Waktu saya kecil dan tumbuh besar, saya melihat kulkas sebagai bagian krusial di dalam keluarga.
Orangtua menyimpan bahan makanan di mana? Kulkas.
Orangtua menyimpan makanan sisa dari malam hari di mana? Kulkas.
Orangtua menaruh sepatu saya yang basah karena hujan di mana? Di belakang kulkas, supaya besoknya sepatu tidak lembap-lembap amat.
Sebegitu pentingnya peran sebuah kulkas sehingga saya ingat betapa paniknya orangtua saya ketika kulkas di rumah mulai menunjukkan tanda-tanda akan rusak.
Kulkas pertama kami bermerk National berwarna hijau lumut, dibeli oleh Mama setelah menabung setengah gaji selama satu tahun penuh, satu tahun setelah saya lahir.Â
Setelah berulang kali bermasalah dengan sistem pembekuan es, pembuangan air sisa, dan sebagainya, akhirnya kulkas tua pensiun waktu saya berusia 20 tahun.
Nah, waktu hendak membeli kulkas baru, orangtua saya pun berpikir kompleks. Karena barang pertama mereka sedemikian bagusnya, mampu bertahan sedemikian lamanya, mereka jadi sangat teliti membeli barang pengganti.Â
Di tengah ketiadaan internet ketika itu, orangtua saya mengadakan market research dengan bertanya kepada banyak orang, para pemilik kulkas merk lain dan para pemilik toko elektronik.
Kulkas merk apa yang bagus? Maklum merk National sudah tidak terbeli mengingat jumlah anak sudah 3 orang, jadi mereka terbuka pada opsi lain.
Akhirnya pilihan mereka jatuh kepada merk Electrolux karena waktu itu mereka masih berkiblat kepada pemahaman bahwa merk dari Eropa Barat masih lebih bagus daripada merk dari sesama negara Asia (mobil pertama keluarga kami bermerk Fiat, dan motor pertama keluarga kami bermerk Vespa).
Saya masih ingat benar hari ketika kami membongkar isi kulkas lama dan hendak memindahkannya ke dalam kulkas yang baru datang.
ADA BEGITU BANYAK SAMPAH.
Sepertinya hanya satu kalimat itu yang bercokol di dalam kepala lima orang manusia yang membersihkan kulkas yang sebenarnya hanya berukuran seiprit.
Pertama-tama, kami mengeluarkan seluruh isi kulkas lama dan menaruhnya di atas meja makan. Lalu kami mengeluarkan semua rak dan mencucinya. Terakhir, kami menata ulang semua barang dari kulkas lama di kulkas baru.
Kami terus terkejut-kejut karena ternyata kami menyimpan barang-barang seperti ini:
1. Bahan makanan mentah yang tidak berada di dalam kotak plastik (meskipun kala itu tupperware belum menjadi populis), tapi masih di dalam kantong plastik dari pasar atau di dalam panci.
2. Sisa-sisa snack, seperti biskuit yang baru dibuka setengahnya, kacang kulit yang baru dibuka setengahnya, permen-permen.
3. Obat-obatan, yang ternyata tidak terpusat di kotak P3K yang ada di rumah.
4. Dan sebagainya (terlalu horor untuk saya tulis di sini).
Sambil membereskan kulkas saya terus menerus mendengar orangtua saya bergumam:
Mengapa kita repot-repot menyimpan kalau toh akan membuang barang-barang itu?
Benar sekali. Sering kali kami memperlakukan kulkas seperti tempat penyimpanan sementara DAN tempat pembuangan akhir dari barang-barang yang kemungkinan besar tidak akan kami pakai lagi.
Obat turun panas tinggal sisa sedikit nih --> simpan di kulkas, mungkin nanti masih perlu.
Biskuit tinggal sisa beberapa keping --> simpan di kulkas, mungkin nanti ada yang mau memakannya.
Semua dilakukan atas nama kata MUNGKIN, mungkin nanti saya perlu, mungkin nanti saya ingin makan, mungkin nanti saya teringat, tapi pada kenyataannya semua kemungkinan itu berujung pada kealpaan.
Kami sampai lupa sudah memasukkan barang apa saja ke dalam kulkas.
Yang lebih menusuk hati adalah ada banyak barang yang disimpan di dalam kulkas atas nama kenang-kenangan.
Oleh-oleh penganan dari kerabat biasanya dimasukkan ke dalam kulkas tanpa mengecek expiry date. Ketika beres-beres kulkas barulah kami menemukannya teronggok di sebuah sudut, membusuk, tidak bisa lagi dimakan, dan kami pun diliputi rasa menyesal dan bersalah pada si kerabat yang sudah susah-payah membawakan makanan yang tidak bisa kami nikmati.
Memori akan hari itu membuat saya menjadi orang yang cukup relijius dalam menjaga kebersihan kulkas ketika sudah berumah tangga. Akan tetapi, ada masa-masa di mana saya terlalu sibuk, terlalu lengah, dan terlalu lain-lain sehingga saya terkaget-kaget juga ketika membersihkan kulkas dengan anak-anak kemarin siang.
Semua hal yang terjadi pada masa kecil saya terulang kembali, dan suami saya mengucapkan kalimat yang persis sama dengan bapak saya ketika itu.
Mengapa kita repot-repot menyimpan kalau toh akan membuang barang-barang itu?
Setelah selesai membereskan kulkas dan memandangi kantong plastik besar berisi segala macam sampah, barulah kami mengucapkan lantang apa yang kami pikirkan:
1. Isi kulkas adalah cermin dari kepribadian pemiliknya.Â
Apakah dia orang yang menyukai kebersihan atau tidak, menyukai kerapian atau tidak, tipe penimbun atau tidak, tipe terlalu sayang barang (padahal barang itu pasti cepat kadaluwarsa) atau tidak, dan seterusnya.Â
Sebagai orang-orang yang cenderung bersih, rapi, dan tertib, kami malu karena penataan di dalam kulkas kami ternyata tidak menggambarkan itu.
2. Kulkas sering kali kita jadikan sebagai tempat menyimpan barang-barang, dengannya kita malas berurusan.Â
Seperti sisa obat, sisa snack, semua sisa-sisa yang membuat kita lelah untuk berpikir apa yang seharusnya kita lakukan dengannya, atau sebenarnya kita malas saja untuk menghadapi konsekuensi.Â
Membuang makanan sisa membuat kita merasa bersalah kepada para petani yang mengupayakan dan orang tua yang membeli, sehingga kita melemparkannya ke dalam kulkas, menutup pintunya, dan berharap kita akan teringat akannya nanti-nanti (dan ini 90% kemungkinan tidak terjadi).
3. Kulkas mengajari kami bahwa perilaku menunda-nunda hanya akan membawa keburukan dan sampah.Â
Revelasi nomor tiga ini berkaitan dengan revelasi nomor dua. Kita memperlakukan kulkas seperti lemari buku atau lemari baju yang selalu siap menerima tampungan barang, tanpa kita menyadari keterbatasan kapasitasnya dan bagaimana isi lemari-lemari itu akan membludak pada satu titik. Menunda-nunda berarti menghadapi konsekuensi dan keterkejutan yang lebih besar skalanya nanti.Â
Rasa malu, cemas, dan bersalah mengiringi kegiatan bersih-bersih dan berujung pada penyesalan: seandainya waktu itu saya langsung membereskan ini dan itu pasti hasilnya tidak akan seperti ini dan itu.Â
Ada makanan yang masih bisa dimakan sebelum expired, ada obat sisa yang masih bisa digunakan sebelum terlanjur membeli obat baru, dan seterusnya.
Berurusan dengan isi dan penataan kulkas rasanya seperti berurusan dengan hidup dan orang-orang di dalamnya. Keengganan untuk berurusan, tindakan menunda-nunda, hanya berujung pada penimbunan sampah yang sebenarnya bisa dihindari.
Don't put off till tomorrow what you can do today.
Jangan menunda-nunda. Urus sekarang apa yang bisa kita urus, baik di dalam kulkas maupun di dalam hubungan interpersonal. Bagaimana caranya?
1. Tetapkan batas.Â
Seberapa banyak kapasitas emosi yang bisa kita sediakan untuk orang lain, seperti halnya kapasitas kulkas yang bisa kita sediakan untuk kebutuhan pangan kita?Â
Kita harus menyiapkan rencana jika kapasitas kita sudah mentok dan masih ada barang/orang yang memaksa masuk.
2. Buang apa yang perlu dibuang.Â
Hubungan dengan sesama manusia itu seperti makanan yang punya tanggal kadaluwarsa. Jangan ngotot memegangi sesuatu yang kita akan buang pada akhirnya.Â
Analisis baik-baik, pikir dengan jernih, apakah ini yang kita inginkan dalam jangka panjang, atau tidak.
3. Belajar legowo.Â
Hidup berjalan terus, isi kulkas akan silih berganti, demikian pula orang-orang yang datang ke dalam dan pergi dari kehidupan kita. Terimalah dan berdamai dengannya.Â
Memang tidak ada yang abadi di dalam dunia ini. Kulkas saja bisa berusia 20 tahun sebelum is dead dan berakhir sebagai rongsokan.
Demikianlah filosofi yang saya bisa pelajari dari sebuah kulkas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H