~ketika hari berlalu, tanpa sadar ada doa yang sebelumnya kita lafalkan yang ternyata dikabulkan oleh Tuhan~.Â
-----
Pesan masuk di akun Instagram berbunyi. Ternyata ada sebuah video ceramah ustadz yang terkenal karena adabnya. Video itu berjudul "Alasan isteri harus di rumah".Â
Sontak saja Farida memasang muka pahit ke suaminya, Khadafi. Di hari minggu itu, Farida hanya diam tanpa lanjut menyapa Khadafi. Selama di kasur pun ia tak ingin menyapa suaminya, Khadafi mulai gusar.Â
Di hati Khadafi yang merasakan beban berat karena menjadi ayah dua orang anak, terbesit di pikiranya untuk membimbing Farida menjadi istri yang shalihah. Ia tahu, Farida berambisi menjadi seorang pegawai negeri di sebuah kementerian di Jakarta. Khadafi bukan tak mampu menjadi pegawai negeri, tapi kesempatan itu harus dibatasi manakala peluang penerimaan harus dipangkas oleh kebijakan presiden baru. Apakah ini sebuah tanda bahwa bekerja sebagai pegawai negeri tak lagi bisa diterima keluarga ini?Â
....Â
Lain lagi dengan Farida, sudah hampir satu tahunan mempelajari soal-soal penerimaan pegawai negeri, sembari mengurus anak dia sempatkan membaca dan latihan. Niatnya sekeras batu, pikirannya menjulang layak pergi ke langit, hati nya tak lagi seperti kaca murahan yang mudah pecah. Ia niatkan untuk dapat bekerja, tak lagi memusingkan persoalan ekonomi yang menjerat. Tak ada lagi keinginan yang tertunda dengan alasan "takut menjadi beban suami karena keinginan pribadi".Â
Farida tulus ingin bekerja karena membantu membangun rumah tangga yang lebih sehat, tak lagi bertengkar hanya karena uang. Gaji suaminya yang sebenarnya cukup masih harus melawan kejamnya riba. Farida termenung di kasur itu, di balik badanya ada Khadafi yang juga sedang termenung, tak ingin membuat istrinya bekerja karena kemampuan dirinya yang sedang terbatas.Â
Besok adalah ujian pegawai negeri di Jakarta Timur, Farida meminta Khadafi mengantarnya. Malam itu ditutup dengan kalimat: "besok tolong antarkan aku yah, aku mau ujian, semoga kamu doa untuk aku bisa diterima".
...Â
Pagi itu datang, setelah ibadah subuh Farida mulai bergegas diri. Khadafi memasang muka pahit, sendu pagi itu tak lagi membawa banyak pembicaraan. Di daerah Ciracas, ia melepaskan isterinya untuk berjuang bersama para manusia lain merebutkan status pegawai negeri. Substansi ekonomi memang melawan kodrat yang ditetapkan kitab suci dan mayoritas ulama, Farida mengerjakan soal-soal dengan gigih, teliti dan sabar.Â
Setelah selesai, ia melihat Khadafi di depan gerbang sembari memandangi spanduk besar bertuliskan Akhlak. Ia mempertanyakan kredibilitasnya sebagai suami, suami yang baik atau dayyuts'?Â
Farida dengan muka lega, mengajak Khadafi mengunjungi warteg di bilangan Jalan Raya Bogor, "ayah lapar ya? Makan yuk". Khadafi tanpa jawaban langsung mengajak Farida pergi dari tempat itu dan berhenti di sebuah warteg yang tak jauh dari sana.Â
Farida memberikan es teh manis dan menu yang sangat disukai oleh Khadafi, Kerang balado ditambah gorengan tempe.Â
"Yah, makan dulu ya.", Farida sembari melahap makanan kesukaannya, kentang balado.Â
Khadafi memulai pembicaraan bahwa sebenarnya ia tak ingin membuat Farida bekerja.Â
" Kenapa kamu yah melarang aku untuk maju?, aku seperti ini karena ingin membantu ekonomi keluarga kita. Aku tidak ingin membebanimu karena permintaanku sangat banyak". Ucap Farida
"Aku tak ingin kamu digoda laki-laki lain, dikhianati oleh rekan kerja, lelah dan stress karena bekerja. Anak-anak kita bagaimana bila kamu tidak bersama mereka di rumah?", Khadafi dengan nada tinggi.Â
" Aku sudah pernah bilang, aku ini sarjana dan kamu pernah bilang aku boleh bekerja asalkan menjadi pegawai negeri. Anak-anak tidak selamanya ku lepas sendirian, aku tetap mencintaimu dan aku berkali-kali berdoa untuk meluruskan niatku bekerja. Aku hanya butuh izinmu, ikhlas-mu dan tolong percayalah kepadaku". Farida sembari meneteskan air mata.Â
Khadafi menangis dalam hatinya, ia teringat bahwa istrinya mungkin merasa dirinya tak mampu mencukupi hidupnya. Ia merasa lemah, tak berdaya, dan keras hatinya tidak meridhoi istrinya itu.Â
Hari itu kembali seperti semula, pulang dan menjalani hidup seperti biasanya. Sampai akhirnya pengumuman tiba, ternyata nilai Farida memiliki kesamaan dari satu orang namun takdir Tuhan tidak ada yang tahu, ia tak lolos dari urutan.Â
Farida menangis sejadi-jadinya. Ia kecewa dan memeluk suaminya.Â
"Jika ini memang doa mu, maka Tuhan memang lebih menyayangimu".
Farida menangis disaksikan oleh kedua anaknya, hingga membuat Khadafi merasa bersalah.Â
Ia berkata dalam hatinya, "Tuhan, engkau maha segalanya. Engkau bisa mengabulkan doa istriku, tapi mengapa engkau lebih memilih mengabulkan doa ku? Jika aku yang engkau pilih, mohon berikan istriku ketabahan dan bukalah pintu rezeki kami seluas-luasnya hingga membuat istriku tak perlu takut akan kehidupan".Â
Khadafi melanjutkan doa nya, "jika memang istriku ditakdirkan untuk bekerja menjadi pegawai negeri olehmu, maka aku ikhlas. Mohon berikan apa yang ia mau ya rabb".Â
Farida mendengar hal itu dibalik tembok, ia berdoa kepada tuhan, "Ya rabb, suamiku sudah ikhlas. Bila ini takdirku maka berikanlah. Namun jika bukan takdirku, aku ikhlas menjadi ibu rumah tangga di rumah yang melayani suami dan merawat anak-anak dengan baik".Â
...Â
Kehidupan berjalan semestinya, Farida melamar lagi ke instansi lain di penerimaan pegawai negeri di tahun berikutnya. Doa dia terjawab dan doa Khadafi pun terjawab, Farida diterima menjadi pegawai negeri begitu pun Khadafi yang pada akhirnya memiliki profesi yang sama dengan istrinya.Â
...Â
Tulisan ini dipersembahkan untuk para istri yang ingin kembali bekerja pasca melahirkan dan merawat anak. Terkadang, ada suatu doa yang memang tidak terkabul walaupun setiap hari diucapkan. Doa itu terbentur karena doa orang lain yang derajatnya sangat jauh dari doa kita, yaitu doa orang tua, suami dan orang-orang yang pernah kita sakiti.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H