Di Jakarta, pernah ada gubernur yang membangun banyak Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) dan menjadi contoh untuk banyak kota lain. Beliau memberikan bukti bahwa ruang publik bisa kok dibuat bersih, rapi, indah, dan terawat kalau semua orang mau bekerja sama. Tapi lebih dari itu, ruang publik bisa menjadi ruang idaman semua orang kalau pelanggaran aturan tidak pernah dibiarkan.
Cukup satu pelanggaran.
Cuma perlu satu pelanggaran untuk orang-orang kemudian tidak mengacuhkan peraturan. Cuma perlu satu motor yang berjualan rujak untuk parkir di belakang mobil kami, menggelar tikar dan dagangan, dan tidak ditegur oleh satpam yang berlalu-lalang, sehingga dalam 5 menit muncul 4 motor yang melakukan hal serupa.
Satpam-satpam dan mobil patroli dipekerjakan oleh developer untuk menjaga ketertiban dan kebersihan ruang publik itu. Mulai dari area parkirnya sampai ke area di sekitar danau. Para satpam memang berjalan-jalan di sekitar pengunjung tapi mereka tidak mengatur dan menegur. Ya ga heran kalau para pengunjung balik nyuekin mereka.
Masalah ruang publik itu di mana-mana sama aja. Sampah. Ada tempat sampah saja banyak orang tidak membuang sampah pada tempatnya, apalagi kalau tidak ada tempat sampah sama sekali. Akhirnya bungkus plastik aneka rupa dan warna menghiasi aspal, rumput hijau, dan ke mana pun kami bisa melayangkan pandangan.
Menurut saya danau buatan itu dibangun untuk menarik calon pembeli apartemen. Mereka diiming-imingi sebuah kota mandiri dengan jogging track, danau, playground, dan kolam renang tersendiri. Sebelum semua tower beroperasi, ruang publik yang seharusnya menarik hati sudah dikotori oleh publik yang saya kira bukan target market si developer.
Kalau saya bagian dari manajemen developer itu, saya pasti sudah ngamuk sama para satpam dan jajarannya. Mereka tidak melakukan pekerjaan mereka dengan baik, membiarkan berbagai pelanggaran terjadi, dan pastinya membuat calon pembeli mengurungkan niat membeli. Rasanya sayang melihat deretan tower apartemen dan ruko di sekitar danau. Target marketnya ga sesuai dengan publik yang datang ke sana.
Perlu beberapa saat sampai kami bisa meminta bantuan dari satpam terdekat supaya menggeser para pedagang dadakan. Memundurkan mobil juga perlu waktu karena motor dagangan yang harus bergeser ada banyak, belum lagi tikar-tikar yang mereka sudah gelar untuk para pembeli. Kami kira kami sudah bisa menghembuskan napas lega, rasanya tak sabar ingin segera pulang.
Eh ternyata enggak.
Waktu mengantri keluar kami heran dengan adanya tiga lajur dan hanya satu di antaranya menggunakan palang. Di dua lajur ada dua orang preman yang nongkrong dan memungut bayaran. Ini kan ga bener. Kami masuk ke sana mengambil tiket parkir dan kalau keluar kami hanya perlu scan tiket dan membayar dengan kartu e-toll. Eh ngapain ini ada preman-preman yang jeplak minta bayaran dari mobil dan motor yang mau keluar?
Apakah satpam dan patroli tidak kelihatan sama sekali? Kelihatan. Mereka ada, kok, tapi mereka tidak melakukan apa-apa. Kata suami saya, "Ga cuma aspalnya yang disewain sama satpam ke para pedagang, keluar parkir pun ada subkontraknya satpam."