Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Tiga Penyebab Seseorang Menjadi "Deadliner" Garis Keras

16 April 2021   17:07 Diperbarui: 16 April 2021   23:24 1218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang saya jelaskan pada bagian di atas, terkadang adrenaline rush yang saya alami dapat menimbulkan gagasan terbaik ketika saya berada di bawah tekanan. Terkadang, lho, tidak selalu. Begitu deadline terlampaui dan ide yang diperoleh dalam keadaan mepet itu bisa dieksekusi, entah mengapa saya menganggapnya sebagai sebuah keberhasilan.

Aneh, ya? Padahal seperti adrenaline rush yang muncul dan hilang tanpa dapat dikendalikan, gagasan terbaik atau apa pun yang diakibatkan oleh adrenaline rush dapat muncul dan hilang tanpa dapat diprediksi juga. Jika itu terjadi, maka lebih tepat saya menyebutnya sebagai sebuah kebetulan, dan bukan sebuah keberhasilan.

Keberhasilan demi keberhasilan yang diperoleh dalam keadaan under pressure itu melenakan dan menyesatkan. Saya menduga, poin nomor 3 ini adalah penyebab utama saya terus menjadi deadliner garis keras.

Setiap kali saya berhasil menyelesaikan sebuah tugas mepet tenggat waktu, saya menyelamati diri sendiri dan berpikir bahwa tidak ada yang mustahil. Begitu deadline berikutnya mendekati, saya akan terkenang-kenang akan keberhasilan yang semu itu dan mengulangi kesalahan yang sama: tidak segera memulai karena skala prioritas saya berantakan dan sikap perfeksionis saya berlebihan.

Untuk meniadakan poin nomor 3 ini saya harus kembali ke poin nomor 1 dan kemudian nomor 2. Mengapa tidak sebaliknya? Sikap perfeksionis saya mungkin berlebihan, tapi dia dapat dengan mudah dikalahkan oleh skala prioritas. Ketika skala prioritas memberi aba-aba waktunya mengerjakan sebuah tugas, saya harus mengabaikan ambisi saya untuk mulai bekerja di tengah kondisi ideal. Yang namanya deadline memiliki natur yang tidak fleksibel dan tidak ada pekerjaan yang dapat selesai kalau saya tidak memaksa diri menyelesaikannya.

Sebagai penutup, izinkan saya bertanya lagi: apakah kamu seorang deadliner? Apa kamu suka bekerja mepet tenggat waktu? Adakah hal yang kamu ingin ubah dari caramu menyelesaikan tugas-tugas? Share di kolom komentar, yuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun