatan, menuturkan bahwa malpractice ( malapraktik ) mempunyai arti yang lebih luas daripada negligence ( kelalaian ), karena di dalam malapraktik selain tindakan yang termasuk dalam kelalaian juga ada tindakan tindakan yang termasuk dalam kategori kesengajaan    ( intentional, dolus, opzettelijk ) dan melanggar undang undang ( Kelalaian Medik, BP FKUI, Jakarta,1990, hal. 10 ).

Saya juga tidak sependapat dengan pandangan yang mengatakan bahwa suatu tindakan medis di dalam praktik profesi dokter dapat saja dilakukan dengan niat kesengajaan yang diketahui  dapat mengakibatkan cedera ataupun kematian pasien  dan kemudian disebut dengan malapraktik atau malapraktik medik seperti yang disampaikan oleh kedua penulis di atas. Malapraktik medik – kalaupun mau disebut demikian – hanya dilakukan karena adanya kelalaian saja, dan bukan karena kesengajaan.

MALAPRAKTIK  ITU KELALAIAN !

Pandangan bahwa malapraktik medik itu hanya berkaitan dengan unsur kelalaian, di’amini’ oleh beberapa pakar terkenal hukum kesehatan. Mereka mengidentikkan atau memaknai malapraktik medik itu    sebagai kelalaian  atau  - dalam konteks medik - medical negligence ( kelalaian medik ) atau professional negligence ( kelalaian profesi )

Prof. John D. Blum, Guru Besar di School of Law, Loyola University Chicago mengatakan :
‘medical malpractice is a form of professional negligence in which measurable injury occurs to a plaintiff patient as the direct result of an act or omission by the defendant practitioner - Malapraktik medik adalah suatu bentuk kelalaian profesional di mana terjadinya cedera pada pasien ( sebagai penggugat ) yang diakibatkan  secara langsung oleh tindakan atau kelalaian tenaga medis ( sebagai tergugat )’

WMA ( World Medical Association ) mengartikan malapraktik medik sebagai berikut :  
‘ Medical malpractice involves the physician's failure to conform to the standard of care for treatment of the patient's condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient ‘. –  ‘ Malpraktik medis  merupakan kegagalan dokter untuk mematuhi standar pelayanan dalam pengobatan pasien, atau kurangnya keterampilan, atau kelalaian dalam memberikan pelayanan kepada pasien, yang menjadi penyebab langsung cedera pada pasien ‘

Menurut Prof. Dr. dr. M.Jusuf Hanafiah,SpOG (K) , malapraktik medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.

Prof. Dr. Veronica Komalawati,S.H.,M.H. Guru Besar di Fakultas Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung mengatakan :
‘ istilah malapraktik berasal dari ‘malpractice’ yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban - kewajiban yang harus dilakukan oleh dokter.

Pengertian kesalahan disini adalah kelalaian atau ketidak hatihatian dalam menjalankan praktik profesi dan bukan kesengajaan dengan niat untuk mencederai pasien.

Istilah kelalaian inipun sebetulnya dapat kita temukan di dalam aturan perundangan undangan, seperti Undang Undang Kesehatan nomor 17 tahun 2023 pasal 193 menyebutkan :
’ Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh Sumber Daya Manusia Kesehatan Rumah Sakit’.

Di dalam salah satu putusannya,  Mahkamah Agung menyamakan Malapraktik Medik ini dengan kelalaian, seperti putusan peninjauan kembali berikut ini :

’....penggugat tidak dapat menuntut dokter tersebut yang diduga melakukan malpraktek ( medical malpractice ) atau kelalaian medis    ( medical negligence), sebagai tindakan melawan hukum ( Putusan nomor 352 PK/Pdt/2010 pada kasus operasi katarak di Palembang )

Karena itulah ketika berbicara tentang malapraktik, Dr. dr. Nasser, SpDVE,D.Law, salah seorang anggota Board of Governor, World Association For Medical Law ( WAML ) menegaskan untuk menggunakan istilah kelalaian, yang dalam konteks ini disebut dengan Kelalaian Medis.

Istilah ini , tutur beliau, lebih tepat digunakan ketimbang istilah Malapraktik yang berkonotasi negatif dan tendensius di tengah tengah masyarakat yang cenderung memvonis dokter sebagai pihak yang bersalah yang menyebabkan pasien cedera ataupun meninggal dunia.

Karena itu, jangan mudah menuduh malapraktik !.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun