Orang tua saya berprinsip, ibu yang pintar akan membesarkan anak-anak yang pintar. Ibu perlu menempuh pendidikan tinggi demi mendidik anak-anaknya sendiri nanti. Ibu saya yang bekerja sebagai seorang profesional sampai pensiun, sampai sekarang pun masih mengkhawatirkan kondisi mental saya yang dulunya aktif secara sosial dan tiba-tiba harus di rumah saja dengan anak.
Namun, dalam 15 tahun ada banyak perubahan terjadi, terutama dari sisi teknologi dan bagaimana kita berelasi. Berelasi dan berkomunitas bisa dilakukan secara daring dan luring.
Saya tidak pernah kekurangan teman. Saya menemukan tempat untuk mengembangkan bakat. Dan saya bisa bekerja (menulis novel, mendesain kitchen set, mandorin tukang, mengajar bahasa Korea, bikin podcast. All in) sambil mengasuh sendiri tiga orang anak (sambil sehari-hari masih menyapu, mengepel, mencuci, menyetrika, memasak, dan antar-jemput sana-sini. All in).
Apakah menjadi ibu rumah tangga berarti semuanya lancar jaya senantiasa? Ya tentu tidak. Seperti semua hal di dunia ini, kadang saya di atas, kadang saya di bawah. Kadang saya sangat termotivasi, kadang saya menjalani hari dengan sikap 'ah, sudahlah'.
And it's okay.
Saya menepuk pundak anak si Budhe dan menyemangatinya ketika berpamitan pulang. Dia tahu saya diundang ke Korea tahun lalu karena memenangkan lomba menulis, jadi dia tahu bahwa menjadi ibu rumah tangga bukan sekedar sumur, dapur, kasur seperti yang ditakut-takuti ibunya.
Dunia di luar sana masih terbuka lebar meskipun menjadi ibu rumah tangga.
Bersiaplah, Mbak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H