“Baik sekali Mbak Ica mau kasih banyak jambunya ke kamu. Tolong sampaikan terima kasih Ibu ke Mbak Ica ya.” Bu Yem mengeluarkan buah-buah jambu tersebut dari plastik dan menatanya di piring.
“Oh iya Di, kamu mesti ingat ya posisi kamu dengan Mbak Ica. Walaupun Mbak Ica dan keluarganya baik sama kamu, baik sama keluarga kita, tapi kita mesti tahu diri. Jangan ngelunjak. Kita ini orang miskin. Bapakmu hanya seorang tukang becak. Ibumu cuma tukang cuci setrika.” Bu Yem menghela napas, berhenti sejenak.
“Mereka orang kaya. Punya rumah besar. Hartanya banyak. Jadi jangan harap kamu bisa bersanding satu level yang sama dengan mereka. Paham kamu, Nak?” Bu Yem melanjutkan pembicaraannya sambil merapikan buah-buah jambu yang memenuhi piring.
“Ya Bu, Adi paham.” Adi menunduk. Tiba-tiba aura kegembiraannya lenyap.
“Dan mulai sekarang, panggil Mbak Ica dengan sebutan Mbak. Jangan langsung panggil nama. Kamu mengerti?”
“Baik Bu, Adi mengerti.” Adi merasakan perih dalam hatinya. Entah kenapa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H