Paskah tahun ini sangat berbeda.
Pertama kalinya sepanjang saya hidup tidak ada kebaktian di gereja. Tidak ada bersalaman dengan jemaat yang lain. Tidak ada ucapan selamat sambil merenungkan dengan khusyuk betapa anugerah itu tidak layak diberikan bagi saya dan kita semua.
Paskah tahun ini terpaksa menggunakan layar. Tidak ada tatap muka, jabat tangan, dan tepukan di bahu. Yang ada hanya lambaian dari tempat-tempat yang jauh, senyum yang dipaksakan karena batin yang tersiksa, dan doa yang diucapkan keras-keras mengharapkan belas kasihan Tuhan atas umat manusia.
Paskah tahun ini bukan Paskah yang manusiawi.
Tindakan penyaliban Tuhan Yesus yang diperingati pada hari Jumat Agung ini juga sama tidak manusiawinya.
Kita, manusia, yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, mampu memperlakukan manusia lain serendah orang-orang Yerusalem ketika itu memperlakukan Tuhan Yesus.
Mendekat padahal berkhianat.
Menangkap tanpa surat perintah.
Membelenggu tanpa penjelasan.
Merampas martabat saat memaksa menanggalkan pakaian.
Tanpa takut menancapkan mahkota duri di batok kepala yang rapuh.
Memaksa memikul salib yang beratnya berlipat kali berat tubuh-Nya sendiri.
Memaku tangan dan kaki, serta menusuk lambung.
Mengabaikan jerit kesakitan seorang manusia yang dagingnya dilubangi.
Membiarkan Ia tergantung sampai mati dalam keadaan hina dan sendirian.
Orang-orang yang menyakiti Dia adalah orang-orang yang sama yang mengelu-elukan kedatangan-Nya ke Yerusalem di atas punuk seekor keledai.
Mereka melambai-lambaikan daun palem sambil bersorak, "Hosana bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, hosana di tempat yang mahatinggi!" (Matius 21:9)
Beberapa hari berselang lidah mereka melenceng dan suara mereka serak berteriak, "Salibkan Dia, salibkan Dia!"
Tanpa ragu mereka memilih membebaskan seorang penjahat dan menyerahkan Tuhan Yesus untuk dihukum, padahal Ia bersih dari dosa dan kesalahan. Hanya karena mereka benci, mereka iri, dan mereka merasa terancam.
Orang-orang yang berada di posisi tinggi, yang mengangkat diri sebagai perwakilan Tuhan, mampu menghasut banyak orang untuk bertindak sedemikian keji. Sebuah kemunafikan yang tidak ada bandingannya, bukan?
Orang-orang yang tadinya memuji dan mengharapkan mujizat-Nya, berteriak lantang agar Ia disalibkan. Yang tidak berteriak hanya bisa berdiri di pinggir dan mendiamkan. Tahu ada yang salah dan tidak melakukan apa-apa malah lebih parah, bukan?
Orang-orang yang setia mengikuti-Nya selama tiga setengah tahun, ada yang membunuh diri karena menyesal namun tidak bertobat, ada yang menyangkal telah mengenal-Nya karena takut dihakimi oleh massa. Sebuah gambaran karakter asli manusia yang mementingkan diri sendiri, bukan?
Peristiwa penyaliban, dan kemudian kebangkitan-Nya pada hari ketiga, adalah sebuah cermin yang menunjukkan borok kita setiap tahun.
Dengan satu mulut kita memuji Tuhan, dengan mulut yang sama kita menghina sesama manusia.
Dengan satu tangan kita berjabat erat, dengan tangan yang sama kita memukul anak karena emosi.
Dengan satu hati kita berikrar menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, dengan hati yang sama kita merancang hal buruk untuk orang lain.
Paskah tahun ini tidak manusiawi bukan karena tidak ada kontak, tidak ada perkumpulan, tidak ada komuni untuk merayakan anugerah itu seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Paskah tahun ini tidak manusiawi karena dalam hati kita masih:
memandang rendah Tuhan Yesus yang darah-Nya tercurah supaya kita menerima hidup yang kekal,
menganggap sepele anugerah keselamatan yang diberikan secara cuma-cuma,
membebalkan hati dan tetap bersikeras bahwa tanpa Tuhan kita bisa melakukan apa saja.
Paskah tahun ini tidak manusiawi, karena bahkan di tengah pandemi kita terus mengingkari kefanaan kita sebagai ciptaan yang memerlukan pertolongan dan penyertaan dari Sang Pencipta.
Paskah tahun ini tidak manusiawi, karena bahkan di tengah pandemi kita tidak berubah menjadi lemah lembut dan penuh kasih terhadap mereka yang tidak kita sukai.
Paskah yang manusiawi adalah Paskah yang kita rayakan dari hati seorang manusia yang menyadari keberdosaan, memohon belas kasihan, dan meminta pertolongan dari Tuhan Allah di setiap detik hidupnya.
Ada atau tidak ada pandemi.
Bagus atau tidak bagus ekonomi.Â
Hidup bersosialisasi atau terisolasi.
Sehat atau sakit jasmani.
Bahagia atau tertekan nurani.
Kita ini hanya milik-Nya dan seharusnya hidup untuk memuliakan-Nya. Dari dulu, saat ini, dan sampai selama-lamanya.
Selamat bercermin pada momen Jumat Agung dan Paskah tahun ini. Mohonkanlah kembali pembaharuan untuk hati, kehidupan, dan kemanusiaan kita yang bobrok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H