Saya tuh gatel banget buat ngomong gini:
Budhe, hidup Budhe dan hidup anak Budhe tidak berakhir waktu anak Budhe jadi ibu rumah tangga.
Seperti banyak pintu dan banyak tahap di dalam kehidupan ini, menjadi ibu rumah tangga adalah salah satu pintu dan tahap saja yang dipilih dengan kesadaran penuh dan pertimbangan matang.
Apakah dengan menjadi ibu rumah tangga seseorang kehilangan jati diri? Tidak.
Apakah dengan menjadi ibu rumah tangga seseorang tidak bisa berkarya? Duh, sini saya kenalin ke Institut Ibu Profesional dan Kelas Literasi Ibu Profesional. Orang-orang di sana ada yang bekerja di ranah publik, ada yang menemani anak di rumah, ada yang menjadi ahli di media sosial, pokoknya semuanya hebat dengan cerita perjuangan dan bakat masing-masing.
Saya melihat keputusan anak si Budhe untuk pindah ke Jepang sudah bulat dan si Budhe masih keukeuh anaknya nggak akan bisa ngurus rumah dan balita tanpa bantuannya.
Memang selain mengurus cucu, sehari-hari Budhe juga mengurus rumah dan memasak untuk keperluan anak, menantu, dan cucunya. Pokoknya tetangga-tetangga sekitar rumah sering kasihan melihat wajah Budhe yang kelelahan setiap sore.
Gimana nggak capek, wong semua dikerjakan sendiri di usia sepuh. Mama si anak terima beres saja setiap kali pulang bekerja dari Jakarta pukul 8, 9, atau 10 malam. Papa si anak jarang berada di rumah karena bekerja di proyek.
Jadi selama ini si Budhe membiarkan dirinya digandoli dan sekarang dia keberatan ketika anaknya mau mandiri!
Saya jadi mengingat-ingat reaksi kedua orang tua saya ketika saya memutuskan menjadi ibu rumah tangga. Keputusan saya waktu itu tepat karena anak pertama kami lahir dalam keadaan sakit dan membutuhkan monitoring. Akan tetapi, mengingat natur dan rotasi di pekerjaan suami saya, itu adalah keputusan yang paling tepat bagi keluarga kami.
Saya tekankan lagi, bagi keluarga kami, ya. Bukan bagi keluarga kamu, keluarga dia, atau keluarga orang lain. Bagi kami saja.