Puncak Mahameru, 3.676 mdpl Pendakian kali ini adalah perjalanan untuk melanjutkan misi yang tertunda saat pendakian pertama lalu, yang mana kami hanya sampai di Ranu Kumbolo. Artikelnya dapat Anda baca di sini. Seusai pendakian yang pertama itu, saya dan teman-teman memutuskan untuk mendaki kembali pada bulan November, memupus rasa penasaran dengan tujuan utama merengkuh puncaknya. Dari lima anggota tim pada pendakian pertama, yang longgar waktunya hanya dua orang yang ikut serta dalam pendakian yang kedua kalinya ini, ditambah dua orang baru, adik tingkat kami di kampus. Berikut cerita perjalanan kami, mendaki Gunung Semeru, tanah dan puncak tertinggi di Pulau Jawa. Sekitar tiga minggu berselang setelah pendakian pertama tersebut, kami melakukan banyak persiapan yang lebih matang. Mulai latihan fisik sampai merancang rencana perjalanan meliputi tanggal berangkat dan pulang, perlengkapan, dan logistik. Setelah didiskusikan dengan teman-teman GAMANANTA, akhirnya disepakati berangkat tanggal 8 November 2012, dan turun 11 November 2012. Tujuan sebenarnya kami adalah memperingati Hari Pahlawan 10 November, namun ada beberapa alasan niat tersebut urung terlaksana. Ikuti saja terus guliran kata demi kata dalam catatan ini

Setelah tas carrier masing-masing siap, kami sepakat berkumpul jam 07.00 di Samanta Krida, gedung tempat diselenggarakannya even "2nd International Scholarship Seminar (ISS)" yang diadakan oleh IAAS LC Universitas Brawijaya (tempat kami berorganisasi). Mas Kurniawan, Abud, dan Furqon menghadiri acara tersebut, sedangkan saya terlambat hadir dan saya masih harus belanja tambahan logistik di warung terdekat dengan kampus, antara lain belanja gula, kentang, bawang putih dan bawang merah, minyak goreng, dan roti tawar. Ketika acara seminar memasuki jeda coffe break, maka kami pun bersiap untuk berangkat menuju Ranu Pani. Arloji menunjukkan angka 12.30, sudah sangat siang bagi kami. Singkat cerita kami sudah berjalan di atas sepeda motor kami yang terlihat "gemuk" karena berjubelnya tas carrier kami berempat. Hampir 45 menit berjalan semenjak mengisi bensin dan angin ban, kami sampai di kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (SPTNBTS) II Tumpang. Kami berniat mengurus perizinan di sini, namun urung karena di jendela kantornya terdapat tulisan yang memberitahukan bahwa pendakian ditutup sampai tanggal 8 November 2012 karena alasan evaluasi SAR. Kami cukup terkejut dengan berita itu, padahal setahu kami dari berita di internet, pendakian dibuka lagi tanggal 7 November 2012. Tidak ingin membuang waktu, sesuai arahan petugas di sana, kami langsung saja menuju Ranu Pani untuk mengurus perizinan langsung di sana, dengan harapan kami bisa tiba sebelum jam 16.00 sore dan melanjutkan pendakian langsung menuju Ranu Kumbolo. Namun apa daya, keterbatasan tenaga sepeda motor kami yang terengah-engah menapaki jalan rusak, menanjak dan menikung menuju Ranu Pani, membuat kami baru sampai di Ranu Pani sekitar pukul 16.10 WIB. Artinya, kami terlambat 10 menit dari batas pendakian maksimal yang diizinkan. Kami berusaha melobi petugas, namun kami tetap dinyatakan terlambat dan diminta menginap semalam di Ranu Pani terlebih dahulu. Kami tidak boleh bingung, keputusan harus dibuat, dengan mengorbankan kenyataan bahwa kami tidak bisa mencapai puncak pada tanggal 10 November 2012, tepat pada Hari Pahlawan. Akhirnya disepakati bahwa kami mulai mendaki pagi hari paling lambat jam 8 pagi esoknya, dan turun pada hari Minggu malam sudah sampai di Ranu Pani kembali.
Bukit Teletubbies menuju Gunung Bromo, dipotret di pertigaan Desa Ngadas,
antara menuju Ranu Pani (ke kanan sejauh 6 km) dan Gunung Bromo (ke kiri sejauh 10 km)
Ranu Pani yang sejuk dan hening
(Malamnya, kami menginap di Pondok Pendaki, yang dijaga oleh Pak Hambali, asli Surabaya dan sudah sejak lama bekerja merawat pondok pendaki di Ranu Pani. Kami mengisi malam dengan memasak menu nasi sop kentang dengan lauk nugget dan minuman teh hangat, berbagi makanan ringan di antara kami berlima, ditemani cahaya temaram dari senter dan headlamp yang ada. Suasana begitu hangat dan gayeng, serta kekaguman kami berempat akan pengalaman Pak Hambali yang sudah kenyang pengalaman berkeliling Indonesia. Dari beliaulah kami mendapat informasi berharga mengenai jalur pendakian Gunung Semeru, utamanya jalur menuju puncak Mahameru, sepanjang jalur Arcapadha sampai ke puncaknya. Beliau menasihati kami mengenai apa yang harus dilakukan, apa yang pantang dilakukan, karena kami berempat belum mengetahui jalur menuju puncak Mahameru, dari Arcapadha. Namun kami berharap yakin pada saat summit attack nanti akan ada kawan-kawan pendaki lain yang memiliki niat serupa. Tak terasa, waktu semakin larut dan kami semua pun berlalu dalam lelap. Semoga energi esok pagi kembali dan membangkitkan tenaga kami). Jum'at, 9 November 2012 Masih lima menit lagi menuju pukul 04.00 WIB, mengharuskan kami segera memasak sarapan bubur oatmeal ditambah bumbu penyedap rasa soto untuk menghangatkan pagi itu di Ranu Pani yang begitu dingin menusuk kulit. Kami bergantian menunaikan sholat subuh, begitu juga dengan packing ulang. Saya adalah orang terakhir yang melakukan packing, setelah menyeruput sisa teh hangat dalam cangkir. Pukul 07.00 WIB, sebelum kami berpamitan dengan Pak Hambali, kami menyempatkan diri berfoto bersama di depan pondok. Kami pun pamit mohon doa dan restu kepada beliau. Kami sementara "berpisah" dengan dasar kepercayaan. Kami mempercayakan untuk menitipkan sepeda motor kami kepada beliau, dan beliau percaya bahwa kami bisa menggapai Puncak Mahameru.
Kami berfoto bersama Pak Hambali (kaos biru) di depan pondokan sebelum memulai pendakian "Jangan sombong, tetap konsentrasi, banyak ingat-ingat kepada Yang Di Atas, selamat, selamat, semoga berhasil," ujar beliau menyemangati kami. Kami segera turun menuju pos lapor untuk memperoleh perizinan pendakian. Mas Kurniawan bertindak sebagai kepala rombongan kami, mengurus dan menyerahkan segala persyaratan yang dibutuhkan. Adapun persyaratan khusus untuk mendaki Gunung Semeru adalah sebagai berikut:
- Fotokopi KTP/KTM/SIM atau identitas diri lainnya (diutamakan KTP) sebanyak 2 lembar.
- Fotokopi Surat Keterangan Sehat (dibawa juga yang asli) sebanyak 2 lembar.
- Membayar biaya administrasi pendakian, meliputi karcis masuk taman nasional, asuransi, materai 6.000 (bawa sendiri dari rumah), surat izin dengan tarif bervariasi, tergantung dari golongan umum, pelajar, maupun mancanegara. Anda bisa lihat secara lengkap di sini.
- Jika membawa sepeda motor maupun mobil, juga dikenakan tarif parkir per hari. Tarifnya juga bervariasi. Saran saya, kalau bawa sepeda motor sendiri, dititipkan saja ke pondok pendaki yang dijaga Pak Hambali, lebih aman dan hanya dengan membayar biaya sukarela alias seikhlasnya.
- Tata tertib dan peraturan pendakian juga bisa dilihat di sini.
Adalah Pak Ningot Sinambela yang saat itu melayani kami dalam mengurus perizinan. Beliau ini sudah lama kondang ketika ikut menemani tim Ekspedisi Cincin Api dari Kompas dalam rangka mencari arca kembar (Arcapadha) yang misterius itu. Gayanya yang kocak namun terkadang juga serius, membuat kami dibuat terpingkal-pingkal dibuatnya. Beliau juga termasuk yang kami segani karena sering memberi nasihat-nasihat kepada kami, utamanya saat sebelum kami berangkat berjalan.asing-masing. Berangkat bareng, pulang bareng, hilang juga harus bareng. Jangan tinggalkan teman di belakang," ujar beliau kepada kami. "Jangan sombong, buang ego masing-masing. Berangkat bareng, pulang bareng, hilang juga harus bareng. Jangan tinggalkan teman di belakang," ujar beliau kepada kami.
Mejeng dulu sebelum berangkat
Ikutan mejeng, hehehe
Tepat pukul 08.15 WIB seusai doa bersama, kami mulai berjalan, mulai menorehkan tinta sejarah pendakian bagi kami di pagi hari itu, dengan diiringi udara yang masih segar, semoga kami sampai di Ranu Kumbolo sesuai target, 4-5 jam perjalanan. Ranu Pani - Watu Rejeng - Ranu Kumbolo Ranu Pani - Watu Rejeng - Ranu Kumbolo Trek awal adalah beraspal, dan mulai berganti dengan jalur tanah, bercampur pasir dan debu saat berbelok kanan melewati gerbang pendakian. Ikuti saja jalur yang ditetapkan, ketika menemui percabangan antara jalur yang menanjak dengan jalur yang menurun, pilih yang menanjak (ke arah kiri melipir bukit), karena bila ke kanan akan menuju lahan pertanian warga. Ketika jalur sudah berubah menjadi jalan setapak, formasi tim pun ditetapkan, Abud berada di depan sebagai leader karena dia agak gemuk dan lebih lambat jalannya, Furqon dan saya (Rifqy) berurutan berada di tengah sebagai middle, dan Mas Kurniawan berada di belakang sebagai sweeper. Abud dan Furqon bergantian membawa jeriken kosong yang memang ditaruh di luar, saya membawa tambahan daypack di depan badan, dan Mas Kurniawan kebagian tugas membawa tenda dome kapasitas 4 orang. Kami berjalan dengan santai dan irama tetap, mengikuti langkah sang leader, yang ternyata cukup ampuh menghemat energi dengan istirahat singkat, daripada berjalan cepat, tapi lebih cepat lelah pula, karena terlalu banyak istirahat. Dari dimulainya jalur setapak, relatif menanjak landai, cukup menguji mental dan menguras tenaga, namun syukurlah kami masih sanggup berjalan tanpa henti dan sampai di Pos I sekitar pukul 09.15 WIB, setelah melewati kawasan Landengan Dowo. Di pos I kami bertemu dengan tiga orang yang sepertinya sekelompok fotografer karena peralatan fotografi mereka begitu lengkap. Ketika ditanya, mereka hanya mendaki sampai Ranu Kumbolo saja lalu pulang kembali hari itu juga.Cukup beristirahat 5 menit, kami melanjutkan perjalanan lagi menuju Watu Rejeng, yang kami tempuh selama hampir 1 jam perjalanan.
Istirahat di Pos I
Furqon berpose di papan penanda pos Watu Rejeng, diambil saat kami sedang beristirahat di sini
Kami kembali beristirahat selama hampir 10 menit di sini, lalu melanjutkan kembali perjalanan menuju Pos III, yang sebelumnya melewati jembatan kayu dan trek yang cukup menanjak selepas jembatan tersebut. Jangka waktu istirahat yang serupa kami lakukan sesampainya di Pos III yang telah ambruk atapnya, karena setelahnya akan dijumpai jalur trek yang curam dan lumayan menyiksa. Kami membutuhkan waktu 15 menit untuk melewatinya. Selanjutnya jalur relatif landai naik turun, khas Gunung Semeru. Sekitar pukul 12.15 WIB kami sampai di Pos IV, yang mana kami sudah bisa melihat dengan jelas Ranu Kumbolo dari sini. Begitu indah dan jernih, kawasan camp terlihat sepi. Kemungkinan kami adalah pendaki pertama yang mendirikan tenda pada siang hari ini. Akhirnya, 30 menit kemudian kami sampai di Ranu Kumbolo. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.45 WIB, artinya sudah 4,5 jam kami berjalan dan kami bersyukur karena sesuai target yang direncanakan. Tampak di ujung selatan danau, ketiga orang kelompok fotografer yang tadi berpapasan kami di Pos I. Segera kami membuka tenda, dan memilih mendirikannya di teras pondok pendaki, karena tidak adanya cover flysheet di tenda kami. Kami khawatir tenda kami akan ngguling (roboh) ketika dihempas angin di malam hari. Selain itu juga, toh saat itu masih sepi sekali, sehingga kami leluasa mendirikan tenda. Menu makan siang itu adalah nasi mie goreng, sangat cukup mengisi perut kami berempat yang sudah keroncongan meminta makan. Tak lama setelah kami membuka kompor, beberapa pendaki nampak mulai berdatangan di Ranu Kumbolo, seperti biasa, salam hangat dan salam sapa mengiringi kami semua. Begitu hangat meskipun sebelumnya tidak pernah bertemu. Inilah yang khas dalam pendakian gunung, begitu berartinya persahabatan, dan saling menghargai perbedaan.
Ranu Kumbolo dilihat dari Pos IV
Manusia-manusia teler di Pos IV
Ranu Kumbolo, 2.400 mdpl Tak lupa kami segera menunaikan sholat Duhur dan Ashar (dijama' qashar), dan berusaha beraklimatisasi (menyesuaikan diri dengan cuaca sekitar). Kami memilih menunggu waktu masuk magrib sekalian sholat, sehingga bisa beristirahat setelahnya. Karena perut masih kenyang dengan asupan nasi mie goreng siang tadi, kami memilih tidur terlebih dahulu dan mungkin bangun di tengah malam untuk masak makan malam. Benar juga, cuaca yang dingin membuat perut terasa cepat lapar dan kami pun terbangun pukul 23.30 malam, dan Mas Kurniawan sudah bangun duluan, sedang memasak nasi plus menghabiskan nugget sisa kemarin. Tak ketinggalan pula menu sarden yang akan kami masak juga di malam yang cerah dan penuh bintang di Ranu Kumbolo, begitu indah dan memang lukisan Allah SWT selalu indah tak terkecuali. Porsi nasi yang kami masak lebih banyak dari kemarin, sehingga kami makan begitu lahapnya sampai nyaris tak tersisa. Kopi hangat menjadi penutup hidangan kami malam ini, sebelum kemudian lanjut tidur kembali di dalam tenda berselimutkan hangatnya sleeping bag. Tak sabar rasanya menunggu pagi esok, karena kami akan melanjutkan perjalanan menuju Kalimati, bagian krusial dari perjalanan kami kali ini. Sabtu, 10 November 2012 Pukul 06.05 WIB, itulah angka yang tertera di arloji saya. Kami (kecuali Mas Kurniawan) bangun kesiangan karena begitu lelapnya tidur semalam. Kami melewatkan momen sunrise Ranu Kumbolo. Saya pun mengejek Abud dan Furqon, karena ini adalah pendakian pertama mereka di Gunung Semeru, malah melewatkan momen sunrise Ranu Kumbolo gara-gara ketiduran.
Ranu Kumbolo di pagi hari Saya : "Hei le, turu ae, akhire gag isok ndelok sunrise isuk mau? Arek loro keturon kabeh", (hei bocah, tidur aja kerjaannya, akhirnya tidak bisa lihat sunrise 'kan pagi tadi? Bocah dua ini ketiduran semua) Furqon dan Abud : "Lha sampeyan yo keturon pisan ngunu lo", (Lha kamu juga ketiduran gitu loh mas) Saya : "Jarno ta, aku wes tahu ndelok sunrise pas pendakian oktober wingi
Foto keluarga sebelum berangkat menuju Kalimati Ranu Kumbolo - Cemoro Kandang - Jambangan - Kalimati Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB tepat ketika kami berkumpul untuk briefing dan berdoa bersama demi keselamatan kami. Dengan meneriakkan jargon "Ji Ro Lu! Budal!" , kami mulai melangkah. Tak sampai 50 meter berjalan, kami sudah menapaki Tanjakan Cinta yang terkenal itu. Berbagai mitos menyertainya, mungkin Anda sudah banyak mengetahui mitos Tanjakan Cinta ini. Yang jelas, tanjakan ini begitu menguras tenaga, ditambah kami membawa tas carrier dengan beban di atas 12 kg, matahari pagi yang sudah cukup terik, jalur yang berpasir dan berdebu. Cukup tesengal-sengal melewati tanjakan ini, 15 menit berlalu kami pun sampai di ujung Tanjakan Cinta dan sudah menanti di bawah sang sabana raksasa, Oro-oro Ombo. Parade narsis pun dimulai, hehehe.
Tanjakan Cinta
Oro-oro Ombo begitu indah dan cantik sekalipun masih kering dan panas. Namun, tanaman-tanaman ilalang itu tinggal menunggu waktu disentuh air hujan agar bisa mekar lagi bunga dan daunnya, berwarna ungu menyejukkan, dan berdiri nyaris setinggi badan. Dari ujung Tanjakan Cinta menuju turunan ke Oro-oro Ombo terlihat Gunung Semeru yang bersembunyi di balik Gunung Kepolo. Sekitar 45 menit kemudian, kami sampai di pos Cemoro Kandang, dengan ketinggian 2.500 mdpl, yang artinya kami sudah memasuki kawasan hutan cemara. Kami istirahat sejenak di pos ini, dan dari tempat kami beristirahat di atas pohon tumbang, jalur cukup jelas. Bekas kebakaran juga terlihat jelas di kawasan Cemoro Kandang ini. Selanjutnya, jalur pendakian relatif landai dan berkelak-kelok. Sesekali menanjak namun tidaklah terlalu curam, sesekali pula melangkahi pohon cemara yang telah tumbang. Satu jam berselang, kami telah sampai di pos Jambangan dengan ketinggian 2.600 mdpl. Dari sini tanaman edelweiss mulai terlihat, dan dari sini pula guratan-guratan pasir khas Gunung Semeru mulai terlihat jelas, membuat kami merinding melihatnya, begitu anggun dan agung ciptaan Allah ini. Tidak lama kami di Jambangan, kami melanjutkan perjalanan menuju basecamp terakhir sebelum puncak, yaitu Kalimati. Sekitar 30 menit berjalan, sampailah kami di pos Kalimati, dengan ketinggian 2.700 mdpl. Di sini cukup banyak para pendaki, baik yang sudah turun dari puncak maupun yang baru tiba. Setelah bertanya-tanya, akhirnya kami menemukan 2 rombongan yang akan melanjutkan perjalanan ke puncak dini hari nanti, yaitu rombongan dari Surabaya dan Malang. Beberapa di antaranya sudah ada yang pernah mengenal medan menuju puncak. Kami bersyukur dan kami sepakat mulai berjalan menuju puncak pukul 23.30 WIB. Agenda berikutnya jelas: mendirikan tenda, persiapan logistik untuk makan malam, sholat Duhur dan Ashar, dan mengambil air di Sumber Mani.
Kawasan Cemoro Kandang, 2.500 mdpl
Furqon di Jambangan, 2.600 mdpl
Jempol si Abud, hehehe
Saya ikut narsis, hehehe
Mas Kurniawan, selalu tetap cool,
Petunjuk arah menuju Sumber Mani, berjalan ke arah barat dari shelter Kalimati
Kawasan Sumber Mani, bekas aliran lahar
Budayakan antri dan sabar,
Berfoto bersama kawan-kawan dari Universitas Kanjuruhan, Malang Sekembalinya kami ke Kalimati, kami membuat kesepakatan untuk mulai masak pada pukul 16.00 WIB, sehingga seusai makan dan sholat magrib, kami langsung tidur menyimpan tenaga untuk keperluan summit attack nanti malam, pukul 23.30 sesuai kesepakatan dengan tim pendaki lain. Menu makan malam kali ini adalah nasi sarden dan kornet, dengan porsi yang lebih banyak daripada malam sebelumnya di Ranu Kumbolo. Singkat cerita, makan malam usai, sholat Magrib dan Isya' tuntas dijama', dan juga beres persiapan peralatan tempur yang meliputi jaket, sarung tangan, kaos berlapis, kaos kaki, sepatu, kupluk, masker, slayer, bahkan Furqon membawa handuk, hehe, air mineral dengan perhitungan satu botol per orang, makanan ringan, dan tak lupa peralatan krusial, yaitu kamera digital. Beberapa barang saya masukkan ke dalam tas daypack saya, dan beberapa di tas carrier 50 L milik mas Kurniawan karena tas saya sudah tidak muat lagi. Segera kami terlelap seusai bersiap-siap. (Sebenarnya, batas pendakian yang diizinkan oleh pihak Taman Nasional Bromo Tengger Semeru atau TNBTS adalah hanya sampai di Kalimati saja. Jika melanjutkan pendakian sampai ke puncak, maka resiko ditanggung sendiri. Namun, bagi kami sudah kepalang tanggung jika kami sudah menginjakkan kaki di Kalimati. Kami harus ke puncak malam ini, bukan bermaksud melanggar aturan, namun bagi kami ini adalah panggilan hati, dan nasihat-nasihat Pak Hambali serta Pak Ningot begitu kuat membekas menyemangati kami. Kami siap kalaupun kami harus mati di Mahameru. Kami siap dengan segala resiko dan tantangan yang ada di hadapan kami nantinya, karena kami datang dengan niat luhur dan tulus, ingin menyaksikan keagungan alam raya ciptaan Allah SWT yang harus kami syukuri dan kagumi. Mengenal Allah melalui alam. Bukankah banyak ayat di Al-Qur'an yang menganjurkan kita keluar menikmati alam untuk mengenal dan mengagumi kebesaran-Nya? Jika Allah mengizinkan, maka kami ingin menjadi bagian dari legenda Mahameru, dan membanggakan Indonesia di mata dunia). Pukul 22.15 WIB kami terbangun, dengan menahan kantuk dan lelah. Namun, kami tetap harus bersemangat karena inilah saatnya pendakian yang sesungguhnya, summit attack menuju Puncak Mahameru. Jalur awal dari Ranu Pani sampai ke Kalimati memang penuh bonus dan trek landai yang begitu panjang, kami anggap sebagai media menguji kesabaran kami, karena pendakian sesungguhnya justru baru dimulai malam ini. Saya dan Furqon kebagian tugas menyiapkan teh hangat untuk bekal sebelum berangkat, sedangkan Mas Kurniawan dan Abud menyiapkan berlembar-lembar roti selai kacang sebagai bekal sarapan di puncak paginya. Setelah semuanya siap, cek ulang peralatan tempur, dan pintu tenda digembok oleh Mas Kurniawan untuk mencegah tikus masuk ke dalam tenda, mengobrak-abrik seisinya. Pukul 23.25, Kami berempat dan rombongan dari Malang berkumpul untuk berdoa bersama, semoga keselamatan menyertai kami selama perjalanan menuju puncak. Sedangkan tim dari Surabaya sudah berangkat duluan pukul 23.00 tadi. Pukul 23.30 tepat, kami mulai berjalan, dengan formasi awal saya berada di depan meskipun saya juga belum tahu medan. Patokan saya hanyalah jalan setapak dan patok semen, serta beberapa petunjuk jalur yang tersedia. Kami berjalan ke arah timur dari pos Kalimati, jalanan awal datar lalu menurun, kemudian berbelok kanan sesuai petunjuk arah yang tersedia. Tak jauh dari papan petunjuk tadi, kami mulai masuk kawasan hutan yang terkesan gelap dan angker. Saya sesekali mengingatkan rekan-rekan agar pikiran jangan sampai kosong, sering berdzikir, mengingat Allah SWT dan orang tua kami, sebagai penyemangat ajaib dalam pendakian terjal kami. Minggu, 11 November 2012 Kalimati - Arcapadha - Kelik - Puncak Mahameru Jalur yang kami lalui begitu berpasir dan berdebu, seringkali beterbangan karena diinjak kaki-kaki pada pendaki. Selain itu juga, jalur begitu menanjak, sesekali curam membuat kami cukup ngos-ngosan melangkah. Setelah satu jam berjalan, tepatnya pukul 00.30 WIB, sampailah kami di kawasan Arcapadha dengan ketinggian 2.900 mdpl, atau dalam bahasa Jawa biasa disebut Arcopodo, tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai Arcapadha, terkesan mistik dan legendaris, hehe. Di sini terdapat beberapa plakat nisan untuk mengenang para pendaki terdahulu, baik yang meninggal dunia maupun hilang belum ditemukan. Saya dalam hati sempat mendoakan mereka, agar diberikan tempat yang layak di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Di kawasan ini sebenarnya bisa dipakai sebagai tempat camp, namun tanahnya rawan longsor dan terlalu berdebu. Setelah 5 menit istirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan, kali ini gantian si Abud yang di depan, sementara saya berada di belakang Furqon. Kegelapan malam tersibak sinar-sinar sorot headlamp dan senter dari pendaki, berbaris rapi berjalan perlahan. Total 10 orang yang ada dan ikut serta dalam summit attack bersama ini. Tak sampai 30 menit berjalan, dengan trek yang terus menanjak, sampailah kami di daerah yang biasa disebut Kelik, langit luas yang berbintang mulai terlihat jelas. Kelik adalah sebuah pelawangan, batas antara vegetasi dan lautan pasir berbatu menuju puncak. Di batas vegetasi ini, ditandai dengan pagar rantai dan plang besi, disertai bendera merah sebagai penanda masuk dan keluar jalur, baik dari Arcapadha menuju puncak atau sebaliknya. Pada saat malam belum terasa ngeri, karena cukup gelap. Jalur menuju lautan pasir selepas dari Kelik berupa gigiran cukup tipis, sisi kanan dan kiri adalah jurang. Sejenak mengambil nafas, karena dimulai dari Kelik inilah, pendakian yang sesungguhnya baru akan dimulai. Jarak dari Arcapadha ke Puncak Mahameru "hanyalah" 1,2 km, namun kenyataannya dalam perjalanan akan terasa lebih dari angka itu, dilihat dari waktu tempuhnya.
Papan penanda kawasan Arcapadha atau Arcopodo, 2.900 mdpl Kami mulai berjalan perlahan tapi pasti. Apa yang dikatakan orang-orang yang sudah pernah ke sini benar-benar kami rasakan sendiri, yakni berjalan tiga langkah, akan merosot dua langkah. Hal ini seakan membuat setiap langkah sia-sia. Saya beberapa kali mencoba teknik menancapkan ujung sepatu cukup dalam ke pasir, lalu menanjak naik perlahan, cukup ampuh namun sepatu rawan jebol nantinya. Terkadang juga saya merangkak, menancapkan tangan saya ke dalam pasir, sehingga seringkali kerikil dan pasir masuk ke dalam sarung tangan. Setiap sekian menit berjalan, kami berulang-kali beristirahat, duduk selonjor, mengambil nafas yang terus deru memburu. Ancaman berupa batu mulai berukuran sedang sampai besar bisa-bisa mengancam kami dari atas, menggelinding dengan mudahnya karena tak sengaja terinjak pendaki di atas. Karena itu, kami berusaha saling mengingatkan agar tidak berpijak di atas bebatuan yang rapuh dan labil, karena dikhawatirkan akan menimpa pendaki di bawahnya. Nampak sayup-sayup di atas sana sinar kerlip headlamp bergerak, sepertinya tim dari Surabaya sudah sampai duluan di puncak. Mata saya yang nanar membatin seolah-olah kami berjalan tidak nyampe-nyampe, sinar lampu di kejauhan nampak masih jauh, sedangkan melihat ke bawah sudah gelap tak terlihat apa-apa, kecuali hanya jejak kaki kami. Nampak juga di kejauhan petir bergerak menerangi malam secepat kilat, nampaknya sedang turun hujan di suatu daerah yang berdekatan dengan kawasan Tengger di daerah Cemorolawang. Nampak di sisi barat dan timur lampu-lampu berkerlip menghiasi kota-kota yang terlihat indah. Sesekali ketika kami beristirahat mengatur nafas, hawa dingin yang menusuk di sela-sela tengkuk leher dan pergelangan tangan, serta wajah yang tak tertutup masker begitu terasa. Dinginnya begitu kering, bibir terasa kering dan pecah-pecah, tenggorokan juga terasa haus. Ditambah, rasa kantuk dan lelah yang mendera. Beberapa kali saya berjalan, ketika lengah sedikit saja saya sempat terperosok ke bawah beberapa langkah. Di saat-saat seperti inilah kami harus mempertajam mata dan fokus, konsentrasi. Lengah sedikit, kanan kiri jurang siap menyambut kejatuhan kami. Waktu sudah menunjukkan pukul 03.30 WIB, sudah 3 jam kami berjalan dari Arcapadha, namun puncak belum mau menampakkan tanahnya. Hanya ada bintang jatuh, bulan bintang yang gemerlap dan teriakan semangat yang menghibur kami. Kami terus berjalan, saling mengingatkan untuk tetap fokus. Furqon nampak begitu cepat melangkah, sedangkan saya harus sesekali memperlambat, menunggu si Abud yang terlihat semakin letih, dan Mas Kurniawan yang berada di belakang Abud, sebagai sweeper. Mas Kurniawan memang luar biasa kuat, membawa carrier yang masih berisi sleeping bag dan matras, ditambah beberapa air mineral dan logistik kami. Tak terasa sudah hampir 4 jam kami berjalan, pukul 04.30 matahari sudah mulai menampakkan sekelebat sinarnya, hari mulai cerah, dan sunrise makin dekat. Namun kami masih terdampar di lereng dengan kemiringan nyaris 60 derajat. Saya sempat merekamnya dalam kamera yang saya bawa, tidak maksimal memang, tapi semoga cukup mewakili keindahan pagi itu yang sangat sulit diungkapkan dalam kata-kata. Puncak masih cukup jauh, saya melihat ke bawah, merasa sudah cukup tinggi dan jauh kami berjalan, dan ketika melihat ke atas, seolah-olah jalur yang akan dilewati tak habis-habis. Hal ini sangat menguji mental dan semangat kami, namun kami tidak boleh menyerah. Tak apa perlahan berjalan dengan tertatih-tatih, namun pasti bisa sampai puncak di atas sana. Harus bisa sampai, mencium pasir Mahameru!
Sunrise di lereng Gunung Semeru yang curam, lukisan yang terindah pagi hari itu
Beragam ekspresi di Mahameru
Furqon yang kalem
Saya yang pose rocker,
Si Abud yang akhirnya mencapai puncak
Mas Kurniawan yang begitu sumringah
Abud terkapar di puncak
Nampak sayup-sayup Gunung Arjuno dan Welirang di belakang sana
Alam raya yang terlihat dari Mahameru sangatlah indah. Lautan awan bergumpal memutih dan lembut. Di sisi timur nampak jajaran Pegunungan Iyang Timur, dengan Gunung Argopuro-nya yang masyhur. Di sisi barat terdapat barisan Pegunungan di Kota Batu, dan juga Gunung Arjuno - Welirang yang nampak gagah, seolah menyapa kami dari sana. Gunung Kepolo di sisi utara juga terlihat sangat jelas, Gunung Bromo dengan kawahnya yang mengepul terlihat cukup jelas, pos Kalimati dengan atap hijaunya juga nampak kecil kejauhan di bawah sana. Indah, sangat indah. Kata-kata di artikel ini tak akan cukup menggambarkan betapa agung dan cantik lukisan Allah SWT ini. Tiada kebanggaan pribadi, kecuali kebanggaan terhadap Indonesia, negeri bumi pertiwi kami, yang memiliki Gunung Semeru sebagai tanah tertinggi di Pulau Jawa. Seperti yang lainnya jamak dilakukan, kami juga menyempatkan berfoto ria, merekam dan membekukan waktu sejenak untuk menunjukkan bahwa kami sudah ada di sini, berdiri haru di Puncak Mahameru. Roti selai kacang yang dibawa dari Kalimati juga sempat kami makan sebagai sarapan kami. Tiba-tiba asap keluar dari kawah Jonggring Saloka ketika waktu menunjukkan pukul 06.30 WIB, cukup mengagetkan kami. Sontak para pendaki lain berhamburan untuk berfoto dengan latar belakang bumbungan asap tersebut. Kami sempat khawatir asapnya akan mengarah kepada kami, meskipun arah angin belum berubah. Kami sepakat harus turun pada pukul 07.00 tepat, sebelum arah angin berubah membawa asap beracun itu kepada kami. Kami mempercepat persiapan dan menyempatkan diri untuk memperbanyak foto-foto dengan berbagai pose, dipotret dengan kamera kami. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 tepat, kami harus turun kembali menuju Kalimati. Berat rasanya berpisah, namun logika mengalahkan perasaan kami. Kami harus turun.
Foto keluarga mengibarkan bendera GAMANANTA di puncak Mahameru,
In Memoriam Soe Hok Gie dan Idhan Lubis, semoga kalian tenang di sisi-Nya, terima kasih atas inspirasi kalian berdua
Foto bersama para pendaki lain sebelum turun dari puncak
Jalur turun begitu curam dan bikin ngeri (tampak jelas di depannya adalah Gunung Kepolo) Setelah berdoa, kami bersama pendaki lain segera turun. Kembali ke jalur yang terdapat penunjuk arahnya tadi. Yang perlu diingat adalah, di mana kita memasuki kawasan puncak, di situ pula jalur kita turun. Jangan sampai salah jalur atau jurang siap menyambut Anda. Selepas daerah puncak, saya merasakan begitu ngeri jalur yang kami lalui semalam. Berpasir dan berbatu, curam dan menohok mata. Intinya, mengerikan. Memang, kami bisa mempercepat langkah dengan teknik sandboarding, memerosotkan diri ke bawah, namun tetap harus berhati-hati karena rawan terjungkal dan terpeleset. Tetap fokus. Tampak pula di sebelah kanan jalur, cemoro tunggal yang sudah lama tumbang. Selepas cemoro tunggal ini, nampak pula cukup jelas bendera merah dan plang penanda masuk kembali kawasan Arcapadha. Kita hanya harus bergerak lurus ke utara, jika diukur kompas nyaris 0 derajat. Sesekali kami menghindari tumpukan batu, namun kami harus segera kembali ke jalur tengah dan lurus. Lengah sedikit saja, kami akan jatuh di jurang Blank 75, sebuah jurang yang cukup dalam, yang apabila kita terjatuh di dalamnya akan sulit naik kembali lagi. Di Blank 75 inilah dikabarkan pendaki dari Universitas Brawijaya yang sempat hilang itu terjatuh, karena kurang konsentrasi dan mungkin ada faktor ego pribadi di pikirannya. Sesekali kami beristirahat duduk, perlahan namun pasti, dan akhirnya sudah dua jam kami berjalan dari puncak. Pukul 09.00 tepat, kami telah sampai di Kalimati kembali. Alhamdulillah, ketegangan selama perjalanan berangkat ke puncak dan pulang dari puncak sudah mulai hilang. Tinggal perjalanan pulang yang kami tempuh. Segera kami beristirahat sejenak, karena pukul 13.00 WIB kami sepakat harus sudah bergerak kembali menuju Ranu Kumbolo.
Berfoto sebelum meninggalkan Kalimati, nampak Gunung Semeru di belakang kami yang merindukan itu terlihat jelas Kalimati - Ranu Kumbolo - Ranu Pani Setelah packing ulang dan merapikan tenda, kami bersiap berangkat kembali menuju Ranu Kumbolo. Sebelum berjalan, kami menyempatkan diri untuk berpamitan dengan kawan-kawan dari Surabaya, sempat bertukar alamat Facebook juga, semoga tali persahabatan dan silaturahmi tidak putus begitu saja dan bersambung kembali di lain waktu yang akan datang. Kami mulai berjalan, tak banyak beristirahat karena jalur relatif menurun selepas dari Jambangan. Di tengah jalan, kami sempat berpapasan dengan beberapa pendaki yang naik, di antaranya tiga orang pendaki asing entah dari mana. Senyum kami menghiasi dan menyapa mereka. Begitu hangat, dan menyejukkan hati di tengah cuaca yang panas saat itu. Pukul 15.30 tepat, kami akhirnya sampai di Ranu Kumbolo. Kami sepakat untuk istirahat dulu selama satu jam untuk sholat dan memanjakan kaki sejenak. Yang jelas, kami menargetkan malam ini harus sudah sampai kembali di Ranu Pani. Karena, beberapa di antara kami ada agenda masing-masing pada hari Senin esok.
Bertemu Ranu Kumbolo lagi, pamit kepadanya sebelum kembali pulang. We will miss you,
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI