Tadi sore kami sekeluarga pergi ke public space baru di dekat rumah. Well, ga dekat-dekat amat sih, perlu nyetir kurang lebih 5 kilometerlah dari rumah. Jadi ceritanya developer perumahan kami sudah sejak 2016 (apa 2017 ya?) mulai membangun kota mandiri persis di sebelah area tempat kami tinggal. Isi kotanya cuma apartemen, deretan ruko, dan mal kecil. Daya tariknya adalah danau buatan guede banget dengan track buat balapan motor di dekat situ.
Ceritanya sih begitu.
Setelah bertahun-tahun dibombardir dengan info soal kota mandiri itu di semua pusat bisnis yang dibangun si developer mulai dari mal, rumah sakit, etc., etc., baru tadi kami menyempatkan diri ke sana buat tahu sebenarnya itu tempat seperti apa sih. Soalnya hasil foto dan video yang diedit sering beda banget sama kenyataan, yekan?
Kami berangkat sudah agak sore, hampir jam 5-an. Hari sudah agak gelap dan kirain jalan menuju "Taman Pusat" itu akan lumayan sepi. Ternyata oh ternyata ramenya kayak pasar malam. Begitu sampai di depan palang jalan masuk ke situ, suami bertanya kepada satpam yang jaga,
"Di sini ada apa, Pak?"
"Ga ada apa-apa sih, Pak, cuma tanah biasa aja."
Suami agak ragu dan menoleh ke saya. "Masuk ga nih?"
"Masuk aja deh," kata saya. "Pengen lihat sekali aja."
Soalnya kendaraan yang masuk ke situ sampe ngantri mengular, lho. Mobil, motor, dan tentu saja motor yang bawa dagangan mulai dari indomie, rujak, sampe minuman segala macam rasa. Diriku 'kan penasaran. Emang ada apaan sih, kok rame banget padahal danaunya ga keliatan dari mana-mana.
Begitu ngelewatin palang parkir, jreng jreng jreng baru ketauan deh semrawutnya.
Parkiran mobil penuhhh. Parkiran motor apalagi. Di belakang parkiran mobil, motor-motor pada berbaris bikin layer baru. Saya kasihan sama mobil-mobil yang pasti bingung gimana caranya keluar. Di belakang lapisan baru motor-motor ada lapisan lain lagi: pedagang angkringan pakai motor yang menggelar tikar yang bisa disewa.
Kamu bisa duduk di aspal beralaskan tikar sambil makan indomie atau nyeduh kopi. Asyik-masyuk bergerombol, lupakan masker, lupakan jaga jarak, dan lupakan kebersihan. Duduk bersila sambil makan dan minum dan menghirup asap knalpot kan jauh banget dari kata bersih.
Kami berhasil mendapatkan satu spot parkir yang persis memandang ke danau. Danaunya lumayan besar sih, lebih besar dari danau buatan yang dulu ada di dekat rumah kami. Sekarang danau itu sudah ditimbun dengan tanah dan dipasangi tiang-tiang pancang. Kabarnya akan dibangun apartemen khusus untuk orang Jepang di situ. Kami punya kenangan khusus di danau itu; di sana anak kami yang sulung belajar berjalan pada usia 11 bulan.
Di sekitar danau ada tanah berumput hijau yang cukup miring. Orang-orang mengambil spot masing-masing dengan jarak yang cukup dekat satu sama lain. Di kejauhan tampak bangunan beberapa tower apartemen menjulang tinggi. Ada jembatan kecil tempat orang menyeberang dari satu sisi ke sisi yang lain. Mobil golf yang membawa calon pembeli apartemen ikut bersliweran di situ.
Dari tempat kami parkir kami bisa melihat sebuah tenda yang didirikan yang berfungsi seperti pintu masuk ke area danau. Orang-orang antri masuk ke sana dengan berdekatan dan berdesakan tentu saja, dan ada satpam yang dengan sekenanya mengukur suhu tubuh para pengunjung. Di dekat tenda itu ada jalan air seperti perpanjangan area danau, orang-orang banyak yang duduk di tepinya dan mencelupkan kaki ke dalam.
Katanya Covid-19 paling mudah menular lewat droplet ya? Apa jadinya jika ada OTG yang berkeringat dan mencelupkan kaki di air itu bersama puluhan atau ratusan orang lain. Entahlah, saya ga berani membayangkan konsekuensinya.
Danau itu dihiasi lampu-lampu dan ada air mancur kecil di tengah, tapi airnya sendiri tidak bergerak. Di sekitar area pintu masuk ada semak-semak pendek yang mudah diterobos. Dari tempat kami parkir kami melihat orang-orang sibuk melompati semak-semak itu. Apakah mereka enggan antri buat masuk atau enggan diukur suhu tubuhnya, saya tidak tahu.
Masyarakat perlu ruang publik.
Itu sebuah keniscayaan. Orang-orang perlu tempat yang aman dan nyaman untuk menghirup udara segar dan berjalan kaki. Apalagi gara-gara pandemi banyak dari kita dikurung di rumah selama berbulan-bulan. Rasanya pasti sumpek banget. Jalan dan piknik tipis-tipis beratapkan langit dan ditemani suara air adalah hiburan sederhana yang menyenangkan jiwa.
Tapiii ..., masalah klasik di negeri ini adalah tidak dirawatnya ruang publik yang ada. Coba deh, sebelum ada banyak pemimpin daerah yang fenomenal dengan terobosan mereka masing-masing, apakah ada pemimpin dan rakyat yang peduli dengan taman di kota masing-masing?
Di Surabaya, Bu Risma yang pernah memimpin Dinas Pertamanan dan kemudian menjadi walikota melanjutkan gebrakannya soal kerapian dan keindahan ruang publik. Di Bandung, Ridwan Kamil juga pernah mencoba hal ini. Berbagai taman dengan nama aneh bin unik didirikan, walaupun kontinuitasnya dipertanyakan.
Di Jakarta, pernah ada gubernur yang membangun banyak Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) dan menjadi contoh untuk banyak kota lain. Beliau memberikan bukti bahwa ruang publik bisa kok dibuat bersih, rapi, indah, dan terawat kalau semua orang mau bekerja sama. Tapi lebih dari itu, ruang publik bisa menjadi ruang idaman semua orang kalau pelanggaran aturan tidak pernah dibiarkan.
Cukup satu pelanggaran.
Cuma perlu satu pelanggaran untuk orang-orang kemudian tidak mengacuhkan peraturan. Cuma perlu satu motor yang berjualan rujak untuk parkir di belakang mobil kami, menggelar tikar dan dagangan, dan tidak ditegur oleh satpam yang berlalu-lalang, sehingga dalam 5 menit muncul 4 motor yang melakukan hal serupa.
Satpam-satpam dan mobil patroli dipekerjakan oleh developer untuk menjaga ketertiban dan kebersihan ruang publik itu. Mulai dari area parkirnya sampai ke area di sekitar danau. Para satpam memang berjalan-jalan di sekitar pengunjung tapi mereka tidak mengatur dan menegur. Ya ga heran kalau para pengunjung balik nyuekin mereka.
Masalah ruang publik itu di mana-mana sama aja. Sampah. Ada tempat sampah saja banyak orang tidak membuang sampah pada tempatnya, apalagi kalau tidak ada tempat sampah sama sekali. Akhirnya bungkus plastik aneka rupa dan warna menghiasi aspal, rumput hijau, dan ke mana pun kami bisa melayangkan pandangan.
Menurut saya danau buatan itu dibangun untuk menarik calon pembeli apartemen. Mereka diiming-imingi sebuah kota mandiri dengan jogging track, danau, playground, dan kolam renang tersendiri. Sebelum semua tower beroperasi, ruang publik yang seharusnya menarik hati sudah dikotori oleh publik yang saya kira bukan target market si developer.
Kalau saya bagian dari manajemen developer itu, saya pasti sudah ngamuk sama para satpam dan jajarannya. Mereka tidak melakukan pekerjaan mereka dengan baik, membiarkan berbagai pelanggaran terjadi, dan pastinya membuat calon pembeli mengurungkan niat membeli. Rasanya sayang melihat deretan tower apartemen dan ruko di sekitar danau. Target marketnya ga sesuai dengan publik yang datang ke sana.
Perlu beberapa saat sampai kami bisa meminta bantuan dari satpam terdekat supaya menggeser para pedagang dadakan. Memundurkan mobil juga perlu waktu karena motor dagangan yang harus bergeser ada banyak, belum lagi tikar-tikar yang mereka sudah gelar untuk para pembeli. Kami kira kami sudah bisa menghembuskan napas lega, rasanya tak sabar ingin segera pulang.
Eh ternyata enggak.
Waktu mengantri keluar kami heran dengan adanya tiga lajur dan hanya satu di antaranya menggunakan palang. Di dua lajur ada dua orang preman yang nongkrong dan memungut bayaran. Ini kan ga bener. Kami masuk ke sana mengambil tiket parkir dan kalau keluar kami hanya perlu scan tiket dan membayar dengan kartu e-toll. Eh ngapain ini ada preman-preman yang jeplak minta bayaran dari mobil dan motor yang mau keluar?
Apakah satpam dan patroli tidak kelihatan sama sekali? Kelihatan. Mereka ada, kok, tapi mereka tidak melakukan apa-apa. Kata suami saya, "Ga cuma aspalnya yang disewain sama satpam ke para pedagang, keluar parkir pun ada subkontraknya satpam."
Berburuk sangka banget ya? Tapi itulah kenyataannya. Mereka digaji oleh developer tapi mereka tidak mengerjakan kepentingan developer. Mereka membiarkan preman dan pedagang menguasai area yang dipercayakan untuk mereka jaga. Nanti pada akhir hari mereka tinggal hitung-hitung bagi hasil.
Cukup satu pelanggaran oleh anggota publik yang dibiarkan, akan ada preseden buruk untuk anggota publik yang lain. Akan muncul pikiran: "Ah, dia aja ga kenapa-kenapa kok, kenapa jadi masalah di saya?" Dan pikiran itu ga muncul di benak satu dua orang, lho. Ia muncul dan berakar di benak ratusan orang dan terbentuklah komunitas yang memandang aturan sebagai sesuatu yang perlu dilanggar.
Akan beda ceritanya kalau ada satu pelanggaran yang langsung ditegur dan ditertibkan begitu ia terjadi. Efek kejutnya pasti langsung terasa. Saya melihat contoh nyatanya di taman kota di kota Surabaya, Malang, dan Batu. Himbauan untuk membuang sampah pada tempatnya, menjaga barang bawaan, menjaga ketertiban dikumandangkan terus-menerus, baik lewat pengeras suara maupun oleh para petugas yang bersliweran.
Kenapa sepertinya kita tidak dipercaya, kenapa sepertinya kita diperlakukan seperti anak-anak yang harus diawasi dengan sangat ketat? Ya gimana, masyarakat kita belum dewasa. Kita masih jauhhh dari memikirkan kepentingan orang banyak. Yang penting diri aman dan hati senang semua tenang; bodo amat dengan yang namanya public and greater good.
Sampai kapan? Entahlah. Revolusi mental sudah digaungkan bertahun-tahun, tapi kok saya pesimis. Saya ga yakin akan melihat hasilnya bahkan sampai generasi cucu saya. Ealah, Buk, kok jauh amat mikirnya? Hehehe.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI