Biskuit tinggal sisa beberapa keping --> simpan di kulkas, mungkin nanti ada yang mau memakannya.
Semua dilakukan atas nama kata MUNGKIN, mungkin nanti saya perlu, mungkin nanti saya ingin makan, mungkin nanti saya teringat, tapi pada kenyataannya semua kemungkinan itu berujung pada kealpaan.
Kami sampai lupa sudah memasukkan barang apa saja ke dalam kulkas.
Yang lebih menusuk hati adalah ada banyak barang yang disimpan di dalam kulkas atas nama kenang-kenangan.
Oleh-oleh penganan dari kerabat biasanya dimasukkan ke dalam kulkas tanpa mengecek expiry date. Ketika beres-beres kulkas barulah kami menemukannya teronggok di sebuah sudut, membusuk, tidak bisa lagi dimakan, dan kami pun diliputi rasa menyesal dan bersalah pada si kerabat yang sudah susah-payah membawakan makanan yang tidak bisa kami nikmati.
Memori akan hari itu membuat saya menjadi orang yang cukup relijius dalam menjaga kebersihan kulkas ketika sudah berumah tangga. Akan tetapi, ada masa-masa di mana saya terlalu sibuk, terlalu lengah, dan terlalu lain-lain sehingga saya terkaget-kaget juga ketika membersihkan kulkas dengan anak-anak kemarin siang.
Semua hal yang terjadi pada masa kecil saya terulang kembali, dan suami saya mengucapkan kalimat yang persis sama dengan bapak saya ketika itu.
Mengapa kita repot-repot menyimpan kalau toh akan membuang barang-barang itu?
Setelah selesai membereskan kulkas dan memandangi kantong plastik besar berisi segala macam sampah, barulah kami mengucapkan lantang apa yang kami pikirkan:
1. Isi kulkas adalah cermin dari kepribadian pemiliknya.Â
Apakah dia orang yang menyukai kebersihan atau tidak, menyukai kerapian atau tidak, tipe penimbun atau tidak, tipe terlalu sayang barang (padahal barang itu pasti cepat kadaluwarsa) atau tidak, dan seterusnya.Â