Mohon tunggu...
Rifqi Ulinnuha
Rifqi Ulinnuha Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

pecinta filsafat, teologi, tasawuf, psikologi, moderasi agama-toleransi, lingkungan hidup, kemanusiaan, sosial-budaya, gender dan sastra.🪄

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berlin Und Zuneigung #2 (The End)

15 Agustus 2024   14:32 Diperbarui: 15 Agustus 2024   14:36 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semalaman Ketta dan Joe saling bercerita. Menukar kehidupan jaman dulu yang entah mereka sendiri menyukainya atau tidak. Joe sangat berempati pada kisah hidup Ketta; tidak hanya pada kisahnya saja. Tapi, pada Ketta yang nyata adanya di dunia sekarang. Setiap kata dan kalimat yang Ketta keluarkan, membuat Joe merasakan perasaan aneh yang ada di dalam dirinya itu. Ia tidak paham itu apa dan tidak mau memahaminya lagi seperti apa. Jauh sebelum mereka sedekat ini di dalam rumah sakit. Ketta sering membeli obat sakit perut di apotik miliknya. Joe sendiri sampai keheranan kenapa perempuan itu membeli begitu banyak obat sakit perut yang begitu sering. Pada saat itu ia ingin sekali bertanya kenapa dan berkenalan padanya. Tapi mungkin angkasa mencukupkan dirinya hanya dengan diam dan tidak mempertanyakan apapun padanya. Namun sekarang Tuhan mempertemukan mereka kembali dengan cara yang berbeda dan pastinya mengeratkan hal yang mereka sendiri tidak bisa memahaminya secara langsung.

Ketta membuka mulai matanya perlahan. Cahaya matahari tidak begitu terik karena tertutup oleh awan mendung. Ia melihat tangan kanannya digenggam begitu erat oleh tangan Joe. Ia merasakan dirinya membeku dan bahagia dalam satu waktu. Ketta tidak tidak paham dengan apa yang sedang ia rasakan di dalm dirinya itu. tentu saja, ia juga tidak mau menganggap serius itu. Walaupun, ia merasa penasaran juga dengan dirinya itu.

Ia menarik tangannya dari genggaman erat Joe, hingga membuat laki-laki yang tadinya tertidur pulas sambil duduk di sampinya itupun terbangun. Joe mengucek-ngucek matanya sebentar dan menatap ke arah Ketta yang wajahnya masih juga kaku.

"Kamu kenapa? Kok kelihatannya kaku begitu."

"Kamu sadar nggak sih?!" tanya Ketta dengan gugup.

"Sadar apa? Aku selalu sadar, bahkan pada saat aku tertidur."

"Berarti kamu sadar, semalaman menggenggam erat tanganku?"

Joe terdiam dan memalingkan wajahnya ke arah lain dan berkata "Aku belikan makanan untukmu dulu," lalu ia beranjak keluar dari kamar tempat Ketta di rawat.

Ada apa dengan laki-laki itu? Tingkahnya aneh sekali. Padahal semalam ia masih bisa tertawa mendengar cerita-cerita lucu dari pengalaman mengajarku di Berlin Metropolitan School. Tapi, sekarang kenapa berubah menjadi gugup seperti itu? Apa mungkin ia juga merasakan perasaan aneh yang aku alami sekarang? AAAAHHHH, KETTA! STOP!!

Selang beberapa menit setelah memikirkan keanehan Joe dan juga dirinya. Ketta meraih handphone-nya yang berada di atas nakas yang tidak juah dari diri jangkauannya. Ia mengirim pesan pada Clara teman mengajarnya di BMS, untuk tidak mengajar selama satu minggu ke depan; ia menuruti permintaan Joe, setidaknya bisa sedikit pulih untuk kembali mengajar di sekolah. Usai itu, ia menaruh handphone-nya kembali dan melanjutkan khayalan-khayalan yang tidak begitu penting bagi ayahnya yang selalu merusak semua yang ada di dalam kepalanya itu.

"Charlotte, apa yang kamu dapatkan dengan mulut yang terus berbicara?!"

"Dad, are you okay?"

"I should have say that to you!!!"

"Dad, bukankah semua kemajuan teknologi dan strategi pemasaran itu di dapat dari sebuah ilmu?"

"Ya. Tapi, bukan dengan cara menjadi guru elementary school sepertimu."

"Why Dad? Bukankah sekolah dasar adalah sebuah permulaan dari semua yang dicita-citakan. Membangun dan membentuk isi kepala dan perasaan yang dapat memanusiakan manusia. Menghidupi kehidupan sendiri tanpa ada rasa peduli adalah ketiadaan yang mematikan."

Mendengar jawaban dari Ketta barusan. Ayahnya, naik pitam wajahnya pun memerah dan mendekat ke arah Ketta dengan penuh amarah dan... ia mencekik Ketta---karena ucapan dari anaknya barusan yang menuruhnya mati daripada hidup untuk memperkaya diri sendiri.

Napas, Ketta tersendat-sendat. Cekikan ayahnya itu semakin kuat; wajahnya memancarakan kebencian yang begitu mendalam pada anak perempuannya itu.

"Mati saja kau perempuan tidak berguna!!!!" teriaknya dengan memperkuat cekikannya itu.

Ketta sudah pasrah dengan hidupnya yang mungkin akan hilang dalam beberapa menit kemudian. Air matanya mengalir deras, ingin kembali bersuara tapi tidak bisa karena sisa napasnya tidak lagi menyuruhnya untuk bisa berkata apapun. Dan....

BUUGGHH!!

Suara cukup keras yang ditimbulkan oleh pukulan tangan yang sengaja dipukulkan oleh Madam John, istrinya sendiri. Cekikan itupun terlepas dan ia mengambil kesempatan untuk berlari menuju putrinya yang jatuh tersungkur akibat cekikan keras suaminya yang seperti kesetanan. Ya, kesetanan oleh amarahnya sendiri yang sudah tak lagi terikat kencang oleh tali.

"Kau bodoh, John!! Putrimu sendiri mau kau bunuh?!!" katanya sambil memeluk putrinya erat dan tatapan tajam yang mengintrogasi suaminya itu.

"Dia bukan putriku! Dia tidak berguna!!"

Setelah napasnya kembali pulih dari bekas-bekas ketiadaan yang tidak jadi menghampirinya, Ketta pun kembali bangun dengan dipapah oleh ibunya sambil berkata "Aku tidak mau memperlakukan orang-orang seperti ekor sapi yang menjuntai-juntai. Mengucapkan terima kasih pada tuannya yang nyatanya telah mengalienasi mereka semua. Aku ingin terus mendidik anak-anak kecil untuk tidak melucuti keringat dan kulit semua pekerja dikemudian hari. Mereka harus dididik dengan kepala yang dibekali kasih sayang dan bukanlah perbudakan, simpati dan bukanlah memperdekat kata mati, kesejahteraan dan bukanlah pelacuran moral yang terus dilakukan oleh pengusaha yang memakan daging dan meminum nanah para pekerjanya sendiri. Aku ingin ketika mereka besar nanti tidak menjadi mimpi buruk bagi dirinya sendiri dan orang lain." katanya dengan menegaskan semua yang ada di dalam kepalanya kepada ayahnya itu.

"Kenapa kamu jadi sama kurang ajarnya seperti anak perempuanmu itu?!!!"

"Kalau memang kamu tidak suka dengan keputusan yang diambil oleh Charlotte, setidaknya kamu tidak membunuhnya. Aku masih mengakuinya sebagai anakku," jawabnya sambil melindungi anak perempuannya itu di belakangnya; berjaga-jaga supaya tidak lagi disiksa oleh ayahnya itu.

Ketta tiba-tiba berkata "Ma, aku tidak pernah melawan ayahku sendiri. Tapi, aku sedang melawan setan-setan kapitalisme dan imperialisme yang sudah memperbudak akal dan hati ayahku," Ketta berusaha memberitahu ibunya

"KURANG AJARR!!!" teriak ayahnya dengan suara yang begitu keras. Tatapannya semakin tajam, detik ini juga ia ingin menghabisi anak perempuannya itu.

Kilas balik itu kembali membuat air matanya mengalir deras. Apa ayahku tidak bisa menyayangiku? Dia ingin melenyapkanku, demi birahinya atas dunia. Sebuah tangan dan selembar tisu mengusap pipi basahnya. Ia tidak sadar bahwa Joelah yang melakukan itu.

"Kenapa kamu menangis?"

"Aku tidak tahu," katanya berusaha menyembunyikan semua yang ada di dalam dirinya.

"Kejujuran adalah prioritas utama seorang guru, bukan?"

"Tapi..."

Jari telunjuk Joe mendarat di bibir Ketta, menghentikan kebohongan yang sudah bisa ia rasakan keberadaannya.

"Ceritanya nanti saja. Kalau kamu memang sudah benar-benar siap, daripada memberitahuku sebuah kebohongan yang tidak berarti apapun," katanya lagi.

Bukan dengan kalimat peka dari Joe yang membuatnya sekarang menjadi bingung. Itu semua karena jari telunjuknya yang tidak kunjung diturunkan dai hadapan bibir Ketta.

"Jari telunjukmu, Joe."

Ia pun langsung menurunkan jari telunjuk itu dari bibir Ketta. Joe mengambil roti gandum dengan selai coklat dan air putih hangat yang tadi ia taruh di atas nakas.

"Kau harus makan dulu, Charlotte."

"Nggak usah," tolaknya dengan air mata yang kembali mengalir deras dan ia pun menepis tangan Joe yang memegang nampan. Bunyi pecah piring dan gelas yang ada di nampan itu pun tidak dipeulikan olehnya. Ketakutannya akan masa lalu masih menghantui kepalanya yang rasanya ingin sekali dilegakan dari rasa takut dan kecemasan.

Ia hanya memohon segala yang ada pada dirinya, atas janji, kepercayaan, kejujuran dan tanggung jawab untuk bisa ditukarkan dengan kebahagiaan yang tidak pernah didapatkan sama sekali sepanjang hidupnya ini.

"Aku benci dengan hidupku dan diriku sendiri!!!" katanya dengan suara tangis yang kencang.

Pada akhirnya kekuatan yang selama ini ia bangun adalah kebohongan dan kepura-puraan. Menyembunyikan segalanya di satu tempat hitam yang ada di dalam dirinya. Dipendam, ditahan hingga tidak lagi dapat dibendung oleh apapun. Dan sekarang telah tumpah melalui air mata dan kebencian pada dirinya sendiri.

Entah kasihan atau kemalangan yang Joe rasakan dari Ketta. Ia pun segera memeluk perempuan berambut pirang itu dan membelai rambutnya, ia harap dengan begitu bisa mengurangi rasa cemasnya.

"Sekarang, kamu boleh untuk benci sama diri kamu sendiri, benci sama kehidupan kamu. Karena itu adalah jatah takdirmu sebagai manusia."

***

Dua minggu berlalu sudah Ketta berada di rumah sakit. Selama dua minggu itu pula ia ditemani oleh Joe. Ia meminta laki-laki yang memiliki kawah meteor di kedua pipinya saat tersenyum itu untuk tidak memberitahukan keadaannya pada siapapun; termasuk menyuruh Joe meminta dokter dan juga perawat untuk tidak membocorkan keadaannya sekarang kepada keluarganya. Lucu dan konyolnya, Ketta meminta Joe untuk menyampaikan kepada semua tim medis bahwa Ketta adalah kekasihnya. Maka dariitu semuanya akan aman dan baik-baim saja.

Oh ya, Ketta juga sudah menghubungi sekolah tempatnya mengajar. Bahwa keadaannya sedang tidak baik-baik saja. Tapi, ia tidak menjelaskan dengan detail peristiwa apa yang menimpanya saat ini. Untungnya, kepala sekolah tersebut memberikannya ijin sebanyak waktu yang ia butuhkan untuk bisa kembali sembuh.

"Sayang, kamu sudah makan belum?" tanya Joe dengan suara lembut sambil melepaskan jaket tebal yang dikenakannya. Ya. Sekarang sudah masuk musim dingin. Salju sudah mulai turun begitu lebat.

"Apa sayang-sayang!! Mau aku tampar hah?"

Joe mendekat ke arah Ketta, mencondongkan tubuhnya dan mendekatkan wajahnya sambil berkata "Nih, tampar aja. Tapi pakai bibir kamu ya."

Ketta mendorog memukul bahu lelaki jangkung itu dan Joe hanya bisa terkekeh. Hey, Ketta! Katanya mau menampar Joe? Tapi kenapa memukul bahu Joe dengan perasaan senang?

Joe duduk di kursi yang ada di samping ranjang. Wajahnya mulai terlihat serius. Melihat tingkah Joe yang sekejap berubah. Ketta merasa ada yang aneh.

"Ketta," ucap Joe sambil mengusap punggung tangan Ketta.

"Iya?"

"Hmm... Kemarin 3 hari yang lalu dokter memberitahuku, bahwa kamu harus segera menjalani operasi transplantasi ginjal. Lebih tepatnya ginjal sebelah kirimu perlu diganti dengan yang baru."

Ketta tertegun. Bingung harus memberikan reaksi apa pada Joe. Namun, tanpa diminta oleh empunya. Air matapun jatuh dari sudut mata Ketta. Ia sedih. Ia harus menerima kenyataan bahwa haarus menyembuhkan penyakitnya melalui operasi. Melihat Ketta tertegun dan menangis. Joe menyeka air mata perempuan baik dan cantik yang ada di hadapannya itu. Selama 2 minggu ini ia menemani Ketta di rumah sakit. Selama itu pula ia mulai menjatuhkan hatinya sedalam-dalamnya pada Ketta.

Ketta menarik napas dan melepaskan tangan Joe yang masih bertengger di wajahnya. "Memangnya ada orang yang mau memberikan sebagian hidup dan organ tubuhnya untuk orang lain, Joe?"

Joe tersenyum lebar.

"Kemarin aku sudah menjalani tes dan ternyata aku bisa mendonorkan salah satu ginjalku ini padamu,"

Wajah Ketta terkejut bukan main. Orang yang ada di hadapannya ini akan mendonorkan ginjal miliknya untuk perempuan yang bahkan belum dikenalnya selama satu bulan penuh.

"JOE!!!"

"Aku sendiri yang mau. Kamu tidak boleh menolak ya, Ketta. Ini demi keselamatan hidupmu."

"Joe..." Ketta kembali menagis, kali ini air matanya keluar lebih deras.

Joe langsung memeluk Ketta dengan erat. Mengelus punggung dan puncak kepalanya. Berusaha membuat Ketta tenang dan tidak perlu mengkhawatirkan apapun lagi tentang hidupya. "Kamu tidak perlu merasa berhutang budi untuk apapun yang aku lakukan. Aku melakukan semuanya karena atas dasar kemanusiaan dan..... karena aku mencintaimu. Tetaplah Hidup ya, Ketta. Aku mau mencintaimu dan menjagamu sepanjang hidupku."

-The End-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun