Budayakan antri dan sabar,
Berfoto bersama kawan-kawan dari Universitas Kanjuruhan, Malang Sekembalinya kami ke Kalimati, kami membuat kesepakatan untuk mulai masak pada pukul 16.00 WIB, sehingga seusai makan dan sholat magrib, kami langsung tidur menyimpan tenaga untuk keperluan summit attack nanti malam, pukul 23.30 sesuai kesepakatan dengan tim pendaki lain. Menu makan malam kali ini adalah nasi sarden dan kornet, dengan porsi yang lebih banyak daripada malam sebelumnya di Ranu Kumbolo. Singkat cerita, makan malam usai, sholat Magrib dan Isya' tuntas dijama', dan juga beres persiapan peralatan tempur yang meliputi jaket, sarung tangan, kaos berlapis, kaos kaki, sepatu, kupluk, masker, slayer, bahkan Furqon membawa handuk, hehe, air mineral dengan perhitungan satu botol per orang, makanan ringan, dan tak lupa peralatan krusial, yaitu kamera digital. Beberapa barang saya masukkan ke dalam tas daypack saya, dan beberapa di tas carrier 50 L milik mas Kurniawan karena tas saya sudah tidak muat lagi. Segera kami terlelap seusai bersiap-siap. (Sebenarnya, batas pendakian yang diizinkan oleh pihak Taman Nasional Bromo Tengger Semeru atau TNBTS adalah hanya sampai di Kalimati saja. Jika melanjutkan pendakian sampai ke puncak, maka resiko ditanggung sendiri. Namun, bagi kami sudah kepalang tanggung jika kami sudah menginjakkan kaki di Kalimati. Kami harus ke puncak malam ini, bukan bermaksud melanggar aturan, namun bagi kami ini adalah panggilan hati, dan nasihat-nasihat Pak Hambali serta Pak Ningot begitu kuat membekas menyemangati kami. Kami siap kalaupun kami harus mati di Mahameru. Kami siap dengan segala resiko dan tantangan yang ada di hadapan kami nantinya, karena kami datang dengan niat luhur dan tulus, ingin menyaksikan keagungan alam raya ciptaan Allah SWT yang harus kami syukuri dan kagumi. Mengenal Allah melalui alam. Bukankah banyak ayat di Al-Qur'an yang menganjurkan kita keluar menikmati alam untuk mengenal dan mengagumi kebesaran-Nya? Jika Allah mengizinkan, maka kami ingin menjadi bagian dari legenda Mahameru, dan membanggakan Indonesia di mata dunia). Pukul 22.15 WIB kami terbangun, dengan menahan kantuk dan lelah. Namun, kami tetap harus bersemangat karena inilah saatnya pendakian yang sesungguhnya, summit attack menuju Puncak Mahameru. Jalur awal dari Ranu Pani sampai ke Kalimati memang penuh bonus dan trek landai yang begitu panjang, kami anggap sebagai media menguji kesabaran kami, karena pendakian sesungguhnya justru baru dimulai malam ini. Saya dan Furqon kebagian tugas menyiapkan teh hangat untuk bekal sebelum berangkat, sedangkan Mas Kurniawan dan Abud menyiapkan berlembar-lembar roti selai kacang sebagai bekal sarapan di puncak paginya. Setelah semuanya siap, cek ulang peralatan tempur, dan pintu tenda digembok oleh Mas Kurniawan untuk mencegah tikus masuk ke dalam tenda, mengobrak-abrik seisinya. Pukul 23.25, Kami berempat dan rombongan dari Malang berkumpul untuk berdoa bersama, semoga keselamatan menyertai kami selama perjalanan menuju puncak. Sedangkan tim dari Surabaya sudah berangkat duluan pukul 23.00 tadi. Pukul 23.30 tepat, kami mulai berjalan, dengan formasi awal saya berada di depan meskipun saya juga belum tahu medan. Patokan saya hanyalah jalan setapak dan patok semen, serta beberapa petunjuk jalur yang tersedia. Kami berjalan ke arah timur dari pos Kalimati, jalanan awal datar lalu menurun, kemudian berbelok kanan sesuai petunjuk arah yang tersedia. Tak jauh dari papan petunjuk tadi, kami mulai masuk kawasan hutan yang terkesan gelap dan angker. Saya sesekali mengingatkan rekan-rekan agar pikiran jangan sampai kosong, sering berdzikir, mengingat Allah SWT dan orang tua kami, sebagai penyemangat ajaib dalam pendakian terjal kami. Minggu, 11 November 2012 Kalimati - Arcapadha - Kelik - Puncak Mahameru Jalur yang kami lalui begitu berpasir dan berdebu, seringkali beterbangan karena diinjak kaki-kaki pada pendaki. Selain itu juga, jalur begitu menanjak, sesekali curam membuat kami cukup ngos-ngosan melangkah. Setelah satu jam berjalan, tepatnya pukul 00.30 WIB, sampailah kami di kawasan Arcapadha dengan ketinggian 2.900 mdpl, atau dalam bahasa Jawa biasa disebut Arcopodo, tapi saya lebih suka menyebutnya sebagai Arcapadha, terkesan mistik dan legendaris, hehe. Di sini terdapat beberapa plakat nisan untuk mengenang para pendaki terdahulu, baik yang meninggal dunia maupun hilang belum ditemukan. Saya dalam hati sempat mendoakan mereka, agar diberikan tempat yang layak di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Di kawasan ini sebenarnya bisa dipakai sebagai tempat camp, namun tanahnya rawan longsor dan terlalu berdebu. Setelah 5 menit istirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan, kali ini gantian si Abud yang di depan, sementara saya berada di belakang Furqon. Kegelapan malam tersibak sinar-sinar sorot headlamp dan senter dari pendaki, berbaris rapi berjalan perlahan. Total 10 orang yang ada dan ikut serta dalam summit attack bersama ini. Tak sampai 30 menit berjalan, dengan trek yang terus menanjak, sampailah kami di daerah yang biasa disebut Kelik, langit luas yang berbintang mulai terlihat jelas. Kelik adalah sebuah pelawangan, batas antara vegetasi dan lautan pasir berbatu menuju puncak. Di batas vegetasi ini, ditandai dengan pagar rantai dan plang besi, disertai bendera merah sebagai penanda masuk dan keluar jalur, baik dari Arcapadha menuju puncak atau sebaliknya. Pada saat malam belum terasa ngeri, karena cukup gelap. Jalur menuju lautan pasir selepas dari Kelik berupa gigiran cukup tipis, sisi kanan dan kiri adalah jurang. Sejenak mengambil nafas, karena dimulai dari Kelik inilah, pendakian yang sesungguhnya baru akan dimulai. Jarak dari Arcapadha ke Puncak Mahameru "hanyalah" 1,2 km, namun kenyataannya dalam perjalanan akan terasa lebih dari angka itu, dilihat dari waktu tempuhnya.
Papan penanda kawasan Arcapadha atau Arcopodo, 2.900 mdpl Kami mulai berjalan perlahan tapi pasti. Apa yang dikatakan orang-orang yang sudah pernah ke sini benar-benar kami rasakan sendiri, yakni berjalan tiga langkah, akan merosot dua langkah. Hal ini seakan membuat setiap langkah sia-sia. Saya beberapa kali mencoba teknik menancapkan ujung sepatu cukup dalam ke pasir, lalu menanjak naik perlahan, cukup ampuh namun sepatu rawan jebol nantinya. Terkadang juga saya merangkak, menancapkan tangan saya ke dalam pasir, sehingga seringkali kerikil dan pasir masuk ke dalam sarung tangan. Setiap sekian menit berjalan, kami berulang-kali beristirahat, duduk selonjor, mengambil nafas yang terus deru memburu. Ancaman berupa batu mulai berukuran sedang sampai besar bisa-bisa mengancam kami dari atas, menggelinding dengan mudahnya karena tak sengaja terinjak pendaki di atas. Karena itu, kami berusaha saling mengingatkan agar tidak berpijak di atas bebatuan yang rapuh dan labil, karena dikhawatirkan akan menimpa pendaki di bawahnya. Nampak sayup-sayup di atas sana sinar kerlip headlamp bergerak, sepertinya tim dari Surabaya sudah sampai duluan di puncak. Mata saya yang nanar membatin seolah-olah kami berjalan tidak nyampe-nyampe, sinar lampu di kejauhan nampak masih jauh, sedangkan melihat ke bawah sudah gelap tak terlihat apa-apa, kecuali hanya jejak kaki kami. Nampak juga di kejauhan petir bergerak menerangi malam secepat kilat, nampaknya sedang turun hujan di suatu daerah yang berdekatan dengan kawasan Tengger di daerah Cemorolawang. Nampak di sisi barat dan timur lampu-lampu berkerlip menghiasi kota-kota yang terlihat indah. Sesekali ketika kami beristirahat mengatur nafas, hawa dingin yang menusuk di sela-sela tengkuk leher dan pergelangan tangan, serta wajah yang tak tertutup masker begitu terasa. Dinginnya begitu kering, bibir terasa kering dan pecah-pecah, tenggorokan juga terasa haus. Ditambah, rasa kantuk dan lelah yang mendera. Beberapa kali saya berjalan, ketika lengah sedikit saja saya sempat terperosok ke bawah beberapa langkah. Di saat-saat seperti inilah kami harus mempertajam mata dan fokus, konsentrasi. Lengah sedikit, kanan kiri jurang siap menyambut kejatuhan kami. Waktu sudah menunjukkan pukul 03.30 WIB, sudah 3 jam kami berjalan dari Arcapadha, namun puncak belum mau menampakkan tanahnya. Hanya ada bintang jatuh, bulan bintang yang gemerlap dan teriakan semangat yang menghibur kami. Kami terus berjalan, saling mengingatkan untuk tetap fokus. Furqon nampak begitu cepat melangkah, sedangkan saya harus sesekali memperlambat, menunggu si Abud yang terlihat semakin letih, dan Mas Kurniawan yang berada di belakang Abud, sebagai sweeper. Mas Kurniawan memang luar biasa kuat, membawa carrier yang masih berisi sleeping bag dan matras, ditambah beberapa air mineral dan logistik kami. Tak terasa sudah hampir 4 jam kami berjalan, pukul 04.30 matahari sudah mulai menampakkan sekelebat sinarnya, hari mulai cerah, dan sunrise makin dekat. Namun kami masih terdampar di lereng dengan kemiringan nyaris 60 derajat. Saya sempat merekamnya dalam kamera yang saya bawa, tidak maksimal memang, tapi semoga cukup mewakili keindahan pagi itu yang sangat sulit diungkapkan dalam kata-kata. Puncak masih cukup jauh, saya melihat ke bawah, merasa sudah cukup tinggi dan jauh kami berjalan, dan ketika melihat ke atas, seolah-olah jalur yang akan dilewati tak habis-habis. Hal ini sangat menguji mental dan semangat kami, namun kami tidak boleh menyerah. Tak apa perlahan berjalan dengan tertatih-tatih, namun pasti bisa sampai puncak di atas sana. Harus bisa sampai, mencium pasir Mahameru!
Sunrise di lereng Gunung Semeru yang curam, lukisan yang terindah pagi hari itu
Beragam ekspresi di Mahameru
Furqon yang kalem
Saya yang pose rocker,
Si Abud yang akhirnya mencapai puncak
Mas Kurniawan yang begitu sumringah
Abud terkapar di puncak
Nampak sayup-sayup Gunung Arjuno dan Welirang di belakang sana
Alam raya yang terlihat dari Mahameru sangatlah indah. Lautan awan bergumpal memutih dan lembut. Di sisi timur nampak jajaran Pegunungan Iyang Timur, dengan Gunung Argopuro-nya yang masyhur. Di sisi barat terdapat barisan Pegunungan di Kota Batu, dan juga Gunung Arjuno - Welirang yang nampak gagah, seolah menyapa kami dari sana. Gunung Kepolo di sisi utara juga terlihat sangat jelas, Gunung Bromo dengan kawahnya yang mengepul terlihat cukup jelas, pos Kalimati dengan atap hijaunya juga nampak kecil kejauhan di bawah sana. Indah, sangat indah. Kata-kata di artikel ini tak akan cukup menggambarkan betapa agung dan cantik lukisan Allah SWT ini. Tiada kebanggaan pribadi, kecuali kebanggaan terhadap Indonesia, negeri bumi pertiwi kami, yang memiliki Gunung Semeru sebagai tanah tertinggi di Pulau Jawa. Seperti yang lainnya jamak dilakukan, kami juga menyempatkan berfoto ria, merekam dan membekukan waktu sejenak untuk menunjukkan bahwa kami sudah ada di sini, berdiri haru di Puncak Mahameru. Roti selai kacang yang dibawa dari Kalimati juga sempat kami makan sebagai sarapan kami. Tiba-tiba asap keluar dari kawah Jonggring Saloka ketika waktu menunjukkan pukul 06.30 WIB, cukup mengagetkan kami. Sontak para pendaki lain berhamburan untuk berfoto dengan latar belakang bumbungan asap tersebut. Kami sempat khawatir asapnya akan mengarah kepada kami, meskipun arah angin belum berubah. Kami sepakat harus turun pada pukul 07.00 tepat, sebelum arah angin berubah membawa asap beracun itu kepada kami. Kami mempercepat persiapan dan menyempatkan diri untuk memperbanyak foto-foto dengan berbagai pose, dipotret dengan kamera kami. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 tepat, kami harus turun kembali menuju Kalimati. Berat rasanya berpisah, namun logika mengalahkan perasaan kami. Kami harus turun.
Foto keluarga mengibarkan bendera GAMANANTA di puncak Mahameru,
In Memoriam Soe Hok Gie dan Idhan Lubis, semoga kalian tenang di sisi-Nya, terima kasih atas inspirasi kalian berdua
Foto bersama para pendaki lain sebelum turun dari puncak
Jalur turun begitu curam dan bikin ngeri (tampak jelas di depannya adalah Gunung Kepolo) Setelah berdoa, kami bersama pendaki lain segera turun. Kembali ke jalur yang terdapat penunjuk arahnya tadi. Yang perlu diingat adalah, di mana kita memasuki kawasan puncak, di situ pula jalur kita turun. Jangan sampai salah jalur atau jurang siap menyambut Anda. Selepas daerah puncak, saya merasakan begitu ngeri jalur yang kami lalui semalam. Berpasir dan berbatu, curam dan menohok mata. Intinya, mengerikan. Memang, kami bisa mempercepat langkah dengan teknik sandboarding, memerosotkan diri ke bawah, namun tetap harus berhati-hati karena rawan terjungkal dan terpeleset. Tetap fokus. Tampak pula di sebelah kanan jalur, cemoro tunggal yang sudah lama tumbang. Selepas cemoro tunggal ini, nampak pula cukup jelas bendera merah dan plang penanda masuk kembali kawasan Arcapadha. Kita hanya harus bergerak lurus ke utara, jika diukur kompas nyaris 0 derajat. Sesekali kami menghindari tumpukan batu, namun kami harus segera kembali ke jalur tengah dan lurus. Lengah sedikit saja, kami akan jatuh di jurang Blank 75, sebuah jurang yang cukup dalam, yang apabila kita terjatuh di dalamnya akan sulit naik kembali lagi. Di Blank 75 inilah dikabarkan pendaki dari Universitas Brawijaya yang sempat hilang itu terjatuh, karena kurang konsentrasi dan mungkin ada faktor ego pribadi di pikirannya. Sesekali kami beristirahat duduk, perlahan namun pasti, dan akhirnya sudah dua jam kami berjalan dari puncak. Pukul 09.00 tepat, kami telah sampai di Kalimati kembali. Alhamdulillah, ketegangan selama perjalanan berangkat ke puncak dan pulang dari puncak sudah mulai hilang. Tinggal perjalanan pulang yang kami tempuh. Segera kami beristirahat sejenak, karena pukul 13.00 WIB kami sepakat harus sudah bergerak kembali menuju Ranu Kumbolo.
Berfoto sebelum meninggalkan Kalimati, nampak Gunung Semeru di belakang kami yang merindukan itu terlihat jelas Kalimati - Ranu Kumbolo - Ranu Pani Setelah packing ulang dan merapikan tenda, kami bersiap berangkat kembali menuju Ranu Kumbolo. Sebelum berjalan, kami menyempatkan diri untuk berpamitan dengan kawan-kawan dari Surabaya, sempat bertukar alamat Facebook juga, semoga tali persahabatan dan silaturahmi tidak putus begitu saja dan bersambung kembali di lain waktu yang akan datang. Kami mulai berjalan, tak banyak beristirahat karena jalur relatif menurun selepas dari Jambangan. Di tengah jalan, kami sempat berpapasan dengan beberapa pendaki yang naik, di antaranya tiga orang pendaki asing entah dari mana. Senyum kami menghiasi dan menyapa mereka. Begitu hangat, dan menyejukkan hati di tengah cuaca yang panas saat itu. Pukul 15.30 tepat, kami akhirnya sampai di Ranu Kumbolo. Kami sepakat untuk istirahat dulu selama satu jam untuk sholat dan memanjakan kaki sejenak. Yang jelas, kami menargetkan malam ini harus sudah sampai kembali di Ranu Pani. Karena, beberapa di antara kami ada agenda masing-masing pada hari Senin esok.
Bertemu Ranu Kumbolo lagi, pamit kepadanya sebelum kembali pulang. We will miss you,