Mohon tunggu...
Rika Apriani
Rika Apriani Mohon Tunggu... Novelis - Writer, author, blogger. Nama Pena: Zanetta Jeanne.

Creating my own imaginary world through writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Tak Pantas Untukmu

19 Maret 2024   13:13 Diperbarui: 19 Maret 2024   13:16 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pexels.com / KawaiiArt1980 

“Eh, tu cewek lewat lagi tuh.”

Anak-anak laki usia remaja yang biasa nongkrong di poskamling bersuit-suit menggoda anak perempuan cantik yang lewat di hadapan mereka. Sedangkan Adi acuh tak acuh tetap asyik memainkan gitarnya di antara keriuhan teman-temannya.

Duh, mereka lagi. Gerutu Ica dalam hati.

Ica merapatkan jaket merah mudanya dan menurunkan tudung jaketnya hampir menutupi muka. Ia berjalan setengah berlari di siang hari bolong itu. Berusaha melewati kumpulan anak lelaki yang sedang menggoda dirinya secepat mungkin.

“Tunggu!” Tiba-tiba Adi meletakkan gitarnya dan mengejar Ica.

Ica tetap melanjutkan langkahnya tapi kali ini ia sedikit melambatkan temponya. Adi berusaha mengimbangi jalannya Ica yang tidak mau berhenti dan mengikutinya dari samping.

“Kemarin kita belum sempat ngobrol banyak di rumah kamu. Soalnya ada ibuku di situ.” Adi membuka pembicaraan dengan sedikit terengah-engah setelah mengejar Ica tadi.

“Oh ya, barangkali kamu bingung kenapa kemarin aku bilang ke mereka teman-temanku bahwa kamu itu milikku, itu hanya untuk menjaga kamu supaya kamu tidak diganggu oleh mereka lagi. Jadi jangan bingung lagi ya. Maaf kalau sudah bikin kamu salah sangka terhadapku.” Tutur Adi menjelaskan ke Ica sambil nyengir dan menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

“Terima kasih ya kamu sudah mau nolongin aku.” Ica melirik sekilas ke Adi kemudian memalingkan mukanya ke depan lagi sambil tetap berjalan lurus. “Apa ada sesuatu yang aku bisa lakukan untuk membalas kebaikanmu itu?” Ica bertanya dengan ragu.

“Eh, ga usah. Ga usah. Aku bantuin kamu karena ya cuma mau nolongin aja. Temen-temenku itu emang kadang-kadang suka keterlaluan bandelnya.” Sahut Adi dengan cepat.

Tiba-tiba Adi teringat sesuatu. “Ngomong-ngomong, aku boleh minta sesuatu ga? Anggap aja sebagai balas jasa dari kamu.” Adi menggaruk-garuk lagi kepalanya.

“Tadi katanya ga usah.” Ica tertawa kecil. “Boleh. Bilang aja. Kalau aku bisa kasih, pasti akan aku berikan.”

“Aku boleh minta buah jambu yang ada di halaman rumah kamu? Aku lihat kemarin sudah banyak buah yang matang di pohonnya.” Pinta Adi dengan ragu-ragu.

“Buat ibuku, soalnya ibuku suka banget sama buah jambu. Boleh?” Adi memandang wajah Ica sambil harap-harap cemas.

“Oh, minta jambu. Kirain mau apa. Boleh. Ambil aja ya.” Jawab Ica dengan senyuman manisnya.

“Wah, terima kasih banyak ya Ica.” Sahut Adi dengan wajah berbinar-binar.

Siang hari yang terik di rumah kecil nan asri.

“Aku pulang! Bu! Bu!" Teriak Adi memanggil-manggil ibunya di rumah.

“Ada apa sih Nak, teriak-teriak begitu. Lagipula tumben jam segini kamu sudah pulang. Biasanya nongkrong dulu di poskamling depan.” Bu Yem memandangi wajah anaknya dengan penuh selidik.

“Lihat ini apa yang kubawakan untuk Ibu. Buah jambu kesukaan Ibu. Sudah lama Ibu mengidamkannya kan.” Adi menyodorkan satu plastik warna putih berisi banyak buah jambu yang sudah ranum.

“Wah, buah jambunya merah-merah sekali, Nak. Banyak lagi. Darimana kamu dapatnya, Di?” Bu Yem bertanya dengan curiga.

“Itu dari pohon jambu di pekarangan rumah Ica, Bu. Sudah lama Ibu melihat-lihat ke arah pohon itu kan pada saat buahnya matang. Jangan khawatir Bu, Adi sudah minta izin ke Ica kok.” Sahut Adi menjelaskan.

“Baik sekali Mbak Ica mau kasih banyak jambunya ke kamu. Tolong sampaikan terima kasih Ibu ke Mbak Ica ya.” Bu Yem mengeluarkan buah-buah jambu tersebut dari plastik dan menatanya di piring.

“Oh iya Di, kamu mesti ingat ya posisi kamu dengan Mbak Ica. Walaupun Mbak Ica dan keluarganya baik sama kamu, baik sama keluarga kita, tapi kita mesti tahu diri. Jangan ngelunjak. Kita ini orang miskin. Bapakmu hanya seorang tukang becak. Ibumu cuma tukang cuci setrika.” Bu Yem menghela napas, berhenti sejenak.

“Mereka orang kaya. Punya rumah besar. Hartanya banyak. Jadi jangan harap kamu bisa bersanding satu level yang sama dengan mereka. Paham kamu, Nak?” Bu Yem melanjutkan pembicaraannya sambil merapikan buah-buah jambu yang memenuhi piring.

“Ya Bu, Adi paham.” Adi menunduk. Tiba-tiba aura kegembiraannya lenyap.

“Dan mulai sekarang, panggil Mbak Ica dengan sebutan Mbak. Jangan langsung panggil nama. Kamu mengerti?”

“Baik Bu, Adi mengerti.” Adi merasakan perih dalam hatinya. Entah kenapa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun