Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hidup Tidak Berakhir Ketika Menjadi Ibu Rumah Tangga

24 Juni 2023   11:50 Diperbarui: 24 Juni 2023   18:22 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu lalu pada suatu sore anak saya yang bungsu minta main ke rumah tetangga yang punya cucu masih kecil, baru berusia sekitar 1 tahun, dan ditinggal di rumah kakek-neneknya selama orang tuanya bekerja. Si Adek sedang senang-senangnya dipanggil 'kakak', tapi selalu menolak punya adik.

Setiba di sana mulailah basa-basi seputar cuaca dan, selayaknya dua atau tiga perempuan yang sudah menikah ketika berkumpul, pertanyaan kapan si Budhe (begitu sapaan si tetangga) nambah cucu.

"Tau nih, mantu saya baru pergi ke Jepang buat kerja. Anak saya mau resign dan nyusul ke sana. Saya udah bilang ke anak saya, kayak Tante itu lho (saya, maksudnya, udah dipanggil 'tante', hiks), bisa lama LDR sama suaminya. Ngapain resign, ngapain balik ke dapur? Nggak eman udah disekolahin tinggi-tinggi?"

Sedikit gambaran tentang latar belakang si Budhe. Beliau sampai pensiun bekerja di sebuah pabrik. Anaknya tiga orang sehingga beliau selalu dipusingkan dengan urusan pembantu, pengasuh anak, dan seputar itu. Sekarang di masa pensiun kesibukan beliau adalah mengurus cucu.

Reaksi pertama saya adalah saya menolak dijadikan percontohan untuk keputusan LDR atau tidak dari anak si Budhe. LDR pada kasus saya adalah antara kota Jakarta dan Surabaya, lah LDR pada kasus anak si Budhe adalah antara kota Jakarta dan Tokyo. Nggak apple to apple lak'an.

Pertimbangan untuk menjalani Long Distance Relationship itu banyak, Saudara-saudara. Boleh didengerin di sini.

Pertimbangannya lebih kompleks dari sekedar menahan rindu, mengurus dua dapur, ongkos pesawat, dan anak yang jarang bertemu salah satu dari kedua orang tuanya. Dan kasus LDR satu pasangan tidak bisa dijadikan percontohan untuk pasangan yang lain.

Itu tidak masuk akal. Orang yang terlibat beda, situasinya beda, tantangannya beda, gimana bisa disamaratakan? Namun, apa pun alasannya, kita juga tidak punya kewajiban untuk menjelaskan tindakan kita ke orang-orang selain yang berkepentingan saja, seperti keluarga inti dan sebagian keluarga besar.

Anak si Budhe kemudian menimpali, bagaimana mungkin tidak ikut suami ke Jepang, ke negara yang menawarkan fasilitas yang maju. Dia lahir, tumbuh besar di Bekasi, ya pasti ingin anaknya menikmati lingkungan yang jauh lebih baik.

Berhubung saya pernah sekolah di Tokyo, saya pun ditanya-tanya tentang kehidupan di sana. Berkali-kali si Budhe memotong dengan 'Nggak sayang ijazahnya?', 'Ibuk udah capek kerja biar kamu S2, kok jadi ibu rumah tangga?', 'Kapan lagi jadi asisten manajer di BUMN?', sampai yang paling menohok 'Kamu bisa gitu ngurus anak sendiri?', dan seterusnya, dan sebagainya, pokoknya komentar-komentar yang bikin saya migrain dan bersimpati pada anak si Budhe.

Saya tuh gatel banget buat ngomong gini:

Budhe, hidup Budhe dan hidup anak Budhe tidak berakhir waktu anak Budhe jadi ibu rumah tangga.

Seperti banyak pintu dan banyak tahap di dalam kehidupan ini, menjadi ibu rumah tangga adalah salah satu pintu dan tahap saja yang dipilih dengan kesadaran penuh dan pertimbangan matang.

Apakah dengan menjadi ibu rumah tangga seseorang kehilangan jati diri? Tidak.

Apakah dengan menjadi ibu rumah tangga seseorang tidak bisa berkarya? Duh, sini saya kenalin ke Institut Ibu Profesional dan Kelas Literasi Ibu Profesional. Orang-orang di sana ada yang bekerja di ranah publik, ada yang menemani anak di rumah, ada yang menjadi ahli di media sosial, pokoknya semuanya hebat dengan cerita perjuangan dan bakat masing-masing.

Saya melihat keputusan anak si Budhe untuk pindah ke Jepang sudah bulat dan si Budhe masih keukeuh anaknya nggak akan bisa ngurus rumah dan balita tanpa bantuannya.

Memang selain mengurus cucu, sehari-hari Budhe juga mengurus rumah dan memasak untuk keperluan anak, menantu, dan cucunya. Pokoknya tetangga-tetangga sekitar rumah sering kasihan melihat wajah Budhe yang kelelahan setiap sore.

Gimana nggak capek, wong semua dikerjakan sendiri di usia sepuh. Mama si anak terima beres saja setiap kali pulang bekerja dari Jakarta pukul 8, 9, atau 10 malam. Papa si anak jarang berada di rumah karena bekerja di proyek.

Jadi selama ini si Budhe membiarkan dirinya digandoli dan sekarang dia keberatan ketika anaknya mau mandiri!

Saya jadi mengingat-ingat reaksi kedua orang tua saya ketika saya memutuskan menjadi ibu rumah tangga. Keputusan saya waktu itu tepat karena anak pertama kami lahir dalam keadaan sakit dan membutuhkan monitoring. Akan tetapi, mengingat natur dan rotasi di pekerjaan suami saya, itu adalah keputusan yang paling tepat bagi keluarga kami.

Saya tekankan lagi, bagi keluarga kami, ya. Bukan bagi keluarga kamu, keluarga dia, atau keluarga orang lain. Bagi kami saja.

Orang tua saya berprinsip, ibu yang pintar akan membesarkan anak-anak yang pintar. Ibu perlu menempuh pendidikan tinggi demi mendidik anak-anaknya sendiri nanti. Ibu saya yang bekerja sebagai seorang profesional sampai pensiun, sampai sekarang pun masih mengkhawatirkan kondisi mental saya yang dulunya aktif secara sosial dan tiba-tiba harus di rumah saja dengan anak.

Namun, dalam 15 tahun ada banyak perubahan terjadi, terutama dari sisi teknologi dan bagaimana kita berelasi. Berelasi dan berkomunitas bisa dilakukan secara daring dan luring.

Saya tidak pernah kekurangan teman. Saya menemukan tempat untuk mengembangkan bakat. Dan saya bisa bekerja (menulis novel, mendesain kitchen set, mandorin tukang, mengajar bahasa Korea, bikin podcast. All in) sambil mengasuh sendiri tiga orang anak (sambil sehari-hari masih menyapu, mengepel, mencuci, menyetrika, memasak, dan antar-jemput sana-sini. All in).

Apakah menjadi ibu rumah tangga berarti semuanya lancar jaya senantiasa? Ya tentu tidak. Seperti semua hal di dunia ini, kadang saya di atas, kadang saya di bawah. Kadang saya sangat termotivasi, kadang saya menjalani hari dengan sikap 'ah, sudahlah'.

And it's okay.

Saya menepuk pundak anak si Budhe dan menyemangatinya ketika berpamitan pulang. Dia tahu saya diundang ke Korea tahun lalu karena memenangkan lomba menulis, jadi dia tahu bahwa menjadi ibu rumah tangga bukan sekedar sumur, dapur, kasur seperti yang ditakut-takuti ibunya.

Dunia di luar sana masih terbuka lebar meskipun menjadi ibu rumah tangga.

Bersiaplah, Mbak!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun