"Kejujuran adalah prioritas utama seorang guru, bukan?"
"Tapi..."
Jari telunjuk Joe mendarat di bibir Ketta, menghentikan kebohongan yang sudah bisa ia rasakan keberadaannya.
"Ceritanya nanti saja. Kalau kamu memang sudah benar-benar siap, daripada memberitahuku sebuah kebohongan yang tidak berarti apapun," katanya lagi.
Bukan dengan kalimat peka dari Joe yang membuatnya sekarang menjadi bingung. Itu semua karena jari telunjuknya yang tidak kunjung diturunkan dai hadapan bibir Ketta.
"Jari telunjukmu, Joe."
Ia pun langsung menurunkan jari telunjuk itu dari bibir Ketta. Joe mengambil roti gandum dengan selai coklat dan air putih hangat yang tadi ia taruh di atas nakas.
"Kau harus makan dulu, Charlotte."
"Nggak usah," tolaknya dengan air mata yang kembali mengalir deras dan ia pun menepis tangan Joe yang memegang nampan. Bunyi pecah piring dan gelas yang ada di nampan itu pun tidak dipeulikan olehnya. Ketakutannya akan masa lalu masih menghantui kepalanya yang rasanya ingin sekali dilegakan dari rasa takut dan kecemasan.
Ia hanya memohon segala yang ada pada dirinya, atas janji, kepercayaan, kejujuran dan tanggung jawab untuk bisa ditukarkan dengan kebahagiaan yang tidak pernah didapatkan sama sekali sepanjang hidupnya ini.
"Aku benci dengan hidupku dan diriku sendiri!!!" katanya dengan suara tangis yang kencang.