“Ini coba kamu lihat dulu. Siapa tahu kamu suka. Cincin ini baru datang tadi pagi. Belum sempat saya keluarkan.” Bapak setengah baya itu mengeluarkan kotak merah dari dalam laci tersembunyi di bawah etalase.
“Harga aslinya lima puluh ribu. Tapi engga apa-apa. Buat kamu tiga puluh ribu aja. Untuk penglaris. Soalnya dari tadi pagi toko sepi. Siapa tahu kamu bawa rejeki untuk toko ini.” Bapak itu menyodorkan sebuah cincin tebal dengan garis di tengahnya.
“Wah, bagus sekali cincinnya Pak. Sederhana tapi model pasirnya bikin jadi unik.” Adi melihat cincin itu dengan mata berbinar-binar.
“Tapi saya perlunya cincin couple, Pak.” Raut muka Adi mendadak jadi sedih. Ia teringat tujuan awalnya datang ke toko itu.
“Lho, itu cincin couple, Dik. Coba kamu lepaskan cincin itu satu sama lainnya. Itu aslinya dua cincin. Satu cincin dibelah dua. Jadi cincin-cincin itu ada magnet di tengahnya untuk merekatkannya jadi satu.” Bapak tua itu menerangkan kepada Adi sambil tertawa kecil.
“Beneran Pak, dua cincin! Keren banget cincinnya!” Adi memekik kegirangan ketika mengetahui cincin itu sesuai dengan keinginannya.
“Terima kasih ya, Pak. Saya suka sekali dengan cincin ini.” Adi memasukkan kotak kecil yang berisi cincin tersebut ke dalam saku celananya.
“Sama-sama, Dik.” Bapak penjaga kios itu menganggukkan kepala sambil tersenyum.
Adi bersiul-siul riang meninggalkan kios kecil itu. Ia sudah membayangkan wajah Ica saat menerima cincin darinya. Tak sabar rasanya Adi bertemu dengan Ica dan memberikan cincin itu kepadanya.
Bunyi klakson mobil yang lewat di depan Adi menyadarkannya dari lamunan akan masa lalu.
“Di mana gerangan dirimu saat ini, Ca?” Adi berkata lirih. Hatinya terasa perih. Ia bertekad kuat untuk kembali ke kota masa kecilnya. Namun gadis tujuannya yang ia cari malah tidak ada di sana. Entah ada di mana. Mungkin di belahan dunia lain.