Salah satu warisan Kolonialisme Belanda yang masih digunakan hingga saat ini adalah Istana Bogor. Komplek istana seluas 28,6 hektar itu berdiri kokoh di kota hujan hingga hari ini dan dikenal akan keindahan dan kesejukannya.
Bahkan, Presiden Jokowi diketahui lebih sering berdiam di Istana Bogor dibanding Istana Merdeka sejak awal masa pemerintahannya dengan alasan kenyamanan. Lebih dari itu, banyak tamu Internasional juga disambut di istana tersebut.
Namun, tahukah kamu jika Istana Bogor pernah hancur karena letusan Gunung Salak pada tahun 1834? Bagaimana kisah lengkapnya? Simak penjelasan berikut ini!
Sejarah Pembangunan Istana Bogor
Dikutip dari Batavia, Buitenzorg, en de Preanger Gids voor Bezoekers en Toeristen, Istana Bogor pertama kali dibangun oleh Gubernur Jenderal Baron van Imhoff pada tahun 1745.
Meskipun demikian, wacana pembangunannya sendiri diketahui sudah muncul sejak masa Gubernur Jenderal Matsuyker di tahun 1677. Namun, baru terwujud ketika masa pemerintahan van Imhoff.
Pembangunan Istana Bogor sebagai tempat peristirahatan dilakukan oleh Baron van Imhoff dalam untuk beristirahat dari kesibukan di dalam Benteng Batavia.
Terlebih lagi, menurut catatan Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern ketika itu kanal-kanal di Batavia sudah mulai tercemar dan menimbulkan banyak penyakit sehingga tidak cocok sebagai tempat untuk bermukim.
Menurut catatan Encyclopedie van Nederlandsch-Indi: Eerste Deel, Istana tersebut dibangun di kawasan yang dikenal sebagai Kampung Baroe dan diberi nama "Buitenzorg." Secara toponimi, Buitenzorg sering dipersamakan dengan kata dalam Bahasa Perancis "Sans Souci" yang artinya "Tanpa Urusan" atau "Tanpa Kekhawatiran."
Ditetapkan sebagai kediaman resmi Gubernur Jenderal
Sejak dibangun pada tahun 1745, Istana Bogor sudah mulai dijadikan sebagai tempat peristirahatan Gubernur Jenderal VOC. Akan tetapi, penggunaannya sebagai kediaman resmi Gubernur Jenderal baru ditetapkan pada tahun 1780.
Menurut catatan Encyclopedie van Nederlandsch-Indi: Eerste Deel, sejak saat itu Gubernur Jenderal VOC terbiasa menjalani kehidupan sehari-hari di Bogor dan berkunjung ke Hotel Rijswijk (saat ini dikenal sebagai Istana Negara) Batavia setiap satu bulan sekali.
Selama digunakan sebagai kediaman resmi Gubernur Jenderal, bangunan tersebut beberapa kali mengalami renovasi. Beberapa di antaranya, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels yang memperluas kawasan tersebut pada tahun 1809.
Kemudian, pada tahun 1811 Gubernur Jenderal Raffles membuat sebuah taman bergaya Inggris yang menjadi cikal bakal dari Kebun Raya Bogor. Menurut Dermawan dalam buku Dari Lorong-Lorong Istana Presiden, Raffles bahkan mendatangkan enam pasang rusa yang biasa hidup di perbatasan Nepal dan kini sudah beranak pinak hingga 700 ekor.
Selanjutnya, Gubernur Jenderal van Der Capellen juga merenovasi bangunan tersebut dan meresmikan pendirian s'Lands Plantetuin (Kebun Raya Bogor) dengan bantuan ahli botani asal Jerman bernama Reindwardt pada tahun 1817, sebelum akhirnya istana berlantai dua itu hancur pada tahun 1834 akibat gempa bumi.
Hancur Karena Letusan Gunung Salak 1834
Dikutip dari buku Almanak Sejarah Indonesia: Peristiwa dan Tokoh, Gunung Salak yang secara administratif masuk ke dalam Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor Jawa Barat pernah meletus pada 10 Oktober 1834 dan menyebabkan gempa bumi di sekitar wilayah tersebut.
Menurut catatan Surat Kabar Javasche Courant edisi 22 November 1834, diketahui gempa bumi itu berpusat di Mega Mendung dan pegunungan sekitarnya. Gempa tersebut menciptakan beberapa retakan lebar di bagian belakang gunung.
Selain itu, retakan juga ditemukan di jalan utama wilayah Bogor dan Cianjur. Dampak terbesar dari fenomena tersebut dirasakan oleh masyarakat di sebelah Timur Bogor, yakni wilayah Pondok Gede, Kedung Halang, Citeureup, Cilangkap, Cimanggis, dan Pondok Cina.
Di sisi lain, gempa bumi juga mengakibatkan runtuhnya Istana Bogor. Masih menurut catatan Javasche Courant edisi 22 November 1834, gempa bumi menghancurkan bangunan pusat, dinding luar sayap timur, dan dinding paling utara dari istana tersebut.
Dengan kata lain, gempa bumi hampir menelan seluruh bagian bangunan indah dan megah itu hingga rata dengan tanah. Selanjutnya, bangunan tersebut akan direkonstruksi ulang menjadi istana dengan satu lantai.
Gempa bumi yang terjadi pada bulan Oktober 1834 itu dirasakan paling jauh oleh masyarakat Lampung di Barat hingga Tegal di Timur. Lebih lanjut lagi, gempa kecil masih sering terjadi di wilayah Bogor, Cipanas, dan Cianjur selama satu bulan terakhir.
Mengutip dari buku Kota di Djawa Tempo Doeloe, renovasi dari Istana Bogor baru diinisiasi kembali ketika Gubernur Jenderal van Twist menjabat (1851-1856). Namun, pembangunannya sendiri baru dapat diselesaikan oleh Gubernur Jenderal selanjutnya, de Montanger.
De Montanger melakukan rekonstruksi Istana Bogor dengan arsitektur bergaya Neo-Klasik sejak tahun 1856 hingga 1861. Sebagai penunjang, ia juga melakukan pembangunan 2 jembatan tambahan yang menghubungkan Gedung Induk dan Gunung Sayap Kanan juga Kiri.
Dalam perjalanannya, Istana Bogor juga mengalami beberapa renovasi setelah kemerdekaan Indonesia. Dilansir dari setneg.go.id, istana tersebut mendapat tambahan 10 pilar bergaya Ionia yang menyatu dengan serambi muka pada tahun 1952.
Selain itu, jembatan penghubung yang dibangun oleh de Montager juga diubah menjadi koridor. Sementara itu, anak tangga yang semula berbentuk setengah lingkaran diubah menjadi lurus. Hasil renovasi inilah yang kita kenal sebagai Istana Bogor saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H