Setelah selesai, ia melihat Khadafi di depan gerbang sembari memandangi spanduk besar bertuliskan Akhlak. Ia mempertanyakan kredibilitasnya sebagai suami, suami yang baik atau dayyuts'?Â
Farida dengan muka lega, mengajak Khadafi mengunjungi warteg di bilangan Jalan Raya Bogor, "ayah lapar ya? Makan yuk". Khadafi tanpa jawaban langsung mengajak Farida pergi dari tempat itu dan berhenti di sebuah warteg yang tak jauh dari sana.Â
Farida memberikan es teh manis dan menu yang sangat disukai oleh Khadafi, Kerang balado ditambah gorengan tempe.Â
"Yah, makan dulu ya.", Farida sembari melahap makanan kesukaannya, kentang balado.Â
Khadafi memulai pembicaraan bahwa sebenarnya ia tak ingin membuat Farida bekerja.Â
" Kenapa kamu yah melarang aku untuk maju?, aku seperti ini karena ingin membantu ekonomi keluarga kita. Aku tidak ingin membebanimu karena permintaanku sangat banyak". Ucap Farida
"Aku tak ingin kamu digoda laki-laki lain, dikhianati oleh rekan kerja, lelah dan stress karena bekerja. Anak-anak kita bagaimana bila kamu tidak bersama mereka di rumah?", Khadafi dengan nada tinggi.Â
" Aku sudah pernah bilang, aku ini sarjana dan kamu pernah bilang aku boleh bekerja asalkan menjadi pegawai negeri. Anak-anak tidak selamanya ku lepas sendirian, aku tetap mencintaimu dan aku berkali-kali berdoa untuk meluruskan niatku bekerja. Aku hanya butuh izinmu, ikhlas-mu dan tolong percayalah kepadaku". Farida sembari meneteskan air mata.Â
Khadafi menangis dalam hatinya, ia teringat bahwa istrinya mungkin merasa dirinya tak mampu mencukupi hidupnya. Ia merasa lemah, tak berdaya, dan keras hatinya tidak meridhoi istrinya itu.Â
Hari itu kembali seperti semula, pulang dan menjalani hidup seperti biasanya. Sampai akhirnya pengumuman tiba, ternyata nilai Farida memiliki kesamaan dari satu orang namun takdir Tuhan tidak ada yang tahu, ia tak lolos dari urutan.Â
Farida menangis sejadi-jadinya. Ia kecewa dan memeluk suaminya.Â