Oleh karenanya, sungguh disayangkan ketika melihat suami yang langsung melakukan pemukulan, atau penganiayaan terhadap istri yang melakukan kesalahan. Padahal Allah melalui ayat di atas telah memberikan langkah-langkah yang lebih bijak, dan mendidik.
Allah tidak hanya memberikan arahan, sebagaimana yang telah disebutkan di atas kepada suami. Dalam surah An-Nisa ayat 128, Allah juga memberikan arahan kepada istri bagaimana menghadapi suami yang "eror", sebagai berikut:
Terjemah: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik, dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Nusyuz pada ayat ini, sebagaimana penelusuran penulis terhadap gagasan Zaitunah Subhan, Usamah Rifa'i, dan Jalalain, maksudnya adalah kedurhakaan suami. Misalnya, suami bersikap keras terhadap istrinya, tidak mau menggaulinya dan tidak ingin memberikan haknya, serta acuh terhadap istrinya. Atau dengan berbuat semena-mena, dan pelit dalam memberi nafkah. Adakalanya juga karena marah atau mata suami telah terpikat kepada wanita yang lebih cantik dari istrinya. Oleh karena itu, yang harus dilakukan istri adalah melakukan perdamaian.
Sayyid Quthb menjelaskan dalam Tafsir fi Zhilalil Quran: di Bawah Naungan Alquran, sebagaimana hampir senada dengan yang disampaikan oleh Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya, bahwa perdamaian yang dimaksud itu adalah dengan merelakan sebagian haknya, baik hak lahir maupun batin, dengan harapan suami dapat kembali (baik) kepadanya. Dan semua ini setelah istri melihat dengan segenap usaha, dan perkiraannya terhadap semua kondisinya, bahwa yang demikian itu lebih baik, dan lebih mulia baginya daripada bercerai.
Karenanya tidak heran, sebagian dari kita mungkin pernah melihat seorang istri yang rela bertahan dalam rumah tangga, meski haknya sebagian telah hilang, hanya karena mempertahankan hubungan, lebih dari itu bisa saja sebagian mereka mempertimbangkan nasib anak-anak mereka. Sikap demikian mereka lakukan dengan berharap suami dapat berbuat baik lagi kepadanya, dan menghindari perceraian.
Mengapa ketika istri bermasalah suami diperintahkan untuk menasihati, pisah tempat tidur, dan memukul? Sedangkan ketika suami bermasalah hanya diselesaikan dengan perdamaian?
Ungkapan dari Siti Zainab dalam tulisannya Manajemen Konflik Suami Istri dalam Perspektif Alquran yang diterbitkan pada jurnal Studi Agama dan Masyarakat, dapat menjawab pertanyaan tersebut. beliau menerangkan bahwa:
"Permasalahan ini akan berkaitan dengan etika hubungan suami-istri. Di mana sudah menjadi kewajiban suami untuk memberi pendidikan dan pengajaran kepada istri sebelum ataupun sesudah terjadinya konflik, hal tersebut bisa dilakukan dengan lisan seperti menasehati, dan juga bisa secara perbuatan contohnya meninggalkan istri dari tempat tidur dan memukulnya.Â
Sedangkan istri tidak mempunyai kewajiban untuk memberi pendidikan kepada suaminya namun dalam pergaulannya bisa saja istri menasehati suami secara lisan dengan cara yang baik. Namun penyelesaian masalah secara fisik, tidaklah dianjurkan mengingat konsekuensi dan fisik wanita yang tidak sepadan dengan pria.Â
Sehingga jika hal tersebut dilakukan justru bisa membahayakan diri istri sendiri. Selain itu, perempuan diketahui lebih pandai berkomunikasi secara lisan dibandingkan dengan pria, sehingga pendekatan yang utama dalam menyelesaikan masalah dengan suaminya dengan mengadakan perdamaian yang sangat mengandalkan komunikasi lisan yang memang merupakan keahlian dari seorang wanita adalah hal yang sangat masuk akal dan relevan."
Lalu, bagaimana ketika masalah itu datang dari keduanya, yakni istri dan suami? Dalam hal ini, Allah menjelaskannya dalam suran An-Nisa ayat 35:
Terjemah: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki, dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.