Pandemi kali ini diikuti dengan infodemik dan kemunculan orang-orang yang saya tidak pernah sangka akan menjadi sangat rese.
Mereka rese di media sosial: di Facebook, di Instagram, di Twitter, dan di Whatsapp Group. Mereka mengangkat diri menjadi polisi, menjadi patroli yang siap menyemprit para pelanggar aturan menurut versi mereka.
Mau berjemur di depan rumah atau berjalan kaki barang 100 atau 200 meter di sekitar rumah mumpung matahari sedang keluar? Pastikan tidak meng-upload semua kegiatan tersebut di media sosial, kalau tidak komentar-komentar sejenis ini akan muncul 2 detik kemudian.
Kok ga pake masker?
Jangan keluar rumah kalau ga penting.
Stay at home. Please.
Para komentator tidak mau tahu bahwa jalan di depan rumah kami lebarnya 6 meter dan berbentuk huruf U, sehingga mengambil foto dari berbagai sudut akan terlihat seolah-olah kami ini sudah pergi main sangat jauh. Padahal tidak.
Mereka tidak mau mengerti bahwa saat berjemur kami memilih tidak memakai masker, karena enam rumah tetangga di sekitar kami sudah lama kosong. Tidak ada seorang pun yang bisa kami temui.
Mereka entah pura-pura atau benar-benar lupa bahwa mendapatkan sinar matahari pagi tidak bisa dilakukan dari dalam rumah, di balik jendela. Tentu saja untuk mendapatkan manfaat baik sinar itu kami perlu keluar rumah dan berdiri di bawah panas.
Komen dahulu, tuntut penjelasan dari saya kemudian. Kira-kira begini jalan pikiran mereka. Duluuu saya akan meladeni mereka dengan jawaban santai dan seadanya. Lama-kelamaan saya kehabisan waktu dan kesabaran. Saya tidak wajib menjelaskan tindak-tanduk saya kepada orang lain.
Yang saya post di media sosial adalah urusan saya. Tanggapan orang lain terhadap post saya adalah urusan dia. Namun saya juga berhak untuk tidak sepaham dengan tanggapan dia. Saya memilih untuk memutuskan pertemanan dulu di media sosial, daripada kedua belah pihak merasa terganggu oleh tindakan pihak lainnya.
Saya tahu akar keresean mereka adalah rasa takut, mereka khawatir sekali akan terjangkit Covid-19. Manifestasi kecemasan mereka adalah dengan menghantui kehidupan orang lain di dunia maya, sambil membawa pentungan virtual untuk memaksa semua orang berjalan di dalam koridor yang mereka putuskan sendiri secara sepihak.
Ini jenis keresean pertama. Jenis yang kedua adalah dengan tiba-tiba, tiada angin tiada hujan, mengomel di media sosial tentang segala macam hal yang berkaitan dengan pandemi.
Pemerintah lambat! Masak sampai sekarang hanya sedikit dari seluruh populasi rakyat Indonesia yang dites Covid-19?
Pemerintah tidak tanggap! Masak negara lain sudah lebih dulu mengevakuasi warga negaranya dari Wuhan, dan kalian baru bergerak karena didesak banyak pihak dari dalam negeri?
Pemerintah tidak kompeten! Harusnya Indonesia sudah lockdown dari kapan hari supaya tidak ada penambahan kasus.
WNI yang saat ini sedang tidak tinggal di Indonesia dan rese adalah yang terburuk dari mereka semua. Dengan tajam mereka akan mengkritik pemerintah seharusnya begitu begini, di negara tempat tinggal saya sekarang ada tindakan begini begitu dan efeknya bagus, pemerintah kenapa tidak mengikuti kebijakan negara itu ini, dan seterusnya.
Saya kira kritik mereka tidak akan berhenti sampai kiamat tiba.
Ada beberapa hal yang banyak dilupakan oleh orang rese:
1. Tidak ada negara yang siap dengan pandemi Covid-19.Â
Pemerintah gagap menanggapi pandemi masih masuk di akal saya. Saya tidak sedang membela pemerintah ya; saya hanya ingin bilang bahwa kita patut menghargai pemerintah yang masih memberikan respon, bantuan, dan arahan.
Ada pemimpin suatu negara yang memilih mengungsikan diri dan keluarga intinya ke Eropa saat negaranya sedang dilanda pandemi. Kita bersyukur pemimpin pemerintahan kita tidak berperilaku demikian.
Proses dan hasil kerja pemerintah tidak bisa selalu diumumkan ke media massa. Kalau konpers melulu, kapan kerjanya, bukan? Kita tidak melihat langsung tapi saya percaya pemerintah masih bekerja, ada rapat-rapat, ada keputusan-keputusan penting yang diambil, yang bisa jadi tidak dibuka semua ke publik.
Saya dan kamu hanya melihat kepingan informasi. Berita yang kita baca/dengar bisa jadi bukan kebenaran, tapi sebuah persepsi yang ditangkap dan disiarkan oleh sebuah media massa yang bisa jadi tidak netral dan disetir oleh kepentingan pemiliknya.
Membenturkan informasi yang kamu tahu dengan yang orang lain tahu (padahal kalian semua bukan tenaga kesehatan maupun ahli tentang virus, kesehatan masyarakat, dan lain sebagainya) tidak akan membawa dampak positif selain pusing kepala dan panas hati.
Mengikuti berita tentang Covid-19 sejak satu atau dua bulan terakhir tidak membuatmu menjadi seorang pakar. Seperti kata Tao Ming Se si pentolan Meteor Garden, "Jika orang yang salah cukup meminta maaf, maka penjara akan kosong", mengulik informasi dari Wikipedia dan berbagai media lain tidak membuatmu memiliki ilmu dan keahlian seorang dokter, atau perawat, atau ahli virologi, atau ahli epidemiologi.
Eh analoginya tidak nyambung ya? Maaf ....
2. Semua usaha untuk menghentikan pandemi adalah murni trial and error.
Kultur dan tipe manusia di setiap negara berbeda. Jika lockdown semacam di Wuhan dan kota-kota lain di Cina diterapkan begitu saja di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, apakah akan cocok?
Di Cina sistem pemerintahannya dipegang oleh satu partai dan masyarakatnya penurut. Di Indonesia ada banyak partai, banyak suara, banyak kepentingan. Masyarakatnya kritis dan tidak serta-merta patuh. Jenis karantina wilayah yang hendak diterapkan tentu perlu disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan lokal.
Setiap negara berusaha menghentikan pandemi dengan metode yang mereka pandang baik. Tidak ada metode yang benar atau salah jika dibandingkan dengan negara lain. Yang ada hanya metode yang mereka pilih sesuai riset, pertimbangan pakar setempat, dan kearifan lokal di setiap negara, dan itu semua trial and error. Kalau tidak efektif dan efisien, tentu akan ada revisi.
Italia memberlakukan lockdown total; itu benar menurut mereka. Swedia masih memperbolehkan warganya beraktivitas di luar rumah namun harus menjaga jarak fisik, karena menurut mereka berada di alam terbuka mempengaruhi kesehatan mental dan daya tahan tubuh; itu juga benar menurut mereka.
Singapura yang tadinya terlihat mulai santai kini memberlakukan circuit breaker; itu benar menurut pertimbangan mereka. Indonesia menghimbau agar orang tidak pulang kampung saat Lebaran, tidak melarang karena larangan membuat orang kita memikirkan taktik bagaimana supaya tetap bisa mudik; itu juga benar menurut pertimbangan kita.
Diaspora Indonesia yang saya kenal dan sekarang menjadi orang rese sebaiknya berhenti bersikeras kalau metode di negara tempat ia berdiam adalah metode yang paling benar. Jika ia memiliki saran yang baik dan berguna untuk pemerintah Indonesia, ada banyak jalur untuk menyampaikannya, tidak harus dengan mengeluh dan curcol di media sosial.
Ingat kata Tao Ming Se, eh kata saya, di atas: menjelajahi internet selama berpuluh-puluh jam untuk mencari informasi tentang SARS-CoV 2 tidak serta-merta membuatmu menjadi pakar. Kamu perlu sekolah lama sekali untuk mencapai tahap keilmuan para tenaga kesehatan dan para pengambil kebijakan. Percaya deh.
Menjelajah internet membuatmu ketambahan informasi? Itu pasti. Apakah informasi itu berguna untuk melindungi diri dan keluargamu atau malah membuatmu tambah rese dan galak tidak jelas terhadap orang lain? Itu keputusanmu.
Akhir kata, semoga pandemi ini cepat berlalu. Dan biarlah orang-orang rese berlalu bersamanya. Mereka menjadi rese bisa karena pada dasarnya memiliki sifat rese, atau rese karena paranoid, atau rese karena kebanyakan waktu luang sejak harus WFH.
Mbok ya cuci piring, berkebun, atau membereskan gudang saja daripada menyibukkan jarimu untuk mengomentari secuil kehidupan orang lain yang dia upload di media sosialnya.
Supaya waktu pandemi ini berakhir kamu bisa melihat ke belakang dengan bangga dan berkata, "Saya tidak menyia-nyiakan waktu saya dengan menjadi orang rese."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H