Mohon tunggu...
Rijo Tobing
Rijo Tobing Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis buku kumpulan cerpen "Randomness Inside My Head" (2016), novel "Bond" (2018), dan kumpulan cerpen "The Cringe Stories" (2020) dalam bahasa Inggris. rijotobing.wordpress.com. setengah dari @podcast.thechosisters on Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Tiga Penyebab Seseorang Menjadi "Deadliner" Garis Keras

16 April 2021   17:07 Diperbarui: 16 April 2021   23:24 1218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pekerja deadline (Sumber: www.this.deakin.edu.au)

Halo, halo, apakah kamu seorang deadliner seperti saya? Sebelum kamu menjawabnya, yuk mundur sejenak ke arti dari kata deadliner itu sendiri.

Deadliner berakar dari kata deadline, atau tenggat waktu, atau batas waktu untuk penyelesaian suatu hal. Sering mendengar orang-orang bertanya: kapan DL-nya? DL yang dimaksud adalah si deadline itu, bukan dateline ya, please dong ah.

Setiap hal di dunia ini memiliki deadline. Waktu kita dalam sehari ada 24 jam yang dimulai dari pukul 00:00 sampai pukul 00:00 lagi yang menandakan hari yang baru. Jadi, deadline kita setiap hari adalah pukul 23:59. Itu adalah batas waktu kita harus menyelesaikan apa yang perlu kita selesaikan untuk hari itu.

Pendidikan memiliki deadline. Anak SD, SMP, dan SMA memiliki deadline durasi belajar mereka di setiap jenjang, yaitu 6, 3, dan 3 tahun. Deadline di universitas bersifat lebih fleksibel, tergantung kampus dan jurusan yang diambil. Hidup ini pun memiliki deadline yang hanya diketahui oleh Tuhan, Pencipta langit dan bumi dan manusia. Starting point setiap orang sudah jelas: hari di saat dia dilahirkan.

Deadline sangat berguna karena sepanjang hidup kita memiliki banyak sekali hal yang harus dikerjakan. Setelah sekolah, ada karir. Setelah karir, ada pernikahan. Setelah pernikahan, ada berkeluarga. Setelah berkeluarga, ada pensiun. Dan seterusnya.

Prosesnya terus menerus dan sepertinya nonstop. Semuanya kembali lagi kepada pilihan setiap orang: apakah akan menjalani jalur konvensional seperti itu atau, misalnya, memutuskan untuk tidak kuliah, keliling dunia, tidak menikah tapi kumpul kebo dan childfree.

Manusia bebas menentukan sesuai dengan pertimbangan dan pemikirannya.  Kita tidak perlu merasa marah atau kecut pada orang-orang yang terlihat berbeda dari kita. Di mata kita, dia terlalu liberal. Di mata dia, kita terlalu kolot. Yah, ujung-ujungnya pada sudut pandang yang dipakai.

Kurang lebih sudah mengerti ya arti kata deadline? Nah, sekarang, apa arti kata deadliner?

Deadliner adalah orang yang terus bekerja dan berusaha sampai mendekati, atau sampai mencapai deadline. Jadi, misalnya saya memiliki deadline mengumpulkan tugas menggambar mesin pada hari Senin pukul 20:00. Sampai dengan hari Senin pukul 19:59 saya akan terus mengecek dan memperbaiki tugas yang saya kerjakan. Begitu pukul 20:00 teng baru tugas itu saya kumpulkan. Hasilnya bagaimana? Entahlah, yang penting saya sudah berusaha mengerjakan dan sudah mengumpulkan.

sumber gambar: shutterstock.com
sumber gambar: shutterstock.com
Ada dua tipe manusia jika berkaitan dengan deadline:

1. Mereka yang berhenti bekerja jauh sebelum deadline. Mereka ini merasa lebih tenang kalau dapat menyelesaikan sebuah pekerjaan sebelum tenggat waktu yang diberikan. Perkara mereka mengerjakannya dengan teliti atau terburu-buru, hanya diri mereka sendiri yang tahu. Banyak orang yang menyelesaikan sebuah tugas jauh sebelum deadline karena mereka merasa bodo amat dan ingin cepat selesai saja.

2. Mereka yang berhenti bekerja mepet deadline. Ya, seperti contoh pukul 19:59 dan pukul 20:00 yang saya berikan di atas tadi. Orang-orang ini disebut sebagai deadliner. Mereka merasa belum tenang kalau belum mengerahkan semua daya dan upaya pada saat-saat terakhir menjelang akhir tenggat waktu. Saya termasuk di dalamnya.

Apa manfaat menjadi seorang deadliner, apalagi yang garis keras seperti saya? Kalau dipikir-pikir, dipikir-pikir sampai lama, manfaatnya sedikit sekali. Memang benar, di tengah adrenaline rush, terkadang gagasan terbaik dan tindakan tercepat bisa dikeluarkan. Akan tetapi, sering juga menjadi deadliner garis keras berarti saya lupa memasukkan banyak hal krusial ke dalam pekerjaan, yang seharusnya dapat masuk seandainya saya: 1) lebih tenang dan 2) punya lebih banyak waktu.

Jika saya membuat rasio antara kebaikan yang dibawa oleh adrenaline rush dan penyesalan yang dihasilkan oleh ketenangan pikiran dan kekurangan waktu, maka saya bisa memberikan angka 35 : 65. Terlihat jelas ya bahwa menjadi deadliner garis keras membawa lebih banyak mudarat daripada manfaat.

Sebuah kejadian baru-baru ini yang berkaitan dengan deadline yang sebenarnya sudah diberikan kepada saya jauh-jauh hari membuat saya merenungkan mengapa saya tidak juga bertobat dari kebiasaan menjadi seorang deadliner garis keras. Ketika saya mengingat-ingat masa lalu, saya tahu betul bahwa kebiasaan ini mulai terbentuk di tingkat SMA yang kemudian berlanjut ke tingkat kuliah, dan akhirnya menjadi kebiasaan yang membatu ketika mulai berkarir.

Kesamaan di antara proses pembelajaran di SMA dan universitas tempat saya belajar hanya satu: setiap hari selalu ada banyak tugas dengan deadline yang mepet. Ini sangat berbeda dengan di SD dan SMP saat PR, proyek, dan ujian berlangsung setiap hari, tapi dengan jadwal yang pas dan rutin. Pemberian tugas di SMA dan universitas tidak dialokasikan dengan merata, sehingga setiap hari saya merasa kelimpungan akibat beban kerja yang menumpuk, dan seringnya menumpuk secara tiba-tiba.

Seorang kakak kelas di universitas bahkan pernah berkata bahwa menjadi seorang deadliner adalah sebuah privilege yang mengajarkan kita berpikir cepat, bertindak tangkas dan gesit, dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Si kakak lupa menambahkan bahwa menjadi seorang deadliner juga berarti kelelahan dan kecemasan yang berlebihan setelah deadline itu terlampaui.

Setelah menemukan titik awal saya menjadi seorang deadliner (garis keras), saya memikirkan tiga penyebab dari kebiasaan yang saya ingin ubah setengah mati ini:

1. Skala Prioritas yang Berantakan

Terkadang skala prioritasnya sudah ada dan dibuat berdasarkan deadline yang paling mendekati atau tingkat kepentingan dari sebuah pekerjaan. Saya sudah memiliki gambaran akan mengerjakan tugas B setelah tugas A, mengerjakan tugas C setelah tugas B, dan seterusnya, dengan mempertimbangkan itu tadi: kapan tenggat waktunya dan seberapa pentingnya.

Namun demikian, lebih sering skala prioritas itu sengaja diabaikan karena berbagai alasan juga. Ah, tugas D membutuhkan waktu lebih singkat daripada tugas A, ya sudahlah kerjakan tugas D dulu. Atau tugas E terlihat lebih menarik dibandingkan tugas B, ya tidak apa-apalah kalau mengerjakan tugas E duluan.

Padahal urutan yang benar berdasarkan skala prioritas adalah A ke B ke C ke D ke E. Gara-gara banyak godaan dalam bentuk durasi waktu dan daya pikat, skala prioritas menjadi berantakan dan berubah menjadi D ke A ke E ke B ke C. Kalau sudah begini pertanyaannya akan menjadi: buat apa repot-repot membuat skala prioritas, dong?

Iya, buat apa, itu yang saya tanyakan terus menerus kepada diri sendiri. Buat apa saya repot-repot membuat aturan kalau saya sendiri sedari awal sudah berniat melanggarnya? Inilah hal yang perlu diperbaiki dari diri saya, bagaimana mematuhi skala prioritas yang saya sudah buat, walaupun ada begitu banyak tawaran untuk berpaling dengan iming-iming tugas akan terselesaikan dengan lebih cepat.

Tugas terselesaikan dengan lebih cepat, mungkin iya. Namun, tugas terselesaikan dengan lebih baik? Kemungkinan besar tidak, sebab skala prioritas yang dibuat di awal sudah dipikirkan masak-masak, dan semestinya dihargai dan diaplikasikan. Jika dibongkar di tengah jalan, maka ibarat kerja dua kali dengan hasil nol besar.

2. Sifat Perfeksionis yang Berlebihan

Saya orang yang perfeksionis. Ciri utama orang perfeksionis adalah gemar menunda mengerjakan sesuatu, sampai ia mendapatkan Aha Moment.

Aha Moment dirasa sebagai waktu yang paling tepat untuk mulai bekerja karena semua sumber daya sudah siap (lingkungan, alat, dan sebagainya). Aha Moment juga didefinisikan sebagai momen paling terinspirasi, momen “kesambet” jika memakai istilah saya, yang membuat kita bisa bekerja dengan lancar tanpa hambatan. Ini sungguh sebuah kondisi ideal yang jauh panggang dari api. Diidamkan oleh semua orang, tapi sangat kecil kemungkinan terjadinya.

Dunia nyata bukan laboratorium di mana lingkungan bisa disetel dan parameter bisa diatur. Di dunia nyata, sering kali kita harus bekerja di tengah peralatan yang tidak memadai dan mood yang tidak enak. Jika terus menunggu sampai kondisi ideal tercapai, maka kapan kita akan mulai bekerja? Atau pertanyaan yang lebih krusial adalah: kapan pekerjaan kita bisa dinyatakan selesai?  

Sifat perfeksionis membuat saya menunda-nunda bekerja sampai “kesambet”. Kalau sudah begitu, apa kabar skala prioritas yang sudah dibuat dengan susah payah? Terabaikan dan terbengkalai, dong. Padahal sikap perfeksionis tidak meniadakan deadline yang sudah pakem. Tak masalah kapan saya mulai bekerja, deadline ya tetap ada, tidak berubah kecuali dinyatakan oleh pemberi pekerjaan.

Nah, dalam keadaan mepet saya akan bekerja dengan cepat dan cenderung seadanya. Sungguh berlawanan dengan kondisi perfect yang katanya sangat saya idam-idamkan dan senantiasa saya kejar ‘kan? Dengan waktu terbatas, kualitas pekerjaan saya menjadi secukupnya, meskipun mungkin ada beberapa Aha Moment akibat adrenaline rush yang pada akhirnya menghasilkan sesuatu yang brilian. Ini mungkin dan tidak dijamin, lho.

Jangan salah, sifat perfeksionis itu baik supaya kita selalu mawas diri untuk memberikan dan berusaha yang terbaik. Akan tetapi, sifat perfeksionis yang berlebihan membuat kita tidak mulai bekerja tepat waktu dan merasa frustrasi/stres ketika tenggat waktu itu mendekat.

Untuk ke depannya, saya akan berusaha mulai bekerja begitu deadline diberikan dan tidak menunggu sampai mendapat momen “kesambet”. Sepanjang usia saya yang mendekati kepala empat, saya sudah kenyang menyesali hal-hal yang seharusnya dapat membuat tugas saya tampil lebih ciamik, seandainya saya mulai bekerja lebih awal dan memiliki lebih banyak waktu untuk berpikir.

3. Keberhasilan Demi Keberhasilan yang Melenakan

Seperti yang saya jelaskan pada bagian di atas, terkadang adrenaline rush yang saya alami dapat menimbulkan gagasan terbaik ketika saya berada di bawah tekanan. Terkadang, lho, tidak selalu. Begitu deadline terlampaui dan ide yang diperoleh dalam keadaan mepet itu bisa dieksekusi, entah mengapa saya menganggapnya sebagai sebuah keberhasilan.

Aneh, ya? Padahal seperti adrenaline rush yang muncul dan hilang tanpa dapat dikendalikan, gagasan terbaik atau apa pun yang diakibatkan oleh adrenaline rush dapat muncul dan hilang tanpa dapat diprediksi juga. Jika itu terjadi, maka lebih tepat saya menyebutnya sebagai sebuah kebetulan, dan bukan sebuah keberhasilan.

Keberhasilan demi keberhasilan yang diperoleh dalam keadaan under pressure itu melenakan dan menyesatkan. Saya menduga, poin nomor 3 ini adalah penyebab utama saya terus menjadi deadliner garis keras.

Setiap kali saya berhasil menyelesaikan sebuah tugas mepet tenggat waktu, saya menyelamati diri sendiri dan berpikir bahwa tidak ada yang mustahil. Begitu deadline berikutnya mendekati, saya akan terkenang-kenang akan keberhasilan yang semu itu dan mengulangi kesalahan yang sama: tidak segera memulai karena skala prioritas saya berantakan dan sikap perfeksionis saya berlebihan.

Untuk meniadakan poin nomor 3 ini saya harus kembali ke poin nomor 1 dan kemudian nomor 2. Mengapa tidak sebaliknya? Sikap perfeksionis saya mungkin berlebihan, tapi dia dapat dengan mudah dikalahkan oleh skala prioritas. Ketika skala prioritas memberi aba-aba waktunya mengerjakan sebuah tugas, saya harus mengabaikan ambisi saya untuk mulai bekerja di tengah kondisi ideal. Yang namanya deadline memiliki natur yang tidak fleksibel dan tidak ada pekerjaan yang dapat selesai kalau saya tidak memaksa diri menyelesaikannya.

Sebagai penutup, izinkan saya bertanya lagi: apakah kamu seorang deadliner? Apa kamu suka bekerja mepet tenggat waktu? Adakah hal yang kamu ingin ubah dari caramu menyelesaikan tugas-tugas? Share di kolom komentar, yuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun