Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Tiga Penyebab Seseorang Menjadi "Deadliner" Garis Keras

16 April 2021   17:07 Diperbarui: 16 April 2021   23:24 1218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2. Mereka yang berhenti bekerja mepet deadline. Ya, seperti contoh pukul 19:59 dan pukul 20:00 yang saya berikan di atas tadi. Orang-orang ini disebut sebagai deadliner. Mereka merasa belum tenang kalau belum mengerahkan semua daya dan upaya pada saat-saat terakhir menjelang akhir tenggat waktu. Saya termasuk di dalamnya.

Apa manfaat menjadi seorang deadliner, apalagi yang garis keras seperti saya? Kalau dipikir-pikir, dipikir-pikir sampai lama, manfaatnya sedikit sekali. Memang benar, di tengah adrenaline rush, terkadang gagasan terbaik dan tindakan tercepat bisa dikeluarkan. Akan tetapi, sering juga menjadi deadliner garis keras berarti saya lupa memasukkan banyak hal krusial ke dalam pekerjaan, yang seharusnya dapat masuk seandainya saya: 1) lebih tenang dan 2) punya lebih banyak waktu.

Jika saya membuat rasio antara kebaikan yang dibawa oleh adrenaline rush dan penyesalan yang dihasilkan oleh ketenangan pikiran dan kekurangan waktu, maka saya bisa memberikan angka 35 : 65. Terlihat jelas ya bahwa menjadi deadliner garis keras membawa lebih banyak mudarat daripada manfaat.

Sebuah kejadian baru-baru ini yang berkaitan dengan deadline yang sebenarnya sudah diberikan kepada saya jauh-jauh hari membuat saya merenungkan mengapa saya tidak juga bertobat dari kebiasaan menjadi seorang deadliner garis keras. Ketika saya mengingat-ingat masa lalu, saya tahu betul bahwa kebiasaan ini mulai terbentuk di tingkat SMA yang kemudian berlanjut ke tingkat kuliah, dan akhirnya menjadi kebiasaan yang membatu ketika mulai berkarir.

Kesamaan di antara proses pembelajaran di SMA dan universitas tempat saya belajar hanya satu: setiap hari selalu ada banyak tugas dengan deadline yang mepet. Ini sangat berbeda dengan di SD dan SMP saat PR, proyek, dan ujian berlangsung setiap hari, tapi dengan jadwal yang pas dan rutin. Pemberian tugas di SMA dan universitas tidak dialokasikan dengan merata, sehingga setiap hari saya merasa kelimpungan akibat beban kerja yang menumpuk, dan seringnya menumpuk secara tiba-tiba.

Seorang kakak kelas di universitas bahkan pernah berkata bahwa menjadi seorang deadliner adalah sebuah privilege yang mengajarkan kita berpikir cepat, bertindak tangkas dan gesit, dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Si kakak lupa menambahkan bahwa menjadi seorang deadliner juga berarti kelelahan dan kecemasan yang berlebihan setelah deadline itu terlampaui.

Setelah menemukan titik awal saya menjadi seorang deadliner (garis keras), saya memikirkan tiga penyebab dari kebiasaan yang saya ingin ubah setengah mati ini:

1. Skala Prioritas yang Berantakan

Terkadang skala prioritasnya sudah ada dan dibuat berdasarkan deadline yang paling mendekati atau tingkat kepentingan dari sebuah pekerjaan. Saya sudah memiliki gambaran akan mengerjakan tugas B setelah tugas A, mengerjakan tugas C setelah tugas B, dan seterusnya, dengan mempertimbangkan itu tadi: kapan tenggat waktunya dan seberapa pentingnya.

Namun demikian, lebih sering skala prioritas itu sengaja diabaikan karena berbagai alasan juga. Ah, tugas D membutuhkan waktu lebih singkat daripada tugas A, ya sudahlah kerjakan tugas D dulu. Atau tugas E terlihat lebih menarik dibandingkan tugas B, ya tidak apa-apalah kalau mengerjakan tugas E duluan.

Padahal urutan yang benar berdasarkan skala prioritas adalah A ke B ke C ke D ke E. Gara-gara banyak godaan dalam bentuk durasi waktu dan daya pikat, skala prioritas menjadi berantakan dan berubah menjadi D ke A ke E ke B ke C. Kalau sudah begini pertanyaannya akan menjadi: buat apa repot-repot membuat skala prioritas, dong?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun