Peristiwa penyaliban, dan kemudian kebangkitan-Nya pada hari ketiga, adalah sebuah cermin yang menunjukkan borok kita setiap tahun.
Dengan satu mulut kita memuji Tuhan, dengan mulut yang sama kita menghina sesama manusia.
Dengan satu tangan kita berjabat erat, dengan tangan yang sama kita memukul anak karena emosi.
Dengan satu hati kita berikrar menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, dengan hati yang sama kita merancang hal buruk untuk orang lain.
Paskah tahun ini tidak manusiawi bukan karena tidak ada kontak, tidak ada perkumpulan, tidak ada komuni untuk merayakan anugerah itu seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Paskah tahun ini tidak manusiawi karena dalam hati kita masih:
memandang rendah Tuhan Yesus yang darah-Nya tercurah supaya kita menerima hidup yang kekal,
menganggap sepele anugerah keselamatan yang diberikan secara cuma-cuma,
membebalkan hati dan tetap bersikeras bahwa tanpa Tuhan kita bisa melakukan apa saja.
Paskah tahun ini tidak manusiawi, karena bahkan di tengah pandemi kita terus mengingkari kefanaan kita sebagai ciptaan yang memerlukan pertolongan dan penyertaan dari Sang Pencipta.
Paskah tahun ini tidak manusiawi, karena bahkan di tengah pandemi kita tidak berubah menjadi lemah lembut dan penuh kasih terhadap mereka yang tidak kita sukai.
Paskah yang manusiawi adalah Paskah yang kita rayakan dari hati seorang manusia yang menyadari keberdosaan, memohon belas kasihan, dan meminta pertolongan dari Tuhan Allah di setiap detik hidupnya.